web analytics
header

Mengisi Bejana RUU Sisdiknas

Ilustrasi: Pinterest

Ilustrasi: Pinterest
Ilustrasi: Pinterest

Oleh: Aunistri Rahima MR

Pengurus LPMH Periode 2022-2023

“Pendidikan itu mengobarkan api, bukan mengisi bejana”, begitulah kutipan dari Socrates, sosok yang dianggap sebagai bapak filsuf dunia. Mengobarkan api tampak seperti meluluhlantakkan kebodohan, memberantas rasa malas dan menggantikannya dengan kehidupan yang lebih pantas, sedang mengisi bejana itu seperti bertindak untuk kantong pribadi, melupakan kebutuhan orang dan sibuk dengan dirinya sendiri.

Rancangan Undang-Undang (RUU) Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) bagai mengisi bejana, kandungannya seolah melupakan kebutuhan masyarakat, beruntung RUU Sisdiknas ini gagal masuk Program Legislasi Nasional Prioritas 2023. Artinya, UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasonal, UU No 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, dan UU No 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi tetap berlaku.

Hal tersebut karena banyaknya bentuk penolakan dan protes terkait urgensi dari disahkannya RUU Sisdiknas tersebut menjadi Undang-Undang dan substansi yang terkesan menghilangkan apa yang dianggap penting dari UU sebelumnya. 

 

Hak Berbahasa Daerah di sekolah

Bahasa Daerah tidak disinggung, sementara bahasa asing menjadi muatan wajib. Padahal bahasa menjadi faktor penting dalam perlindungan budaya. Dalam RUU sisdiknas  baru, bahasa daerah sama sekali tidak disebutkan, baik sebagai mata pelajaran maupun sebagai bahasa pengantar. Begitu pula dengan ayat 4 pada RUU tersebut, masyarakat adat tidak masuk pengecualian, padahal kita tahu sekolah formal belum dapat memenuhi ketersediaan pengajar maupun materi pelajaran agama untuk anak-anak dari umumnya masyarakat adat. 

 

Jalur Pendidikan

Dalam RUU Sisdiknas baru tidak lagi mencantumkan definisi tiap jalur pendidikan dalam Ketentuan Umum. Tidak ada perubahan konsep dalam RUU tentang peran pendidikan nonformal, tetapi ditempatkan sebagai pelengkap atau pengganti pendidikan formal, alih-alih jalur pendidikan yang setara dengan pendidikan formal.

RUU tersebut mengubah nama jalur pendidikan yang semula disebut “pendidikan informal” menjadi “pembelajaran informal”, sehingga menunjukkan adanya kedudukan yang berbeda dengan dua jalur pendidikan lain yang menggunakan istilah “pendidikan” baik formal dan nonformal.

Pasal 29 ayat (1) RUU menjelaskan bahwa kegiatan anak dan orangtua adalah sekadar “pembelajaran” (pasal 1 angka 11 RUU Sisdiknas) dan bukan “pendidikan” merupakan bentuk penyempitan arti “pendidikan”. Hal ini juga berpotensi memunculkan diskriminasi terhadap anak-anak praktisi pendidikan home schooling dibandingkan dengan anak-anak yang menjalani sekolah formal. 

 

Cakupan Pendidikan Nonformal

RUU Sisdiknas baru melakukan penyederhanaan kategorisasi pendidikan nonformal. Terlihat jelas ada upaya merespons isu formalisme melalui perluasan model dalam jalur pendidikan nonformal dengan model yang keluar dari indikator formal. Konsep pendidikan komunitas dan kecakapan hidup berpotensi tumpang tindih dengan konsep “pembelajaran informal”.

 

Kesetaraan Program Pendidikan Nonformal

Diksi “kesetaraan” merupakan pilihan yang mendegradasi peran dan fungsi pendidikan nonformal. Tidak ada klausul dalam RUU Sisdiknas baru yang menjamin bahwa hasil pendidikan komunitas dan kecakapan hidup akan diakui setara dengan pendidikan kesetaraan dan pendidikan formal. Seharusnya jalur pendidikan nonformal yang diselenggarakan komunitas mendapat pengakuan yang sama dengan jalur pendidikan nonformal yang dikategorikan dengan “pendidikan kesetaraan”.

 

Kesetaraan Program Pendidikan Informal

RUU Sisdiknas baru tidak lagi memuat klausul bahwa hasil pendidikan informal dapat diakui sama dengan pendidikan formal dan nonformal. Tidak ada payung hukum yang jelas untuk anak-anak pendidikan informal yang ingin pindah jalur ke pendidikan formal atau nonformal. Akan lebih baik jika pemerintah tidak memaksa praktisi pendidikan informal untuk kaku mengikuti Standar Nasional Pendidikan. Namun, harus diatur juga jaminan bahwa anak-anak yang menempuh jalur pendidikan informal agar dapat berpindah jalur atau mengakses hak/peluang yang sama dengan anak-anak dari pendidikan formal dan nonformal lewat mekanisme tertentu yang tidak melanggar esensi dari pendidikan informal yang tidak terikat pada Standar Nasional Pendidikan (SNP), misalnya dengan adanya Assessment Center (seperti SAT, TOEFL, IELTS, Cambridge) yang akan menguji secara objektif kemampuan anak dari jalur pendidikan mana pun pada usia berapa pun. Pemberian kebebasan bagi praktisi pendidikan informal dalam menjalan kegiatan pendidikan dengan anak-anaknya, tetapi tidak melindungi hak anak-anak tersebut untuk pindah jalur atau bisa mendapatkan hak-hak yang didapatkan lulusan sekolah, adalah bentuk lepas tangan pemerintah dan diskriminasi.

 

Standar Nasional Pendidikan dan Badan Pengembangnya

RUU mengganti komponen Standar Nasional yang diatur dalam UU Sisdiknas secara signifikan tetapi tidak memberikan keterangan yang cukup tentang maksud dari setiap komponen tersebut, dan bagaimana standar tersebut akan berdampak pada praktisi dari jalur pendidikan nonformal dan informal. Oleh RUU Sisdiknas yang baru, kewenangan menetapkan SNP disentralisasi ke tangan Pemerintah Pusat, tidak lagi dikembangkan oleh badan independen. Hal ini berpotensi membuat SNP akan berubah-ubah mengikuti kepentingan rezim politik yang sedang berkuasa.

 

Hak Pendidikan Masyarakat Adat

Pada UU No. 20 tahun 2003 ada pernyataan yang lebih tegas terhadap hak dan kemerdekaan pada masyarakat yang memiliki kekhasan budaya dan lingkungan sosial untuk menjalankan proses pendidikannya, baik dalam kerangka pendidikan formal atau nonformal. Namun pengakuan hak dan kemerdekaan menjalankan pendidikan bagi masyarakat adat tidak ada lagi di RUU Sisdiknas yang baru. Hak dan kemerdekaan untuk mendapatkan dan menjalankan pendidikan untuk sesuai dengan kekhasan budaya dan kondisi sosial.

Dalam pasal 55 di RUU tentang hak pendidikan menyebutkan kekhasan bakat, minat dan kemampuan, tetapi tidak dalam konteks yang lebih komunal seperti kepercayaan dan kebudayaan. Sebaliknya kelompok seperti masyarakat adat dianggap masuk dalam kategori kelompok rentan, yang dianggap kesulitan menerima pendidikan umum. Tetapi kebutuhan akan ke khususan budaya dan lingkungan sosial tetap tidak diakui. Baik menurut UU No. 20 tahun2003 maupun dalam RUU Sisdiknas, hanya kelompok masyarakat adat terpencil yang memiliki hak pendidikan layanan khusus.

Namun, bagaimana dengan yang tidak terpencil? Apa yang dimaksud dalam kategori terpencil? apakah ada kategori yang lain? Atas dasar apa sistem kategori ini ditetapkan? Apa yang dimaksud dengan pendidikan layanan khusus juga tidak jelas dalam RUU Sisdiknas yang baru. Artinya bukan saja RUU ini tidak memperbaiki yang menjadi kelemahan UU Sisdiknas yang lama. Tapi semakin menghilangkan ketegasan hak masyarakat adat memperoleh pendidikan yang sesuai budaya dan lingkungan sosialnya.

*Opini ini tidak mewakili pandangan redaksi Eksepsi

Related posts:

Manis Gula Tebu yang Tidak Menyejahterakan

Oleh: Aunistri Rahima MR (Pengurus LPMH Periode 2022-2023) Lagi-lagi perampasan lahan milik warga kembalidirasakan warga polongbangkeng. Lahan yang seharusnyabisa menghidupi mereka kini harus dipindahtangankan denganpaksa dari genggaman. Tak ada iming-iming yang sepadan, sekali pun itu kesejahteraan, selain dikembalikannya lahanyang direbut. Mewujudkan kesejahteraan dengan merenggutsumber kehidupan, mendirikan pabrik-pabrik gula yang hasilmanisnya sama sekali tidak dirasakan warga polongbangkeng, itu kah yang disebut kesejahteraan? ​Menjadi mimpi buruk bagi para petani penggarap polongbangkeng saat sawah yang telah dikelola dan dirawatdengan susah payah hingga mendekati masa panen, dirusaktanpa belas kasih dan tanpa memikirkan dengan cara apa lagipara petani memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kesejahteraanyang diharapkan hanya berwujud kesulitan dan penderitaan. ​Skema kerjasama yang sempat dijalin pun sama sekalitidak menghasilkan buah manis, petani yang dipekerjakanhanya menerima serangkaian intimidasi dan kekerasan hinggapengrusakan kebun dan lahan sawah siap panen, itu kahbentuk sejahtera yang dijanjikan? ​Kini setelah bertahun-tahun merasakan dampak pahitpabrik gula PT. PN XIV Takalar, tentu saja, dan memangsudah seharusnya mereka menolak, jika lagi-lagi lahan yang tinggal sepijak untuk hidup itu, dirusak secara sewenang-wenang sebagai tanda bahwa mereka sekali lagi inginmerampas dan menjadikannya lahan tambahan untukmendirikan pabrik gula. ​Sudah sewajarnya warga polongbangkeng tidak lagihanya tinggal diam melihat lahan mereka diporak-porandakan. Sudah sewajarnya meraka meminta ganti rugiatas tanaman yang dirusak, serta meminta pengembalian lahanyang telah dirampas sejak lama. Dan dalam hal ini, Kementerian BUMN, Gubernur Sulawesi Selatan, maupunBupati Takalar harus ikut turun tangan mengambil tindakansebagai bentuk dorongan penyelesaian konflik antara wargapolongbangkeng dan