web analytics
header

Altan Adalah Pusat – Counterfactual Thinking

IMG-20220814-WA0053
Sumber: Pinterest

Oleh: Rofi’ah Ridwan

Pengurus LPMH-UH Periode 2021-2022

 

Nala baru saja ingin mengambil handuk ketika ponselnya bergetar menandakan pesan baru yang ia terima.

Asyraf? Tumben, monolognya sambil menyentuh bar notifikasi.

Pesan singkat itu berisi ajakan untuk ke sekolah yang membuat Nala termenung sejenak, memangnya ada acara apa?

Setelah tahu maksud dan tujuan Asyraf –yaitu karena adik kelasnya sedang pendidikan dan pelatihan organisasi jurnalistik yang mana mereka berdua pernah menjabat sebagai ketua dan sekretaris— akhirnya Nala mengetik pesan balasan menyetujui ajakan tersebut. Selain karena memang bosan malam minggu di rumah, ia juga rindu dengan sekolah.

Nala kemudian melanjutkan aktivitasnya yang sempat terinterupsi, memasuki kamar mandi dan bersiap-siap sebelum mantan ketuanya itu menjemput.

Asyraf mungkin lupa kalau ia sudah tak punya kuasa untuk memerintah Nala ini dan itu karena mereka sudah selesai menjabat, tapi melihat bagaimana pesan masuk tadi terbaca seperti perintah dibanding penawaran membuat Nala tersadar kalau Asyraf masih saja sama sewaktu ia menjadi ketua.

Mereka tiba ditujuan setelah bulan sudah mengganti tugas matahari. Nala tidak menyesali keputusannya untuk keluar rumah ketika melihat bagaimana besar dan indahnya bulan penuh pada malam itu, kemudian berjalan seorang diri berkeliling ruang kelas untuk melihat apa saja yang telah berubah.

“Nala!” Ini sudah teriakan keenam kalinya dari Asyraf setiap kali ia tak melihat Nala dalam pandangannya yang akhirnya mau tak mau Nala datang menghampiri. Setibanya Nala di hadapan Asyraf, pemuda itu menepuk dudukan teras di sampingnya sambil berkata, “Mau kemana lagi? Udah lah, disini aja.”

Nala dengan ekspresi kesalnya patuh saja karena sudah lelah ditegur berulang kali meskipun sebenarnya ia paham maksud Asyraf jika sebagian besar wilayah sekolah sudah gelap dan terkesan mengintimidasi, belum lagi hanya mereka berdua dari angkatan mereka yang baru tiba. 

Sebenarnya lucu juga mengingat ini pertemuan pertama mereka setelah hampir setahun tapi tidak ada kesan canggung sama sekali. Entah karena Asyraf dan jokesnya yang masih sama, atau Nala dan sifat supelnya yang belum berubah. Mereka mulai membahas A hingga Z apapun itu, hal penting ataupun tidak, tentang kehidupan perkuliahan, bahkan hubungan Asyraf dan Lia.

“Masih bareng Lia, nggak?” tanya Nala membuka topik baru.

“Hah? Oh udah lama.” Jawab Asyraf acuh tak acuh dengan berpura-pura sibuk mengerjakan kegiatan lain.

Nala mengernyit bingung, “Udah lama selesai atau udah lama masih lanjut?” tanyanya lagi atas jawaban ambigu Asyraf.

“Udah lama—hei, Zaflan! Udah dateng? Temenin gue dong pengen narik uang bentar.”

Asyraf dengan buru-buru merangkul Zaflan yang baru datang, mengalihkan jawaban yang mengudara dan tidak pasti itu. Sebelum mereka benar-benar pergi Asyraf berbalik menatap Nala, “bentar aja, tunggu dulu di sekret sama adik kelas yang lain. Nih cas Zaflan jadi jaminan.” Dengan ekspresi Zaflan kebingungan tidak bisa memproses apa yang sedang terjadi.

Nala mengembuskan napas, mencoba untuk tidak menafsirkan lebih kelakuan Asyraf barusan. Udah biasa, tiap bahas Lia kan pasti dia alihin. Udah biasa, seperti mantra untuk Nala. Sebenarnya ia bingung kenapa Asyraf selalu saja menghindari topik Lia ketika hanya ada mereka berdua tetapi ketika berkumpul ramai ia seperti tidak punya malu untuk mendekati Lia –episode yang Nala ingat sekali ketika buka puasa bersama kemudian dilanjut bermain jujur atau berani di rumah Fika.

Tidak ingin ambil pusing, Nala memasuki sekretariat seperti perintah Asyraf sebelumnya. Belum sampai sepuluh menit, ia melihat mantan ketuanya yang lain muncul. Nala kira Altan tidak akan datang mengingat jarum jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam lewat tiga puluh menit, tapi ternyata dugaannya salah.

Nala awalnya tidak berniat untuk keluar, tapi bosan juga karena tidak ada teman seangkatannya yang lain. Maka dari itu ia putuskan untuk menuju lantai dua, tempat pendidikan dan pelatihan masih berlangsung.

Tidak ia sangka sosok pertama yang ia liat diujung tangga adalah Altan yang tengah berdiri memunggunginya. Sudah lama sejak terakhir mereka bertemu, bahkan bisa jadi lebih lama dari Asyraf. Entah hanya perasaan Nala tapi pria itu lebih tinggi dan bahunya pun lebih lebar. Masa baru kena puber? 

Langkahnya ia bawa menaiki satu persatu anakan tangga sebelum berhenti pada tegel yang sama dengan Altan. “Nala.” Kata pertama yang ia dengar dari ketuanya dulu itu.

“Nala.” “Nala.” “Nala.” “Nala.”

Seperti kaset rusak, Altan tidak henti-hentinya memanggil sosok yang sedang ada di hadapannya, membuat Nala malu juga karena banyak orang lain yang memerhatikan.

“Ngapain, sih? Kangen?”

Bukannya jawaban, pertanyaan Nala malah dihadiahi sebuah uluran tangan. 

“Nala.” “Nala.” “Nala.” Sambung Altan ketika mereka sudah bersalaman.

Nala tertawa melihat reaksi lucu itu. Tangannya sudah tidak membalas, tapi Altan masih tidak juga melepas.

“Jangan gini deh, Altan.” Tegurnya setelah beberapa saat ketika ia sadar Altan tidak juga berenti menyebut namanya yang Nala pun sendiri heran ada apa dengan pria itu.

Tidak ada hal yang penting pada saat itu membuat Nala akhirnya turun lagi ketika mendapati ternyata Asyraf sudah kembali.

Nala kemudian sadar jika makin malam makin banyak orang yang datang, keadaan sekolah mulai lebih ramai dibanding sebelumnya. Ia kemudian memilih duduk seorang diri di taman baca ketika melihat Asyraf sudah sibuk bercerita dengan senior alumni lain. Jarinya hanya membuka tutup beberapa aplikasi untuk mengecek pesan yang bisa jadi ia lewatkan. Membuka sosial media dan menggulir beranda yang justru lebih ramai dari biasanya karena besok adalah hari libur.

Nala hampir membuka YouTube ketika tersadar jika ia lupa membawa earphone. Ia mendengus kesal pada diri sendiri sekaligus merasa bosan.

Waktu terus bergilir dan menunjukkan pukul dua lewat tiga puluh menit. Sudah pergantian hari rupanya. Nala membuka aplikasi obrolan untuk mengirim pesan singkat ucapan selamat mengulang tanggal dan bulan kepada ibunya. Setelah melihat ibunya sudah tidur dengan tanda pesannya yang belum terkirim, ia memasukkan kembali ponsel ke dalam tasnya dan menuju ke sekretariat untuk mengambil jaketnya. Tidak bohong, saat-saat seperti itu angin lebih dingin dari biasanya.

Nala sedang terduduk di teras depan ruang guru dengan jaket yang ia sampir di lengannya ketika Altan datang duduk memposisikan diri di sampingnya. Hening sejenak sebelum Altan yang membuka suara pertama, “kangen nggak, sih, jaman kita ngurus?”

Setelah memastikan yang diajak berbicara Altan adalah dirinya, Nala menarik napas dalam kemudian menjawab, “kangen, tapi nggak pengin lagi.”

Jawaban itu jelas memberi tanda tanya untuk Altan, berusaha menutupi nada protes yang masih bisa Nala dengar jelas, Altan kembali bertanya, “kenapa?”

Nala tersenyum singkat, jelas Nala paham sifat Altan seolah tau jawabannya selanjutnya akan membawa mereka pada kisah lama, “capek. Kenangannya juga bikin trauma.”

Malam itu, di bawah bulan penuh yang Nala puji cantik tadi, mereka mulai mengenang. Membawa kenangan yang Nala ingin lupa, tetapi tetap ingin ia luruskan agar tidak terus menerus salah paham. Bagaimana kemudian nada bicara Nala mulai bergetar karena harus bercerita yang berarti ia harus mengingat kembali kejadian yang membuatnya meragukan diri sendiri. Nala merasa sepertinya ini pertama kalinya ia dan Altan berbicara serius mengenai masa lalu. Pembahasan itu ditutup dengan permintaan maaf Altan dan tawa paksaan Nala karena tidak ingin Altan merasa tak enak. Lagipula semua sudah berlalu, pikirnya.

Asyraf tiba-tiba datang sambil menyerahkan jaketnya kepada Nala, “pegangin.”

Nala tentu saja bingung, apa anak itu tidak dingin? Apa Asyraf tidak lihat kalau Nala juga sedang memegang jaket? Kebingungannya buyar ketika suara Altan menyaut, “pinjam jaketnya.” sembari mengambil jaket Nala dan menyisakan jaket Asyraf pada pelukannya sementara si pemilik entah kemana.

“Pengin ngulang lagi, nggak?” belum sempat menjawab pertanyaan Altan, pria itu menimpali lagi, “kalau gue pengin, tapi harus bareng lo lagi.”

Nala tersenyum samar pada keadaan gelap itu kemudian berandai. Andai mereka lebih cepat membahas hal ini, atau andai mereka membahas ini ketika masih sedang menjabat, atau lagi andai mereka saling bercerita sejak awal kepengurusan, apa hubungan Nala dengan yang lain akan lebih baik? Apa kinerjanya bisa lebih optimal? Dan apa cerita mereka juga akan berbeda?

 

Related posts:

GARIS TAKDIR

Oleh: Imam Mahdi A Lekas lagi tubuhku melangkahMelawan hati yang gundahKe ruang samar tanpa arah Sering kali, ragu ini menahan

Dialog Temaram dalam Jemala

Oleh: Naufal Fakhirsha Aksah (Mahasiswa Fakultas Hukum Unhas) Bagaimana kabarmu? Kabar saya baik, Tuan.  Bagaimana sejak hari itu? Sungguh, saya

Bukan Cerita Kami

Oleh: Akhyar Hamdi & Nur Aflihyana Bugi Bagaimana kau di kota itu, Puan? Kudengar sedang masuk musim basahTidak kah ingin