web analytics
header

Menjadi Homo Altruisticus di Tengah Masyarakat Kapital

Oleh: Muh. Abi Dzarr Al Ghiffariy

(Pengurus LPMH Periode 2022-2023)

“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain.” (Hadits Riwayat ath-Thabrani, Al-Mu’jam al-Ausath, juz VII, hal. 58, dari Jabir bin Abdullah r.a.. Dishahihkan Muhammad Nashiruddin al-Albani dalam kitab: As-Silsilah Ash-Shahîhah)

“Jika kalian berbuat baik, sesungguhnya kalian berbuat baik bagi diri kalian sendiri …” (QS al-Isrâ/ 17: 7)

Altruisme adalah sikap atau perilaku di mana seseorang melakukan tindakan yang bertujuan untuk membantu orang lain tanpa mengharapkan imbalan atau keuntungan pribadi. Pada dasarnya, altruisme memandang bahwa seseorang dengan niat baik bertindak untuk memberikan manfaat kepada individu atau kelompok lain, bahkan jika itu bisa merugikan dirinya sendiri.

Altruisme sendiri berasal dari bahasa Perancis, yaitu Auturi yang berarti orang lain. Auguste Comte (1789-1857) salah seorang tokoh sosiologi memercayai bahwa individu pada dasarnya memiliki obligasi moral untuk mendedikasikan dirinya demi kepentingan dan kemaslahatan orang lain, dan atau kebaikan manusia banyak.

Secara konsep, altruisme lahir sebagai antitesis dari selfishme (penulis tidak menggunakan nomenklatur egoisme, karena Max Stirner memiliki teori tersendiri mengenai egoisme, nanti ditulis kalau mood). Para altruis ini hadir untuk membela dan melayani orang lain, berkorban demi masyarakat serta menahan keinginan diri demi cinta akan orang lain.

Mungkin bagi teman-teman terdengar lucu. Hari gini mau buang diri untuk orang, kalo Bayam sore (2000-Sehat wal afiat) bilang kamu itu tolol“. Penulis sendiri tidak bisa menyalahkan anggapan masyarakat umum terkait dengan altruisme ini, sebab hingga detik ini dalam benak penulis juga masih sulit untuk berbuat “baik” (penulis sedang memasuki era menjadi villain krisis identitas).

Masyarakat kapital kontemporer (Ya, betul. Lagi-lagi kapitalisme coy!) tentu saja menghadirkan berbagai “inovasi”, salah satu “inovasi” paling terkini, paling mutlak, paling membahana dari kapitalisme adalah kemerosotan moral. Kemerosotan moral yang penulis maksud di sini adalah bagaimana sistem kapitalistik yang memaksa orang untuk “berkompetisi” secara tidak langsung membentuk sebuah hegemoni budaya di mana menurut Thomas Hobbes manusia itu sebagai “Homo-homini lupus” yaitu manusia adalah serigala bagi manusia lainnya. Konsekuensinya adalah, “Act of selfless is an act of fool” yang kalau diartikan berarti orang yang berbuat baik itu berarti tolol.

Kita ambil contoh, ketika misalnya di kafe. Si A yang mungkin memiliki karakteristik altruis melihat si B, seorang server kafe yang membawakan minuman ke pelanggan. Gelas minum yang dibawa B jatuh dan tumpah. Si A dengan sigap membantu mengambilkan pel dan bahkan membantu mengepel lantai tersebut. Hal ini disaksikan oleh si C, seorang “pragmatis” dan “pemuja pasar”. Ia menganggap bahwa si A adalah orang yang bodoh, adapun dasar C beranggapan demikian karena berangkat dari justifikasi, yaitu sudah menjadi bagian dari tugas si B selaku server tadi. Ditambah juga ia menganggap bahwa si A ini sok-sok ingin pencitraan dan berbagai macam nyinyiran sumbang.

Adapun contoh lainnya, misalkan penulis merupakan seorang ketua lembaga. Dalam kegiatan kaderisasi, penulis mencoba menerapkan prinsip altruistik ini. Mungkin paling tidak agar agenda “bentak-bentak maba” atau tugas tugas konyol bisa diminimalisir. Kemudian yang menjadi permasalahan adalah ketua panitia dan gembongnya justru merupakan orang yang memegang erat budaya “kedisiplinan” gaya lama dengan justifikasi bahwa kalau kita berbuat baik ke mahasiswa baru maka si mahasiswa baru akan kurang ajar nantinya. Akibat bargaining politik yang kurang, maka si ketua lembaga ini pun mengalah, idealismenya tidak berhasil diterapkan dan mata rantai penindasan tidak diputuskan.

Nah, inilah paradigma yang coba kapitalisme bangun. Mereka mencoba memperjelas margin kelas dengan membentuk hierarki. Entah itu dalam model pelayan-pelanggan, junior-senior, mahasiswa-dosen, dan lain sebagainya. Nilai moral pun terdegradasi di mana sistem kapitalisme menyusupkan hirearki ini ke dalam sistem budaya masyarakat. Inilah yang Antonio Gramsci (1891-1937) jauh-jauh hari katakan sebagai “Cultural Hegemony” atau hegemoni kebudayaan. Perlahan, budaya yang disusupi oleh agenda kapitalistik ini mengubah pandangan mayoritas mengenai apa yang dikatakan sebagai moral dan amoral pun juga baik tidak baik. Yah, konsekuensinya kemudian adalah kebudayaan yang hadir justru melanggengkan penindasan kelas alih-alih membudayakan masyarakat.

Ayolah, masyarakat masih bisa lebih baik daripada ini. Adam Smith (1723–1790) kan pernah mengatakan bahwa manusia itu “Homo homini socius” yang berarti manusia adalah teman bagi manusia lainnya. Pokoknya bagaimana kita bisa bermanfaat bagi orang lain lah, jangan di bio Instagram saja dipasang ayat Al-Quran tentang berbuat baik kemudian di dunia nyata tidak. Implementasikan sob!, buatlah budaya baru, lenyapkan adat dan paham tua, marilah semua sadar sadar. Kemudian jadilah homo altruisticus yaitu manusia yang peduli pada manusia lainnya.

Those who do not move don’t notice their chains -Rosa Luxemburg

Wa-Wa-Wa…!

*Opini ini tidak mewakili pandangan redaksi Eksepsi

Related posts: