Oleh: Elmayanti
(Pengurus LPMH Periode 2022-2023)
Aku mengatur napas, mencoba terlihat biasa saja.
“Ini sudah sampai mana?” tanyaku pada Kirtan, menunjuk sembarang ke arah laptop. Apapun itu, aku harus mengalihkan pikiranku. Aku tidak boleh merasa sakit, terluka, atau apalah itu namanya. Tidak boleh. Aku menolak.
Tapi, ah sial!
Sungguh sial.
Bagaimanapun aku mengelak, ini terasa sakit.
“Raha tidak bisa datang, pacarnya sedang sakit.”
Kalimat itu diucapkan Diana 3 menit lalu, tapi masih membawa pengaruh sampai sekarang, bahkan sampai besok-besok.
Aku merapal doa, semoga tidak ada yang mampu membaca mataku.
Dari banyaknya hari yang ku siapkan untuk mendapati kenyataan ini, kenapa malam ini? Tidak ada aba-aba, aku tidak siap. Atau mungkin aku tidak akan pernah siap. Tidak pernah ada waktu yang tepat untuk mendengarkan kabar itu.
Kenapa juga dia tidak seperti kebanyakan pria yang memamerkan kekasihnya secara terang-terangan. Puh! seharusnya semua orang di muka bumi ini punya status yang tertulis di jidatnya.
Aku mengginggit bibir.
“Nanti juga lupa, seperti yang sudah-sudah,” bujukku pada satu yang berontak tak terima di dalam sana.
Mencoba meyakinkan diri, ini bukan pertama kalinya, harusnya tidak sesakit ini bukan? Namun, tak ada yang namanya terbiasa untuk sebuah luka. Sesering apapun, pasti akan terasa sakit.
Ku bukan laman Instagramnya, mencari tahu lebih banyak. Saat seperti ini aku benci kebiasaanku sebagai reporter kampus, terlalu butuh validasi. Aku butuh detail, apapun itu, aku mencari tahu. Entah mencari tahu siapa gerangan perempuan beruntung itu ataukah mencoba memastikan apakah benar iya sudah memiliki pasangan, bagaimana jika Diana hanya membual? Di saat-saat seperti ini, aku tak bisa mengenali diriku. Antara Perempuan yang mencoba menerima dan merasa semua akan baik-baik saja dan Perempuan gila yang yakin bahwa selalu ada kemungkinan.
Diana, Sang Penyampai kabar buruk malam ini pamit pergi. Selang beberapa menit, ku ajak Kirtan pulang. Terlalu lama di kedai kopi yang memutar lagu-lagu Revenge jadi berbahaya, terlebih untuk malam ini.
Kampus merahku seperti biasa, gelap di malam hari, terlalu gelap. Tapi kali ini kumanfaatkan keadaan itu untuk bercerita pada Kirtan, setidaknya Kirtan di belakang sana tidak melihat raut wajahku di spion motor saat bercerita.
“Aku Cuma kagum saja, gak lebih. Agak ngerasa sedikit kaget saja pas tahu dia sudah ada pacar,”
Aku hanya tak ingin terlihat menyedihkan dan seperti biasa, Kirtan menyadarinya.
“Eleh bilangnya cuma kagum, itu mah kamu denial saja. Gak mungkin kamu sakit pas tahu dia ada pacar kecuali kamu pengennya ada di posisi itu”
Duh, sialan! Kirtan mampu membacaku ketika aku sendiri buta membaca diriku sendiri.
“Ciel, dengerin aku. It’s okay not to be okay.”
Aku tak membalas lagi, hanya tersenyum kecil. Nugraha, pria itu tidak bersalah. Tidak sesiapun pun bisa disalahkan hanya karena ia tak membalas perasaan. Dia yang bersama gadis lain pun bukan lah suatu kesalahan. Sungguh, tidak ada yang salah. Tapi tetap saja sakitku butuh ‘objek’ untuk disalahkan.
Rabu malam itu, aku kembali menangis di jalan pulang. Aku tahu Makassar sedang panas-panasnya, hujan sungkan menyambangi. Tapi ayolah, bisa kah malam ini hujan menjenguk jalan Perintis, bantu aku samarkan derasnya luka.
Rabu malam itu, aku dirasuki perempuan gila yang membayangkan suatu saat pria itu akan berakhir dengan kekasihnya lantas kita berdua bersama dan kita berdua duduk di tepi dermaga sambil ku ceritakan bagaimana aku menulis cerita cengeng ini.
Rabu malam itu, Ciel pikir ia telah dirasuki perempuan gila.
Tidak, dia bukan Perempuan gila, dia tidak gila.
Dia hanya Perempuan yang sedang patah hati.
Bersambung…