web analytics
header

Jeritan Pilu itu Bernama Investasi

Sumber: WALHI Riau

Oleh: Ade Nova Puspita Sari

(Pengurus LPMH Periode 2023)

Investasi, kata ini mungkin terdengar sangat menjanjikan bagi sebagian orang, namun jangan salah, kata ini bisa terdengar seram bagi sebagian orang juga. Orang yang penulis maksud di sini adalah warga Rempang. Rempang adalah suatu pulau yang terletak di Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau. Alih-alih senang mendengar kata ‘investasi’, warga Rempang justru bergidik ketakutan. Mengapa? Karena ada sesuatu yang mereka punya, yang diambil dan dialihkan secara paksa. Apa itu? Iya, tanah dan tempat tinggal mereka terancam.

Berawal dari perencanaan pembangunan proyek yang bernama Rempang Eco City yang digagas oleh Badan Pengusaan (BP) Batam dan PT Makmur Elok Graha (MEG) yang sudah direncanakan sejak 2004 silam. Proyek yang mereka gagas adalah pembangunan pabrik kaca yang digadang-gadang luasnya mencapai 7.572 hektare, sebagian luas dari Pulau Rempang dipertaruhkan di sini. Proyek inilah yang kemudian disebut menjadi Proyek Strategis Nasional (PSN). Proyek ini direncakan untuk pembangunan kawasan industri, jasa, dan pariwisata. PT MEG, berhasil meyakinkan perusahaan besar asal Tiongkok, Xinyi International Invested Limited untuk berinvestasi sebesar USD 11,5 Miliar atau setara dengan 174 Triliun Rupiah hingga 2080 mendatang. Rencana ini kemudian terus mendapatkan penolakan yang keras dari warga Rempang dari 2004 hingga sekarang.

Penolakan ini tentu muncul karena berbagai macam sebab, salah satunya karena masyarakat adat Pulau Rempang ini sudah menetap secara turun temurun sejak 1834. Namun, tak banyak yang bisa dilakukan oleh warga Pulau Rempang yang menolak pembangunan proyek ini, karena warga Rempang sendiri tak memiliki kuasa, mengingat bahwa negara sudah memberi hak kepada suatu entitas perusahaan untuk mengelola wilayah Pulau Rempang. Mengutip pernyataan Menteri Koordinator bidang, Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD, pemerintahan saat itu menilai bahwa proyek di Pulau Rempang ini jika terealisasikan mampu menyaingi Singapura dan Malaysia, terlebih lagi lokasi Pulau Rempang yang strategis karena berada di Selat Malaka.

Puncak penolakan terjadi pada (8/09/2023). Berawal saat BP Batam bersama aparat gabungan memasuki wilayah objek pembangunan untuk melakukan pengukuran lahan. Tentu warga Pulau Rempang menolak keras dan langsung mengusir aparat, bentrokan pun terjadi. Warga melempari petugas dengan batu sementara petugas menyemprot dengan gas air matadan water canon. Namun perlu digaris bawahi bahwa petugas bukan hanya melempar gas air mata ke arah kerumunan warga yang menolak, tetapi juga melempar dengan membabi buta hingga kena di kawasan sekolah dasar yang membuat guru dan murid berlari ketakutan. Kejadian ini terekam dan diposting oleh akun Instagram resmi @walhi.nasional milik organisasi konservasi lingkungan tersebut.

Dilansir dari Vibrasi.co, Kepala BP Batam Muhammad Rudi menerangkan, sebenarnya pihaknya sudah melakukan sosialisasi terkait relokasi penduduk untuk proyek pengembangan ini. Berbagai solusi dan kompensasi pun sudah ditawarkan kepada Warga Rempang. Beberapa dari solusi BP Batam adalah :

  1. Warga yang terkena dampak proyek akan direlokasi di Pulau Galang, yang jaraknya kurang lebih 6-7 kilometer dari Pulau Rempang
  2.  Selama menempati hunian sementara tersebut, BP Batam bersedia memberikan kompensasi berupa uang Rp 1,2 juta per orang dalam satu KK (Kartu Keluarga)

Namun, hunian sementara ini baru akan selesai pembangunannya pada Agustus 2024. Sehingga BP Batam mengakomodasi hunian sementaranya yang berlokasi di Rusun BP Batam, Rusun Pemko Batam, serta ruko dan rumah yang telah ditentukan.

Usaha yang dilakukan BP Batam guna mengajak warga untuk bersedia direlokasi pun terlihat, mulai dari pemasangan baliho yang mengajak warga untuk bersedia mendaftarkan diri untuk direlokasi, mulai Nampak di sudut-sudut strategis yang ada di Pulau Rempang.

Menurut penulis sendiri, ini kejadian yang memprihatinkan, ditambah dengan kerusuhan yang membahayakan dan dapat menelan korban. Penulis berpendapat, jika sudah dilakukan sosialisasi mengenai kompensasi dan solusi, seharusnya kejadian kerusuhan ini sudah bisa terhindarkan. Sebenarnya, pihak dari BP Batam pun harus bersedia untuk ‘diamuk’ warga jika melakukan kegiatan di dalam proyek ini, mengingat masih banyak warga yang belum bersedia untuk direlokasi. Jika ingin melakukan pengukuran, seharusnya pihak BP Batam tidak langsung membawa aparat gabungan, yang terkesan mengintimidasi warga Pulau Rempang ini. Siapa yang tidak takut dan khawatir jika pada saat pagi buta BP Batam dengan aparat gabungannya berbondong-bondong turun untuk melakukan pengukuran lahan. Apalagi sudah banyak patok-patok yang menandakan bahwa proyek ini akan segera dibangun. Sungguh kejadian yang naas, berkedok investasi yang ‘menjanjikan’ ini , banyak masyarakat yang dirugikan, banyak pula masyarakat yang bergidik ketakutan karena takut tanah dan tempat tinggalnya akan dirampas. Warga Rempang sudah bukan memikirkan ‘besok mau makan apa?’ tapi yang sedang ada di pikiran warga ialah ‘Rumah, tanah serta Keluargaku besok bagaimana nasibnya?’

*Opini ini tidak mewakili pandangan redaksi Eksepsi

Related posts: