Oleh: Sefanya Maikhel Perdana Tosingke
(Mahasiswa Fakultas Hukum Unhas Angkatan 2020)
Kopi adalah spesies tanaman berbentuk pohon yang termasuk dalam famili Rubiaceae dan genus Coffea. Dalam lintasan sejarah, kopi pertama kali ditemukan di Ethiopia, Afrika Timur, pada abad ke-9. Dikisahkan bahwa seorang pengembala domba kaget melihat domba-dombanya yang begitu bersemangat setelah memakan biji kopi. Suku Galia yang tinggal di dataran tinggi Ethiopia inilah yang dianggap menanam biji-bijian kopi pertama kali.
Para pedagang arab yang mendunia membawa serta kopi sebagai salah satu komoditas dagangannya. Dari Afrika, Arab, Asia, Eropa dan kemudian kopi menjelajahi dunia.
Dalam dunia perjuangan, kopi turut mengambil andil. Beberapa revolusi menuding kopi sebagai salah satu tenaga pergerakannya. Sebut saja revolusi Perancis dan revolusi Amerika yang menghabiskan bercangkir-cangkir seduhan kopi. Setiap seduhan melahirkan tiap-tiap gagasan. Kedai-kedai kopi menjadi warung pencetak gagasan. Dari gagasan-gagasan inilah, revolusi disemai dan mekar bunganya. Kopi melengkapi tiap prosesnya.
Akibat pengaruhnya, di beberapa tempat, kopi pernah dipandang miring, dilarang bahkan dianggap bid’ah dan haram. Eksistensi kopi coba dihambat, karena para penikmat kopi mulai memikirkan cara-cara mengancam kekuasaan yang sewenang- wenang.
Selain dua contoh revolusi yang disebutkan di atas, Swedia juga pernah menjadi negara yang melarang rakyatnya untuk minum kopi. Bermula dari ketakutan Raja Gustav III kepada para penikmat kopi, hingga usahanya untuk membuktikan bahwa kopi berbahaya untuk kesehatan dengan melakukan percobaan kepada dua orang kembar identik. Kedua orang yang merupakan narapidana hukuman mati itu dijadikan objek analisa, yang satu minum teh tiga kali sehari dan yang satu lagi minum kopi tiga kali sehari sampai akhir hayat mereka. Hasilnya, orang yang minum teh lebih dulu wafat di usia 83 tahun. Meskipun begitu, larangan minum kopi di Swedia tetap berlanjut hingga puncaknya di tahun 1820, kerajaan menyerah membuat aturan yang melarang rakyatnya minum kopi. Sejak saat itu, budaya minum kopi di Swedia terus meningkat pesat dan terjaga hingga kini.
Ska vi Fika (jika ditafsirkan ke dalam tren bahasa Indonesia adakah ngopi) adalah seruan mengajak untuk menikmati kopi yang sering diucapkan para penikmat kopi di Swedia. Tujuannya sederhana, untuk menikmati jeda dan melepaskan kejenuhan akan pekerjaan. Ditambah sekarang, sangat mudah bagi kita untuk menjumpai kopi. Mulai dari kopi kemasan hingga kopi seduh di kedai kopi. Tidak sulit untuk menjumpai kedai-kedai kopi yang menyuguhkan seduhan kopi hampir di berbagai tempat.
Pada dasarnya hampir semua aktivitas manusia dapat diselesaikan di kedai kopi, atau setidaknya diselesaikan bersama segelas kopi. Dalam dunia kemahasiswaan pun, kopi menjadi teman hangat sekaligus pengantar diskusi yang wajib membersamai. Kedai kopi punya fungsi sosial yaitu tempat berkumpul, bertukar cerita serta membahas ide dan gagasan. Kedai kopi menjadi wadah alternatif mahasiswa. Di Makassar contohnya, siapa mahasiswa yang tidak familiar dengan Kampus Kedua, Kedai Bujank, Bonanno atau Kedai Opini? Kedai-kedai kopi tersebut menjadi tempat disemainya gagasan demi gagasan, bahkan tulisan yang sedang anda baca sekarang ini. Tentu tidak menutup kemungkinan telah banyak dan akan banyak tulisan, gagasan dan pergerakan yang lahir dari kedai-kedai kopi.
Kopi sejatinya akan tetap sama, walau rasanya berbeda di tiap tangan baristanya. Namun percayalah, kopi tidak pernah gagal untuk menyatukan. Entah itu perbedaan ide dan gagasan atau bahkan kawan dan lawan. Jadi, jika merasa sudah sangat tertekan, sempatkanlah untuk singgah ngopi atau seduhlah segelas kopi, yakinlah kau akan temukan banyak hal di sana. Aturlah baiknya, Ska vi Fika?
Sapere aude!
(Tulisan ini tidak mewakili pandangan Redaksi Eksepsi Online)