web analytics
header

KARAM

Sumber: Pinterest
Sumber: Pinterest
Sumber: Pinterest

Oleh: Elmayanti

Pengurus LPMH-UH Periode 2022-2023

 

“Mei, KKN mu di Makassar sudah selesai, kan? Libur pulang ke Surabaya yah, Opa Fier cariin kamu. Sudah dua natal loh kamu gak sama kita.”

Suara voicenote yang diputar, deburan ombak, dan suara imam mengucap salam dari speaker surau itu saling berebut masuk ke telinga Meira. 

“Suit suit…”

Ah, sekarang bertambah lagi dari siulan para buruh angkut yang  menunggu kedatangan kapal pengangkut barang, menggoda Meira—yang sedang tidak ingin digoda.

Perempuan berparas ayu itu mengedarkan pandangannya di antara orang-orang yang keluar surau. Sesekali melempar senyum pada penduduk yang menyapanya. Lama, sampai didapatinya seorang perempuan dengan kain menutupi kepala sedang melambaikan tangan padanya,  sayangnya bukan dia yang Meira cari.

“Ayo balik Mei, tinggal kopermu yang belum dirapikan.”

“Kak Mil duluan saja, aku ada urusan sebentar.”

Mata Kamila menyipit. Urusan apa? Sedang teman-teman KKN Meira yang lain sudah kembali ke posko setelah acara perpisahan kecil-kecilan mereka bersama warga sekitar usai. Sisa Meira saja yang tadi menawarkan diri menunggu Kamila sholat di surai dulu.

“Engh… itu… Mei masih mau lihat senja, hitung-hitung terakhir kalinya.”

Kamila tersenyum simpul, “Kalau gitu nanti pulangnya diantar Arman saja yah. Ibu gak suka aku kelayapan sampai malam, katanya gak baik untuk calon pengantin.” 

Meira mengangguk, membiarkan anak kepala dusun tempatnya tinggal itu berlalu dengan sepeda motornya.

Hampir setengah jam berlalu, tidak ada lagi senja di hadapan Meira, yang ada hanya langit hitam dengan satu dua bintang. Cahaya lebih banyak berasal dari lampu-lampu kapal.  Tak ada lagi buruh angkut yang menggoda Meira, semuanya sibuk ketika salah satu kapal sandar di pelabuhan.

Meira menoleh ke  kiri, mendapati pria dengan kaos oblong berdiri tegak di sampingnya sembari mengepulkan asap ke udara. Mendapati Meira mengibas-ibaskan tangannya menghalau asap, membuat pria itu melempar puntung rokoknya yang masih lebih dari setengah ke tanah.

“Mari, saya antar pulang.”

“Kamu mau aku pulang sekarang?” tanya Meira, tahu betul bagaimana mempermainkan perasaan lawan bicaranya.

Pria yang ditanyai diam tak berkutik.

“Kamu antar aku pulang ke rumah pak Basyir sekarang, habis itu kamu  juga balik, dan besoknya aku udah gak ada lagi di desa ini. Aku gak lebih dari sekadar anak kuliah yang lagi KKN di desa kamu, sehabis aku balik, kamu lupa sama aku. Kamu mau itu Man?”

Masih tak ada jawaban dari Arman. Pria itu sibuk bertengkar dengan isi kepalanya.

Lama sekali Meira mememberi jeda. Ia menghembuskan napas kasar, percuma.

“Oke, ayo, kamu anterin aku pulang sekarang.”

Meira sudah berbalik dan melangkah menjauh ketika suara berat Arman menghentikannya, “Sebentar, Ra.”

Pertengkaran di kepala Arman dimenangkan oleh egonya, pria itu ingin egois kali ini, hanya untuk yang terakhir kalinya.

Di sini lah mereka berada, di salah satu kapal yang  sedang tidak beroperasi. Memperhatikan hiruk-pikuk pelabuhan di malam hari. Sejauh ini tak ada perbincangan mellow khas perpisahan. Karena sedari tadi, perbincangan mereka didominasi oleh Meira. Gadis itu bercerita banyak hal random, terlalu banyak, sampai Arman tahu bahwa Meira sedang mencoba mengulur-ulur waktu. Dibiarkannya gadis itu, toh Arman juga ingin lebih lama berada di sini, bersama Meira. Pria itu tidak mau bilang saja, dia sebenarnya sudi membayar mahal agar waktu berjalan selambat mungkin.

“Mana ada kapal besar yang tidak memiliki jangkar,” pungkas Meira. Pembahasan mereka kini tiba di bagian ‘Apakah semua kapal punya jangkar?’.

“Ada Ra, banyak sekali malahan. Aku kenal satu, mau dengar ceritanya?” 

Gadis itu tak banyak bicara, ia memperbaiki posisi duduknya sebagai jawaban. Menanti Arman bak pendongeng ulung yang tak kehabisan cerita. Entah darimana datangnya cerita-cerita itu.

“Dahulu ada seorang tauke besar, ia dan kekasihnya sudah berjanji akan menikah sepulangnya ia dari perjalanan bisnis. Namun nasib naas Ra, tsunami melanda kota saksi mereka tumbuh. Puluhan tahun berlalu, bisnisnya semakin meraksasa, tapi ia sadar betul, bahagianya sudah direnggut sejak kejadian itu. Alih-alih menikmati masa tua dengan uang yang dimiliki, ia memilih membeli kapal canggih kemudian berlayar seorang diri.”

“Kapal tak berjangkar,” lirih gadis kota itu.

“Kamu tahu kenapa kapalnya tidak memiliki jangkar Ra? karena ia menolak untuk menepi, kapal itu akan terus menjelajahi samudera, mencari kekasihnya yang lenyap ditelan tsunami 37 tahun silam.”

“Lalu bagaimana jika ia berhasil menemukan kekasihnya? bagaimana caranya mereka pulang?” tanya Meira menembakkan pertanyaan asal.

“Tidak ada kata pulang untuk sebuah perjalanan  menemui orang yang dicintai Ra, menemukan mereka sudah bentuk kepulangan. Keduanya akan terus berlayar, sampai tutup usia, entah ditutup oleh perut kelaparan ataukah ditutup gulungan ombak lantas tenggelam bersama terumbu karang. Apapun itu, asal mereka sudah saling menemukan.”

“Seperti kita?”

Arman tersenyum. Bukan senyum bahagia tentunya. Tidak ada kebahagiaan bagi pria yang terpaksa memangkas perasaan yang selalu tumbuh tiap hari.

“Sejak dulu Ibu mengajarkanku perihal indahnya perbedaan Ra. Pagi dan malam, bahagia dan lara,  matahari dan bintang. Katanya keduanya saling mengisi. Dari sana aku jadi seorang pria yang mengagumi perbedaan. Benar kata Ibu, beda itu indah.”

Sedang Arman kini tengah menatap perbedaan paling indah yang pernah ia temui. Mata Meira tak berkedip, menolak memutus pandang antar mereka walau barang hanya sedetik. Perbincangan mereka akhirnya sampai pada titiknya.

“Namun, sejak bertemu denganmu. Sejak menanyaimu kenapa kau tidak sholat. Untuk pertama kalinya, aku benci perbedaan Ra,” lirih Arman membuang pandang. 

“Tapi kita bisa mencobanya kan Man? Aku bisa memilihmu Man, memilih jalan yang sama denganmu.”

Harusnya pria itu senang setengah mati mendengar jawaban barusan. Tapi tidak untuk Arman, pria itu teralu rumit, dirumitkan semesta lewat takdir peliknya.

“Aku mencintaimu Ra dan karena aku mencintaimu, aku tak mau kamu kalah. Pun dalam hal ini, aku tak mau kamu mengalah dari Tuhanmu.  Olehnya itu, biarkan kita berdua yang mengalah pada keadaan. Karena sedari awal harusnya kita mengerti, menang bukan untuk mereka yang tak seiman.”

Nyatanya, mereka lebih tepat sebagai dua kapal dengan tujuan berbeda, takdir mempertemukan mereka di samudera, yah, hanya mempertemukan, tidak menyatukan, karena nahkoda kapal mereka masing-masing memegang peta dengan tujuan yang berbeda. Kedua anak manusia itu tak lebih dari sekadar penumpang, tak punya kuasa untuk melawan.

“Datang kalau kamu sempat.”  

Itu jadi kalimat terakhir Arman yang didengar Meira setelah pria itu meletakkan selembar kertas tebal tepat di sampingnya, lantas berlalu pergi. Sebuah keputusan keliru yang besok-besok akan pemuda itu sesali.

Meira sendiri menggigit bibir, menahan gejolak tak menyenangkan yang menyerang hatinya. Memalingkan wajah dari kertas yang di atasnya tertulis rapi aksara ‘Untuk: Meira Dischara’ 

Setelahnya, bunyi keyboard ponsel mengisi keheningan yang Meira dan laut ciptakan. 

Bilang ke Opa Fier, aku pulang besok.

Pesan itu baru saja dikirim, terbang  ke Surabaya, menuju kediaman pengusaha paling masyhur  di pulau Jawa. Secepat angin,  Jesselyn—adik Meira membalas dengan mengirimkan emot hati dan jempol yang tak lagi dibalas Meira. 

Gadis itu bangkit dari duduknya, beranjak meninggalkan kapal. Meninggalkan pelabuhan Lontange. Meninggalkan Pare-pare dan juga Makassar. Lantas yang terakhir, sengaja meninggalkan kertas tebal yang diberi Arman tadi, tanpa dilihat pun, Meira tahu isi di dalamnya.

Dibiarkannya kertas itu terbang dibawa angin, menuju laut, menuju kedalaman yang paling dalam.

Sampai bertahun-tahun kemudian, tulisan ‘Arman Kalingga & Kamila Indraswari’ yang terpatri di kertas itu raib oleh sapuan air. Persis sebagaimana pernikahan mereka yang  karam oleh ombak bernama Meira.

Related posts:

Pemangsa Peradaban

Penulis: Verlyn Thesman (Pengurus LPMH-UH Periode 2023/2024) Mau seperti apakah kaumku? Nyaman sudah tak pernah kami alami Tertutup tak tertutup

Temu

Penulis: Wriftsah Qalbiah (Pengurus LPMH-UH Periode 2023/2024) Semilir rindu menaungi langkahku, Membawaku pada ruang sepi yang menanti sebuah temu. Bayangmu

Menumpang Tanya

Oleh: Athifah Putri Fidar Di atas bus yang berguncang lembut,kita berdiri bersebelahan,namun dengan debaran jantung yang tak seiramseperti dua ritme