web analytics
header

Derap Langkah Jurnalis Setelah Lahirnya UU Perlindungan Data Pribadi

9d48745b89e6e1c9eb9bf489a7bfc02b
Sumber: Pinterest

Oleh: Aunistri Rahima MR

Pengurus LPMH-UH Periode 2021-2022

 

“Pers bebas adalah ibu dari semua kebebasan kita dan kemajuan kita di bawah kebebasan.” – Adlai E. Stevenson II

Rancangan Undang-undang Perlindungan Data Pribadi (RUU PDP) telah diinisiasi sejak 2016 terdiri dari 371 Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) dan menghasilkan 16 bab serta 76 pasal. Jumlah pasal di RUU PDP ini bertambah 4 pasal dari usulan awal pemerintah pada akhir 2019, yakni sebanyak 72 pasal. Secara sah diundangkan pada tanggal 20 September  2022, menjadi Undang-Undang Nomor 27 tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP).

Sesuai dengan pertimbangan yang dimuat, Undang-Undang (UU) ini berfungsi untuk menjamin hak warga negara atas perlindungan diri pribadi dan menumbuhkan kesadaran masyarakat serta menjamin pengakuan dan penghormatan atas pentingnya perlindungan data pribadi. 

Undang-undang ini diharapkan memberi kepastian hukum agar setiap warga negara tanpa terkecuali dan berdaulat atas data pribadinya, sehingga dapat menjadi payung hukum yang kuat bagi tata kelola dan perlindungan data pribadi warga negara.

Pengesahan ini juga bertepatan dengan kian maraknya kasus kebocoran data dan penyalahgunaan data pribadi di Indonesia dalam 5 tahun terakhir yang cenderung meningkat. Tercatat ada 182 kasus pencurian data yang dilaporkan masyarakat pada tahun 2020. Padahal, tahun 2016 tercatat hanya ada 20 laporan. Data Satgas Waspada Investasi (SWI) OJK melaporkan ada 22.896 pelanggaran terkait penyalahgunaan dan penyebaran data pribadi pinjaman daring (pinjol).

Namun, UU PDP ini masih memuat ketentuan yang dinilai bisa menghambat kerja-kerja masyarakat sipil terutama kalangan aktivis dan jurnalis. Jurnalis yang mengungkap rekam jejak pejabat publik yang sedang bersengketa bisa dijadikan sebagai delik pidana.

Misalnya, Pasal 4 ayat (2) UU PDP mengatur 7 jenis data pribadi yang bersifat spesifik yakni data dan informasi kesehatan, biometrik, genetika, catatan kejahatan, data anak, data keuangan pribadi, dan/atau data lainnya sesuai ketentuan peraturan perundang-undangantidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan frasa “catatan kejahatan”. 

Ketentuan pada pasal tersebut dapat dimaknai sangat luas, sehingga yang dimaksud subjek data termasuk para pejabat publik. Larangan ini berpotensi mengancam kerja-kerja jurnalistik dalam meliput suatu sengketa pelanggaran data pribadi di pengadilan, serta dalam melakukan peliputan mengenai catatan kejahatan seseorang, terlebih pejabat publik.

Dalam Pasal 15 ayat (1) UU PDP tidak memberi pengecualian penggunaan data pribadi untuk kepentingan publik, khususnya pemenuhan hak berekspresi dan mendapat data/informasi untuk kepentingan publik. 

Pengecualian Pasal 15 ayat (1) UU PDP itu hanya untuk 5 hal. Pertama, kepentingan pertahanan dan keamanan nasional. Kedua, kepentingan proses penegakan hukum. Ketiga, kepentingan umum dalam rangka penyelenggaraan negara. Keempat, kepentingan pengawasan sektor jasa keuangan, moneter, sistem pembayaran, dan stabilitas sistem keuangan yang dilakukan dalam rangka penyelenggaraan negara. Kelima, kepentingan statistik dan penelitian ilmiah. Ketentuan itu berpotensi menghambat kerja aktivis dan jurnalis yang selama ini kerap mengungkap kasus atau berkaitan dengan kejahatan.

Pasal 65 ayat (2) UU PDP yang berbunyi “Setiap orang dilarang secara melawan hukum mengungkapkan data pribadi yang bukan miliknya” juga rawan menjerat aktivis dan jurnalis karena tidak ada penjelasan rinci terhadap frasa “melawan hukum”. 

Maka dapat dikatakan catatan kejahatan masuk dalam kategori data pribadi sehingga larangan pengungkapan data pribadi pada pasal tersebut termasuk juga larangan pengungkapan catatan kejahatan. Hal tersebut juga bisa menjadi ancaman kriminalisasi bagi masyarakat dalam proses seleksi pimpinan penegak hukum.

Di tengah maraknya calon-calon bermasalah melenggang maju pada proses pemilihan, namun masyarakat dipaksa untuk bungkam jika mengetahui rekam jejak buruknya. Maka, larangan itu jelas merupakan pembiaran dan ahistoris dengan permasalahan saat ini. Ditambah lagi, konsep seperti itu secara terang-terangan melanggar partisipasi masyarakat sebagaimana diatur dalam pasal 41 ayat (1) dan (2) huruf b UU Tipikor.

Sehingga terlihat jelas bahwa sejumlah substansi UU PDP bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia (UUD NKRI) Tahun 1945 terutama terhadap hak untuk memperoleh, mencari, dan menyebarluaskan informasi publik. Begitu juga terhadap jaminan hak kebebasan berekspresi dan kerja-kerja pers yang dijamian UUD NKRI Tahun 1945 dan UU Pers.

Selain itu, sejak awal kalangan masyarakat sipil mengkritik proses pembahasan dan pengesahan UU PDP karena tidak memegang prinsip partisipasi yang bermakna (meaningful participation). Masukan masyarakat sipil terhadap RUU PDP seperti desakan pemerintah dan DPR untuk mengeluarkan pasal-pasal yang bertentangan dengan semangat keterbukaan informasi publik seperti pasal 4 ayat (2) huruf d, pasal 15 ayat (1), pasal 64 ayat (4), pasal 65 ayat (2) dan pasal 67 ayat (2) dari UU PDP tidak dipertimbangkan secara baik. 

Melihat persoalan-persoalan dalam UU PDP ini, salah satu pilihan yang bisa di pertimbangan Koalisi Masyarakat Sipil yaitu, mengajukan uji materi UU PDP ke Mahkamah Konstitusi (MK). Perlu ada kajian yang lebih mendalam soal rencana uji materi, apakah uji formil, materiil, atau keduanya.

Related posts: