web analytics
header

Sedih itu Ilusi, Bahagia, Abadi.

Sumber: Pexels
Sumber: Pexels
Sumber: Pexels

Oleh: Muhammad Ayechral RK
Mahasiswa Fakultas Hukum Angkatan 2021

Lalu kita bersepakat di tepi-tepi api unggun, bahwa hidup sengsara tak dimiliki semua orang.

 

Milyaran jejak yang tak melekat, arti bahwa hidup kita tak sebentar. 

Telah banyak waktu yang kita dekap

Begitu banyak angan yang bertebaran.

Kita hidup untuk apa, saya tidak pernah tahu. 

Dunia ini adalah teka-teki keping dan hingga saat ini masih berantakan. 
 

Jika bahagia berada di sudut semesta.

Saya akan rancang sayap mengejar ketertinggalan.

Walaupun sewindu tak akan kelar, katanya. 

Jika saya berjalan pun, tak punya peta. 

Lalu langkah apa yang mampu menembus penderitaan ini. 
 

Berhari-hari satu ke tujuh, sepenuhnya sulit bersyukur. Bersikukuh bahwa rasa sakit hanya milik diriku seorang, yang lain tampak baik, bahagia saja. 
 

Hidup adalah pilihan (memilih sudut mana lagi tempat bersedih malam ini). Siklus hidup, manusia penuh keluh. 

Waktu demi waktu terpampang jelas sukacita orang banyak, bersemayam dalam benak

menghantui penuh sesak.

Mengapa saya tidak bisa, Tuhan?

bahagia hanya milik mereka, ya?


Sempat terbersit,

Apakah sebelum memulai pengembaraan ini ada pembagian bahagia dan saya salah satu orang yang tak kebagian.

Apa usahaku yang tak cukup?

atau doaku kurang khusyuk?

 

Kemudian api meredup, mengejawantahkan kata bahwa benar yang sengsara hanya diriku saja. 

ayat-ayat api berkobar

 

“Ia mencoba memadamkan cahaya padahal aku ini adalah api yang abadi”.

Lalu cahaya berkamuflase membentuk larik-larik romansa 

“Kau bahagia, semuanya bahagia. yang kau sedihkan hanyalah bagian paling kecil dalam perjalanan. Tak ada hati yang mampu terhindar dari nestapa. Hanya saja kau tak pernah tahu dimana ia tumpahkan air mata. ia terlihat bahagia, karena yang di tampilkan hanya bagian yang penuh warna. Ia hebat merawat kesedihan, menggantikannya menjadi gelak tawa bahagia. Sering-seringlah bersyukur, kasih sayang sejalan dengan kehidupan. Setiap detik adalah belaian, berbahagialah.”

Pesan api kepada jiwa-jiwa yang kehilangan sinarnya.

Related posts:

Surat untuk Wiras

Oleh: El Duhai Wiras Merah Mathari, kekasihku. Ras, masihkah kau merajuk? Kenapa mata kau sungkan menatapku? Ayolah, aku berjanji tak

Suara Hati Pusara

Oleh: Fadlin Yunus Halimah dengan muka menunduk, duduk di hamparan tanah seluas 800 meter persegi. Dengan mata sembab ia memegang

DESEMBER KESEKIAN

Oleh: Nur Fadliansyah Abubakar & A. Wafia Azzahra Makin perih namun teriris Semakin diam semakin sakit Lelah batin Ingin mati