Oleh: Muhammad Ayechral RK
Mahasiswa Fakultas Hukum Angkatan 2021
Lalu kita bersepakat di tepi-tepi api unggun, bahwa hidup sengsara tak dimiliki semua orang.
Milyaran jejak yang tak melekat, arti bahwa hidup kita tak sebentar.
Telah banyak waktu yang kita dekap
Begitu banyak angan yang bertebaran.
Kita hidup untuk apa, saya tidak pernah tahu.
Dunia ini adalah teka-teki keping dan hingga saat ini masih berantakan.
Jika bahagia berada di sudut semesta.
Saya akan rancang sayap mengejar ketertinggalan.
Walaupun sewindu tak akan kelar, katanya.
Jika saya berjalan pun, tak punya peta.
Lalu langkah apa yang mampu menembus penderitaan ini.
Berhari-hari satu ke tujuh, sepenuhnya sulit bersyukur. Bersikukuh bahwa rasa sakit hanya milik diriku seorang, yang lain tampak baik, bahagia saja.
Hidup adalah pilihan (memilih sudut mana lagi tempat bersedih malam ini). Siklus hidup, manusia penuh keluh.
Waktu demi waktu terpampang jelas sukacita orang banyak, bersemayam dalam benak
menghantui penuh sesak.
Mengapa saya tidak bisa, Tuhan?
bahagia hanya milik mereka, ya?
Sempat terbersit,
Apakah sebelum memulai pengembaraan ini ada pembagian bahagia dan saya salah satu orang yang tak kebagian.
Apa usahaku yang tak cukup?
atau doaku kurang khusyuk?
Kemudian api meredup, mengejawantahkan kata bahwa benar yang sengsara hanya diriku saja.
ayat-ayat api berkobar
“Ia mencoba memadamkan cahaya padahal aku ini adalah api yang abadi”.
Lalu cahaya berkamuflase membentuk larik-larik romansa
“Kau bahagia, semuanya bahagia. yang kau sedihkan hanyalah bagian paling kecil dalam perjalanan. Tak ada hati yang mampu terhindar dari nestapa. Hanya saja kau tak pernah tahu dimana ia tumpahkan air mata. ia terlihat bahagia, karena yang di tampilkan hanya bagian yang penuh warna. Ia hebat merawat kesedihan, menggantikannya menjadi gelak tawa bahagia. Sering-seringlah bersyukur, kasih sayang sejalan dengan kehidupan. Setiap detik adalah belaian, berbahagialah.”
Pesan api kepada jiwa-jiwa yang kehilangan sinarnya.