web analytics
header

Polemik KKN: Keserakahan Jabatan

Sumber: Tim Eksepsi

Oleh : Febriyana Zatirah Rachman Nayla Azkiah Makarim (Peserta Ko-Kurikuler Jurnalistik 2023)

Praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme tidak lagi menjadi suatu hal yang tabu, namun tumbuh mengakar bersama dengan perkembangan manusia dalam setiap lapisan masyarakat. Tanda tanya besar muncul ketika pelaku yang terlibat dalam praktik KKN ini justru kebanyakan dari pejabat negara.

Salah satu kasus yang sedang marak dibicarakan ialah terkait kasus korupsi Mantan Menteri Pertanian RI, Syahrul Yasin Limpo, yang bernilai sebesar 13 miliar rupiah. Dalam menanggapi kasus ini, Dr. Ivan Parawansa, selaku Dosen Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, bersedia memberikan pandangannya terkait budaya korupsi di Indonesia, juga terkait kasus korupsi yang menjerat Mantan Mentan Repubik Indonesia.

Apa itu KKN ?

Terkait dengan KKN, sebenarnya sudah diatur di dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah menjadi UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Korupsi merupakan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum. Jika pengertian korupsi itu sudah dirumuskan dengan jelas, tapi hal ini tidak berlaku dengan kolusi dan nepotisme. Sampai saat ini, kolusi dan nepotisme masih sulit untuk digambarkan secara lebih jelas dan konkrit. Namun, kita bisa melihat berbagai fenomena di sekeliling kita mengenai nepotisme.

Contohnya, yang saat ini sedang viral, yaitu terkait kasus keputusan Hakim MK terkait aturan batas umur capres dan cawapres yang dianggap bias karena ternyata dia memiliki hubungan kekerabatan dengan bakal cawapres, yaitu Gibran Rakabuming, yang juga merupakan anak Presiden RI saat ini. Banyak juga kasus pejabat daerah yang menggunakan kekuasaannya untuk memberikan jabatan kepada anak atau keluarganya.

Hal ini mungkin dapat ditoleransi jika anak atau keluarganya itu memang berkompeten, namun jika dia tidak berkompeten di bidang itu tentu akan membawa kerugian yang besar. Pejabat itu tidak hanya menyalahgunakan kekuasaan yang dia punya, tapi juga membawa kerugian ke orang-orang di sekitarnya.

Bagaimana tanggapan Anda terkait kasus yang menimpa Mantan Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo, yang notabene adalah seorang pejabat negara tetapi justru terjerat ke dalam praktik KKN?

Kasus ini sedang diproses oleh KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Kalau sesuai berita yang beredar, nominal yang dihitung itu di atas 1 miliar rupiah, bahkan mencapai 13 miliar rupiah. Itu bukan jumlah yang kecil. Sesuai pengertiannya tadi, tindak pidana korupsi itu adalah perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain.

Dalam kasus Pak SYL, dia memperkaya diri sendiri. Uang hasil korupsi itu, misalnya dia tarik atau peras dari orang-orang dia pergunakan untuk mendukung gaya hidup keluarganya. Itu sudah termasuk dalam tindak pidana korupsi karena dia memperkaya diri sendiri secara melawan hukum dan tidak sah.

Apa faktor yang menjadi penyebab pejabat negara tetap melakukan tindak pidana korupsi di saat mereka menerima gaji dan berbagai tunjangan lain yang resmi dari negara?

Sebenarnya, faktor-faktor penyebab korupsi itu ada banyak. Mereka sudah punya gaji yang mapan, tapi kenapa tetap seperti itu? Jawabannya adalah serakah. Serakah adalah faktor utama. Dia tidak mensyukuri apa yang diberikan oleh Allah swt. kepada dirinya dan keluarganya, sehingga dia merasa apa yang dimilikinya saat ini itu masih belum cukup dengan yang apa yang didapatkan dan dihasilkan oleh dirinya sendiri sehingga dia terus memperkaya diri sendiri, dia terus melakukan tindak pidana yang di luar dari kewenangannya.

Lalu, faktor kedua, yaitu karena adanya kesempatan. Kesempatan yang seperti apa? Misalnya soal SYL ini, dia menduduki sebuah jabatan.

Maka selanjutnya akan timbul pemikiran seperti: “Saya seorang menteri, ini kesempatan saya untuk memperkaya diri sendiri.” “Saya seorang pejabat, saya memiliki kesempatan untuk memperkaya diri sendiri.”

Untuk faktor yang ketiga, yaitu karena adanya kebutuhan. Dia korupsi karena butuh untuk menyenangkan anaknya atau menyenangkan istrinya yang gaya hidupnya selangit, misalnya. Orang akan melakukan apa saja ketika dia merasa butuh.

Yang keempat, karena adanya pengungkapan. Orang yang mengungkap bahwa terjadi suatu tindak pidana korupsi sehingga tindakan ini diketahui oleh publik.

Yang kelima, karena adanya kekuasaan. Kekuasaan itu identik dengan adanya kesempatan. Karena dia berkuasa, maka dia memiliki kesempatan untuk melakukan tindakan tersebut.

Yang keenam, adanya monopoli yang tidak terbatas. Perusahaan yang saat ini mendominasi, misalnya Perusahaan A. Dia mendapatkan proyek di kantor A, lalu dapat pula di kantor B. Semua kantor ini sebenarnya satu perusahaan, hanya nama direksinya saja yang berbeda. Itu yang dimaksud monopoli. Contoh lain dari monopoli tidak terbatas itu, seperti saat ada satu perusahaan yang terus-terus menguasai seluruh bagian dalam setiap pekerjaan. Hal seperti itu sebenarnya tidak diperbolehkan karena telah diatur dalam UU bahwa tidak boleh suatu perusahaan memonopoli suatu pekerjaan di suatu instansi terkait.

Lalu, faktor lain juga karena adanya motivasi dan niat. Itu semua adalah faktor-faktor penyebab terjadinya korupsi.

Dengan berbagai faktor tersebut, apakah artinya SYL ini tidak berhasil menjadikan hukum sebagai penghalangnya ketika berhadapan dengan tindak pidana korupsi? Bagaimana pendapat Anda?

Pak SYL itu orang hukum. Secara pribadi, saya masih belum percaya Pak SYL melakukan tindak pidana korupsi. Kita masih mengedepankan asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence). Jejak kariernya itu bukan main-main. Pernah menjabat berpuluh-puluh tahun sebagai pejabat negara, mulai dari lurah, camat, kepala bagian, Bupati Gowa untuk dua periode, wakil gubernur untuk satu periode, gubernur untuk dua periode, dan sekarang karirnya memuncak naik menjadi menteri.

Tapi, tetap kita harus menghormati proses hukum yang sedang berjalan. Ikuti terus kasusnya, dan jika dalam putusan pengadilan memang SYL terbukti melakukan itu, berarti memang SYL bersalah. Meskipun dia sudah tertangkap tangan dan kalau tertangkap tangan artinya memang ada yang terjadi, tetapi tetap kita mengedepankan yang namanya asas praduga tidak bersalah. Tentu Pak SYL lebih paham terkait dengan hal itu.

Mengapa masih banyak pejabat negara yang terlibat dalam tindak pidana korupsi di saat mereka lebih paham tentang hukum?

Lawrence Friedman pernah mengungkapkan terkait 3 teori penaklukan hukum. Ada yang namanya subtansi, struktur, dan kultur.

Substansi itu terkait dengan peraturan perundang-undangannya. isi dari undang-undang itu apa? Indonesia sendiri sudah merumuskan UU Tindak Pidana Korupsi, harusnya dengan UU tersebut, sudah cukup membuat orang-orang menjadi mawas diri. Orang-orang bisa mencegah dirinya untuk melakukan tindak pidana korupsi. Selanjutnya, yaitu struktur-nya. Struktur yang dimaksud disini adalah terkait kesinergisan para aparat penegak hukum dalam menjalankan tugas-tugasnya.

Yang ketiga, yaitu kultur atau budaya. Di Indonesia, budaya pencegahan korupsi sebenarnya sudah digalakkan. Tapi tetap saja yang terjadi justru sebaliknya. Hal ini terjadi karena ketiga teori tersebut perlu berjalan seiring dan seirama. Walaupun secara struktur dan substansi bagus, namun jika kulturnya tidak dikembangkan dengan baik, maka penegakan hukum yang sedang diupayakan itu tidak akan efektif. Begitupun sebaliknya. Semua harus berjalan sinergis dalam rangka penegakan hukum yang efektif.

Apa perbedaan dari Pemerasan dan Penyuapan ? penyuapan itu ada karena terjadinya kesepakatan, sedangakan pemarasan terdapat ancaman yang diterima oleh seseorang misalnya “jika kamu tidak memberikan saya uang 100jt, saya akan membunuh kamu”, itu merupakan contoh terdapatnya pemerasan lalu terdapat pula unsur ancaman didalamnya. Ancaman tersebut dapat berupa secara fisik, maupun secara verbal. Apakah dapat dikatakan bahwa penyuapan itu menguntungkan dua belah pihak ? bukan menguntungkan kedua belah pihak, karena terdapat kesepakatannya. Yang diutungkan sebenarnya adalah pihak yang diberi. Karena korupsi dikatakan “perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain”. yang diperkaya disini adalah orang yang diberi, bukan orang yang memberi. Apakah terkait kasus SYL dan Firli Bahuri merupakan kasus penyuapan? Terkait kasus ini lebih kepada pemerasan, karena sebelumnya Bapak SYL telah terdesak dengan keadaan. Jadi, apabila bapak SYL tidak memberikan uang kepada ketua KPK tersebut, maka sudah pasti proses hukumnya berjalan.

Bagaimana pendapat Anda terkait isu yang melibatkan Ketua KPK, Firli Bahuri, yang dicurigai telah membuat kesepakatan ketika ketahuan melakukan pertemuan dengan SYL yang saat ini kasusnya sedang diproses oleh KPK? Hal ini masih menjadi isu, jadi biarkan KPK melakukan penyidikan terlebih dahulu. Tetapi, semua jajaran KPK itu tidak boleh bertemu dengan orang yang sedang berperkara atau sedang ditangani perkaranya oleh KPK. Dari segi etik, itu tidak boleh. Wajar saja jika Firli Bahuri ini kemudian dicurigai tergabung dalam tindak pidana itu. Dalam hal ini, dapat diidentifikasi bahwa terjadi sebuah pemerasan. Pemerasan itu termasuk dalam bagian korupsi. Keduanya adalah pejabat negara yang sama-sama memiliki kepentingan. Jika saat itu betul terjadi kesepakatan, maka bisa jadi ada penyuapan di dalamnya.

Mengapa Korupsi tidak langsung disamaratakan saja hukumannya, yaitu hukum mati? Dunia ini terdapat hukum HAM, hak dasar pada Hak Asasi Manusia, yaitu Hak untuk hidup, di negara-negara lain hukuman mati itu sudah tidak diberlakukan lagi bagi tindak pidana korupsi, hanya penjara seumur hidup, karena adanya hak dasar pada orang tersebut, yaitu hak untuk hidup. Di Indonesia saat ini terkait hukuman mati, dijadikan sebagai hukuman opsional saja, dalam Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor menyebutkan, “Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu pidana mati dapat dijatuhkan.” “Yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” dalam ketentuan ini dimaksudkan sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.”. Terdapat juga keputusan MK kemarin bahwa COVID itu bukan bencana non-alam, tetapi ketika dana covid di korupsi, itu dapat diberikan hukuman pidana mati. Begitupun juga didalam KUHP yang baru “hukuman pidana mati, dijadikan sebagai hukum pidana alternatif dalam memberikan hukuman”, mengapa dikatakan alternatif, dikarenakan hukuman pidana mati itu bisa diganti apabila dalam tempo 10 tahun, sikap pidana mati itu berkelakuan baik, dan lain sebagainya. Sehingga dapat diubah, dari pidana mati menjadi pidana seumur hidup.

Apakah hukuman bagi pelaku tindak Korupsi yang berupa denda, pidana penjara, ataupun hukuman mati itu sudah efektif untuk diberikan jera kepada mereka yang telah melakukan tindakan Korupsi tersebut? Dapat dikatakan efektif, tetapi kembali lagi kepada diri sendiri, integritas yang kita miliki. Apabila substansi kita bagus, tetap kultur dan struktur tidak bagus, makan tidak efektif dalam penegakan hukum. Maka dapat dikatakan bahwa kultur, substansi, dan struktur harus berjalan seiringan dan seirama. Untuk efek jera tidak dapat ditentukan tolak ukurnya. Tetapi kembali lagi kepada diri kita masing-masing, integritas yang utama. Biarpun kita punya jabatan ataupun kekuasaan, kita dapat menahan diri dari godaan, tentu itu tidak akan terjerumus dari hal seperti itu dalam tindakan korupsi, jadi sebenarnya sekali lagi bahwa itu tergantung dari diri kita sendiri. Terkait apakah sudah sebanding atau sesuai hukuman tersebut dengan pelaku tindam korupsi, di dalam tindakan korupsi tidak hanya tindakan pokok yang diatur, ada juga sanksi pokok tambahannya, seperti perampasan aset, penggantian kerugian, dan lain sebagainya. Kalau hal itu bisa digalakkan dan dimasifkan, penggantian kerugian itu, tentu dana kerugian yang diambil dari negara itu, tentu bisa ditutupi, itu salah satu solusi dari pidana tambahan.

Related posts: