web analytics
header

Jadilah Realistis, Kuliah Gratis Bukan Hal yang Mustahil

Mural #UKT MAHAL di Daerah Pintu Nol (Sumber: Dokumentasi Tim Eksepsi)

Oleh: Ahkamul Ihkam Mada

Pengurus LPMH-UH Periode 2022-2023

Tulisan ini terinspirasi dari kuliah jalanan yang dibawakan oleh Alan pada aksi peringatan hari pendidikan nasional, 2 Mei 2023 lalu. Saya tidak tahu nama lengkapnya, yang saya tahu, pemikirannya luar biasa. Tulisan ini bukan tulisan yang sempurna. Susunannya tidak teratur bahkan pembahasannya juga tidak lengkap. Hanya satu pesan yang ingin saya sampaikan. “Jadilah Realistis, Kuliah Gratis Bukan Hal yang Mustahil”

Prolog

Kala itu, Olympus, tempat dewa-dewi Yunani bersemayam sedang kacau. Api Olympus hilang, api yang selama ini disembunyikan Zeus dan dewa-dewi dari manusia, dicuri oleh Prometheus. Prometheus adalah seorang titan, entitas yang lebih tua dari dewa-dewi olympian. Sosok yang dikatakan peduli pada manusia, saking pedulinya, ia menentang Zeus dengan mencuri kebijaksanaan dan akal dari kamar Athena serta api dari bengkel Hephasteus untuk kemudian diberikan kepada manusia. Api itulah yang kemudian dipersonifikasi sebagai ilmu pengetahuan. Lengkaplah manusia sebagai satu ciptaan yang sempurna, berakal, bijaksana, dan dapat mengembangkan ilmu pengetahuan. Namun, keadaan saat ini justru makin membingungkan. Ilmu pengetahuan seakan kembali terkungkung di ruang-ruang tertentu. Ruang itulah yang saat ini kita sebut sebagai lembaga pendidikan. Ilmu pengetahuan seharusnya tidak di disimpan dan disebarkan hanya lewat lembaga pendidikan, ia harus bersifat universal, karena seperti itulah hakikat dari pendidikan, ia tidak mengenal pembatasan soal ruang dan waktu. Meskipun hanya sebuah kisah pada salah satu mitologi, apakah Prometheus harus kembali mencuri api yang disembunyikan di lembaga pendidikan saat ini?

Babak I: Hakikat Pendidikan

Redja Mudyahardjo dalam bukunya ‘Pengantar Pendidikan’ mendefinisikan pendidikan melalui tiga cara, yaitu definisi maha luas, sempit, dan luas terbatas. Saya berusaha memahami, singkatnya Redja berpendapat bahwa pendidikan adalah segala pengalaman belajar yang berlangsung dalam lingkungan sepanjang hidup. Secara sempit, pendidikan adalah sekolah, pendidikan hadir melalui lembaga yang menyelenggarakan pendidikan secara formal. Berdasarkan dua definisi tersebut, terdapat definisi selanjutnya, yaitu luas terbatas, definisi ini menggabungkan konsep maha luas dan sempit. Pendidikan tidak hanya dapat dilakukan di sekolah, dan diberikan oleh guru maupun dosen, tetapi pendidikan dapat dilakukan oleh siapa pun, kapan pun, dan di mana pun, asalkan, tujuannya untuk mendidik, dan mempersiapkan peran peserta didik pada kontribusinya di masyarakat nanti. Lantas apa hakikat dari pendidikan itu? Sederhana saja, pendidikan adalah usaha sadar untuk memperoleh pengetahuan dari lingkungan, dapat diberikan oleh siapa pun, di mana pun, dan kapan pun itu, baik di sekolah, maupun di ruang-ruang lain.

Babak II: Privatisasi Pendidikan

Dalam hukum, kita mengenal konsep publik dan privat. Publik secara terminologi dapat diartikan sebagai umum, sedangkan privat, adalah pribadi atau partikelir. Dalam penerapannya, pembagian ruang lingkup antara publik dan privat dapat dijawantahkan pada konsep pidana dan perdata. Misalnya, Hukum Publik mengatur hubungan dan akibat hukum yang terjadi antara negara dan masyarakat, itulah pidana. Sedangkan Hukum Privat mengatur hubungan antara masyarakat dengan masyarakat, itulah perdata. Artinya, Hukum Publik memberikan keleluasaan sekaligus kewajiban pada negara untuk menjamin pemenuhan serta pembatasan hak dan kewajiban dari masyarakat.

Pertanyaannya apakah hak masyarakat untuk memperoleh pendidikan masuk pada ruang lingkup publik atau privat? Jawabannya bisa iya, bisa tidak, tergantung konteks pembahasannya. Jika ditarik secara abstrak tentu saja hak tersebut wajib dijamin oleh negara. Karena secara normatif, dalam alinea ke-4 Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) telah didudukkan cita-cita negara yang salah satunya adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Lebih lanjut diperkuat pula oleh Pasal 31 ayat (1) UUD NRI 1945 bahwa “Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan”. Meskipun sifat UUD NRI 1945 sebagai konstitusi itu abstrak, tetapi melihat lebih jauh pada cita-cita bangsa Indonesia, yang tertuang pada Pasal 31 ayat (1) UUD NRI 1945, serta lebih dalam pada ayat (3) telah didudukkan bahwa 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) diberikan untuk sektor pendidikan. Timbul pertanyaan, se-spesial itukah sektor pendidikan sampai menjadi satu-satunya sektor yang minimal anggarannya ditetapkan di konstitusi?

Konsep publik dari pendidikan tentu saja berbeda dengan konsep privatnya. Contoh yang paling konkrit adalah lembaga pendidikan swasta yang dikelola oleh badan hukum. Orientasinya sangat jelas, selain daripada cita-cita dasar bangsa Indonesia, tentu saja, selayaknya sebuah lembaga swasta itu ada, Ia punya kepentingan profit, ia berdiri di atas hakikatnya sebagai lembaga yang sumber pendanaan terbesarnya berasal dari mahasiswanya sendiri. Meskipun biasanya lembaga pendidikan swasta dinaungi lagi oleh yayasan, tapi tetap saja, biaya operasional, tetap ditangguh penuh atau sebagian oleh mereka yang belajar di sana. Konsep seperti inilah yang diadopsi oleh Perguruan Tinggi Badan Hukum (PTN-BH). Konsep PTN-BH sederhananya adalah konsep yang memberikan otorisasi penuh terbatas pada satu badan hukum. Perguruan Tinggi misalnya, meskipun secara pengelolaan aset punya otonomi sendiri, tetapi pada Peraturan Pemerintah (PP) tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2015 Tentang Bentuk dan Mekanisme Pendanaan Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum, tanah dari Perguruan Tinggi tersebut masih menjadi milik negara. Bukan hal yang harus disesali, bukan pula suatu kesyukuran. Pembagian aset PTN-BHMN menjadi dua menimbulkan permasalahan. Apakah PTN-BH masih menjadi sektor publik, atau tipis-tipis sudah jadi sektor privat?.

Argumen kontranya akan bilang, PTN-BHMN tentu jadi privat, “Ini privatisasi pendidikan!” kata Saya dalam hati. Tapi yang lain bakal berkata, “wah ini merupakan hal yang harus diapresiasi, ketergantungan PTN pada APBN bukan lagi soal, ini jawaban atas pencarian kita selama ini!”

Babak III: Probabilitas Pendidikan Gratis

Idealnya pendidikan harus gratis. Sangat pesimis rasanya saat mulai menulis kalimat itu, das sollen, sesuatu yang diharapkan. Namun, das sein-nya justru berbeda. Saat saya sekolah di sekolah menengah atas, saya bayar uang bulanan, padahal sekolahnya adalah sekolah negeri. Terlebih lagi ketika masuk perguruan tinggi, sepertinya tidak usah dibahas lagi. Saat zaman kolonial, rakyat Indonesia kebanyakan tidak berpendidikan. Makanya banyak berdiri Sekolah Rakyat. Pendidikan kala itu tidak menjadi objek profesi, ia menjadi objek perjuangan untuk memerdekakan orang-orang dari kebodohan dan ketertinggalan. Orang yang mengajar dan belajar tidak digaji maupun dibebankan pembayaran. Namun saat ini orientasinya berubah, ditambah lagi ada konsep PTN-BH sektor publik sedikit lagi rasanya jadi sektor privat.

Jika pertanyaannya “Apakah pendidikan bisa gratis?” jawabannya bisa, ada begitu banyak contoh selain yang sebelumnya telah disebutkan, Finlandia misalnya. Jadi sangat mungkin pendidikan itu gratis. Secara konsep, Indonesia sebagai negara hukum mengamini hal tersebut, Konstitusi telah membuktikannya saat menjadikan bangsa yang cerdas menjadi salah satu cita-citanya. Lantas bagaimana ketika cita-cita itu terpatahkan oleh kemampuan ekonomi bangsa? Jawaban sederhananya semua sektor harus dibenahi secara keseluruhan, ekonomi, sosial, budaya, serta pendidikan harus dirombak. Perombakan tersebut bukan makar, kudeta, atau revolusi, bukan pula bentuk ketidakpercayaan terhadap hukum itu sendiri. Tapi sesuai dengan salah satu adagium yaitu “Het recht hink achter de feiten aan” yang jika diterjemahkan secara bebas maka artinya adalah hukum senantiasa mengatur apa yang seyogyanya diaturnya.

Pada tataran Konstitusi, sektor pendidikan sudah sangat ideal, tidak ada wacana amandemen dalam tulisan ini. Namun, masalah timbul pada aturan turunannya. Masalah tersebut hadir ketika daerah diberikan otonomi untuk mengatur sektor pendidikan dan kemudian membuka pintu untuk diterapkannya uang bulanan pada sekolah negeri. Masalah tersebut hadir ketika PTN-BHMN menjadi solusi kemandirian pengelolaan PTN. Jadi solusinya, revisi Undang-Undang dan aturan turunannya, serta benahi semua sektor secara keseluruhan. Terdengar ambisius, tapi begitulah kenyataannya. Karena jika tidak, akan ada salah satu sektor yang dikorbankan. Pendidikan gratis tapi pajak naik, pajak naik ketimpangan sosial dan ekonomi meningkat. Ujungnya, pendidikan gratis jadi hal yang mustahil.

Epilog

Tidak banyak kalimat yang akan menutup tulisan ini. Setiap paragraf saya buat untuk menyimpulkan sendiri apa yang dibahasnya. Satu kalimat yang mungkin berarti, hari pendidikan nasional tiap tahun diperingati. Hari itu dipilih bersamaan dengan lahirnya Ki Hajar Dewantara, pahlawan dan tokoh pendidikan di Indonesia. Ki Hajar Dewantara pernah berkata “Setiap orang adalah guru, dan setiap rumah adalah sekolah”. Maka benarlah bahwa pendidikan tidak hanya dapat diperoleh di sekolah. Tapi di saat yang bersaamaan, melalui sekolah, negara punya tanggungjawab besar untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan gratis dalam konteks lembaga pendidikan yang dijalankan oleh negara bisa saja gratis. Tapi, setiap orang yang mengidentifikasi dirinya sebagai pelajar dan peserta didik harus pula sadar, bahwa selain di sekolah, ada banyak tempat ia dapat memperoleh pendidikan.

*Opini ini tidak mewakili pandangan Redaksi Eksepsi

Related posts: