Makassar, Eksepsi Online – (26/5) Beberapa hari terakhir, dalam rangka perayaan Dies Natalis yang ke 71, Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin (FH-UH) ramai mengadakan Kuliah Umum, menghadirkan begitu banyak dosen tamu dari berbagai macam latar belakang. Salah satu yang berkesempatan hadir adalah Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia (KPK-RI) Dr. Johanis Tanak, S.H., M.Hum.
Topik yang diangkat dalam kuliah umum tersebut adalah “Paradigma dalam Upaya Pemberantasan Korupsi di Indonesia”. Dalam sambutannya, Prof. Dr. Hamzah Halim, S.H., M.H., M.A.P. menyampaikan bahwa paradigma menurutnya adalah cara pandang, penting bagi setiap orang memahami segala upaya yang dapat dilakukan dalam mencegah dan menangani kasus korupsi di Indonesia.
Hal yang menarik perhatian para peserta adalah gagasan yang dibawa oleh Wakil Ketua KPK. Dalam pemaparannya, konsep penegakan hukum pada perkara korupsi saat ini, yang diatur dalam Undang-undang (UU) No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) yang dalam penerapannya diharapkan dapat memberikan efek jera kepada koruptor. Namun, tuntutan masyarakat adalah memiskinkan koruptor.
“Tujuan dari UU tersebut adalah efek jera, tapi ternyata tidak jera-jera juga, ditambah tuntutan masyarakat adalah miskinkan koruptor, pertanyaannya bagaimana caranya?”
Sembari menceritakan tentang diskusinya bersama salah seorang Profesor di salah satu Perguruan Tinggi di Pulau Jawa, ia memaparkan gagasan tentang penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi yang pada pokoknya adalah revisi UU Tipikor. Menurutnya, biaya negara yang digunakan pada penanganan kasus korupsi di Indonesia sangat besar.
“Ngapain kita ini menghukum orang, masuk penjara, sampai mati atau seumur hidup, jika kita melihat sebanyak apa kasus korupsi di Indonesia, dan besarnya biaya yang harus dikeluarkan oleh negara dalam menangani kasus korupsi, dalam satu periode saja, berapa biaya yang harus habiskan,” terang Dr. Johanis.
Menurut Dr. Johanis, seharusnya dalam penanganan kasus korupsi, hal yang harus dilakukan adalah meminimalisir biaya negara yang dikeluarkan. Berdasarkan UU Tipikor, telah didudukkan mengenai konsep perampasan harta pelaku tindak pidana korupsi. Berdasarkan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, selain pidana penjara dan denda, terdapat pula pidana tambahan yaitu:
a. perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana di mana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut;
b. pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebayak-banyaknya sama dengan harta benda yag diperoleh dari tindak pidana korupsi;
c. penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun;
d. pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh Pemerintah kepada terpidana.
Dr. Johanis berpendapat, ada begitu banyak kasus korupsi yang memang pelakunya telah mengembalikan kerugian negara. Namun, jumlah yang dikembalikan malah tidak menutupi apa yang Dr. Johanis sebut sebagai asset recovery.
“Ada begitu banyak kasus, dananya sudah mengalir ke pihak ketiga, atau lari ke singapura, yang dia tidak punya kerja sama ekstradisi dengan kita.”
Dalam gagasannya Dr. Johanis menganggap bahwa UU Tipikor perlu di revisi, pidana penjara sudah tidak relevan lagi karena hanya akan membuat negara mengeluarkan biaya lebih banyak. Dr. Johanis menerangkan, seharusnya, begitu seseorang ditangkap, dilakukan kemudian perhitungan kerugian negara oleh Badan Pemerika Keuangan Republik Indonesia (BPK RI). Kemudian hasil perhitungan tersebut menurutnya dapat dinaikkan menjadi dua kali lipat, atau tiga kali lipat, kemudian dibebankan kepada pelaku tindak pidana korupsi untuk diberikan kepada negara.
Salah satu peserta kuliah umum, Dhiyauddin El Syamil menanggapi pernyataan Dr. Johanis. Menurutnya, tindak pidana korupsi tidak pernah jauh dari tindak pidana pencucian uang. Menurutnya, sebaiknya semua konsep penanganan kasus korupsi, termasuk pidana penjara dan denda serta perampasan harta digabungkan.
“Jika fokusnya hanya pada pengembalian keuangan negara, misalnya dikatakan 2 kali lipat tanpa hukuman penjara, pelaku koruptor akan full senyum. Karena bisa saja hasil pencucian uangnya sudah berkali-kali lipat. Jika saya boleh memberikan pandangan, sebaiknya disatukan saja dua konsep pemidaan tadi, retributif dan restoratif yang dijelaskan tadi, supaya efek getarannya lebih kuat,” jelas Syamil. (aim)