Resensi “Cantik Itu Luka”
Oleh: Elmayanti
(Pengurus LPMH-UH Periode 2022)
Dewasa ini, perempuan berbondong-bondong mempercantik diri. Bahkan sebelum ia mengeluarkan tangisan pertamanya di muka bumi, ia telah lebih dulu dituntut untuk menjadi cantik. Ibu hamil akan berdoa supaya anak perempuan yang dikandungnya memiliki paras rupawan. Gadis remaja akan lebih akrab dengan segala jenis alat dan bahan rias dibanding buku pelajaran. Wanita dewasa akan mengumpulkan pundi-pundi uang dan berakhir di ruang operasi dengan menunjuk referensi wajah impiannya. Apapun akan dilakukan demi sebuah gelar ‘Perempuan Cantik’.
Namun Dewi Ayu sepertinya akan mendecih sinis atau bahkan menertawai perempuan-perempuan seperti itu. Bukan karena ia iri, sungguh perempuan yang telah menggait ratusan pria itu tak perlu lagi diragukan kemolekan wajahnya. Melainkan karena hidup yang dilakoninya memberi pelajaran, bahwa kecantikan tak ubahnya bencana berlapis keindahan, bahwa cantik itu luka.
Dewi Ayu adalah tokoh fiksi perempuan yang dihidupkan Eka Kurniawan melalui novelnya yang berjudul “Cantik Itu Luka”. Novel debut yang berhasil membawa Eka meraih penghargaan World Readers pada tahun 2016 itu telah diterjemahkan ke dalam lebih dari 34 bahasa. Dengan mengusung genre romantis, sejarah, dan realisme magis, Eka berhasil membuat campur aduk perasaan pembaca melalui tulisan yang diterbitkan pada 2002 silam itu.
Berlatar waktu zaman kolonial, penulis membawa pembaca mundur sejenak dan mengenal perilaku buruk orang-orang pada zaman itu yang kemungkinan besar tak akan kau temui di buku pelajaran Sejarah. Di mana para perempuan cantik terlahir hanya untuk menjadi gundik orang Belanda, lantas melanjutkan peran sebagai Jugun Ianfu (wanita penghibur) untuk tentara Jepang. Terdengar seperti sebuah takdir yang buruk, tapi begitulah Dewi Ayu memainkan perannya dalam novel ini.
“Ia adalah pelacur paling favorit di kota itu. Hampir semua lelaki yang pernah ke tempat pelacuran, menyempatkan tidur paling tidak sekali bersamanya, tak peduli berapa pun uang yang harus mereka bayarkan.”
Narasi yang begitu apik dirangkai secara khas oleh penulis dalam menggambarkan tokoh utama dalam novelnya. Alih-alih hanya menyebutkan kata cantik atau cukup pelacur saja, Eka lebih memilih menuangkannya dengan kalimat-kalimat panjang agar pembaca benar-benar mengenal sosok tokoh yang ia beri nyawa lewat tulisan itu.
Kemudian yang menjadi menarik adalah karena penulis melakukan hal yang sama dengan tokoh-tokoh lain. Jika di novel-novel lain, penulis hanya akan fokus pada pemeran utama, maka novel Cantik Itu Luka ini menghadirkan warna baru dengan tidak menghadirkan satu tokoh sentral yang secara rakus mengambil bagian. Belasan tokoh lain diberi porsi yang sama, membuat novel ini tidak hanya berputar di satu titik cerita. Ada cerita romantis Ma Iyeng dan Ma Gedik yang namanya diabadikan menjadi nama bukit. Ada cerita Henri dan Aneu, si kakak beradik yang terlibat cinta terlarang. Kisah sang penggali kuburan bersama pujaan hatinya. Kisah Edi Idiot, si preman kota. Lantas tentunya, kisah keempat anak perempuan Dewi Ayu yang tidak memiliki ayah, Alamanda, Adinda, Maya Dewi dan Si Cantik.
Banyaknya cerita yang ditampilkan pun tidak menciptakan sekat yang membingungkan karena penulis dengan jeniusnya menyulam semua cerita itu hingga terhubung satu sama lain. Cerita yang menunjukkan bagaimana Dewi Ayu yang muak akan ‘Kecantikan’ yang selalu mengikuti langkahnya. Terlebih ketika kecantikan itu diturunkan kepada ketiga anaknya, lantas kepada cucu-cucunya, di mana semuanya berujung pada kisah tragis. Hingga Dewi Ayu saat mengandung anak keempatnya memohon agar diberi anak yang buruk rupanya.
“Tak ada kutukan yang lebih mengerikan daripada mengeluarkan bayi-bayi perempuan cantik di dunia laki-laki yang mesum seperti anjing di musim kawin.”
Begitulah kiranya doa yang dirapalkan Dewi Ayu ketika mengandung anak yang di kemudian hari diberi nama Si Cantik itu. Nama yang sungguh tidak sesuai, karena persis seperti permintaan ibunya, anak itu terlahir buruk rupa. Kisah Si Cantik dan pangerannya ini lah yang menjadi penutup dalam novel ini.
Cara penulis merangkai kalimat demi kalimat dalam novelnya berhasil memantik imajinasi pembaca. Seolah pembaca benar-benar sedang menjelma menjadi salah satu warga Halimunda, nama kota kecil di novel ini. Namun alur maju mundur dengan berbagai konflik cerita yang penuh kompleksitas memerlukan konsentrasi penuh ketika membaca novel ini. Terlebih transisi pergantian alur yang cepat dan loncat-loncat membuat pembaca perlu banyak berpikir dalam memahami perpindahan suasana yang sedang berlangsng. Bagi saya, novel yang memiliki lima ratus lebih halaman ini lebih cocok jika dibaca sekali duduk, karena jika diberi jeda yang lama apalagi berhari-hari dapat membuat pembaca lupa dan kehilangan detail dari cerita yang overcomplicated ini.