Penulis: Angelina Arnelita Jehata, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin
Perbuatan Merendahkan Kehormatan dan Keluhuran Hakim (PMKH) mencerminkan tantangan serius dalam sistem peradilan di Indonesia. Fenomena ini memperlihatkan sangat rendahnya tingkat kesadaran hukum di kalangan masyarakat, di mana ketidakpuasan terhadap putusan hakim sering kali memicu reaksi emosional yang berujung pada tindakan kekerasan atau praktik “main hakim sendiri”. Tindakan seperti ini tidak hanya mencederai martabat dan integritas profesi hakim, tetapi juga merusak kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum.
Secara hukum, pelanggaran terhadap hakim yang dilakukan melalui kekerasan atau intervensi langsung, jelas bertentangan dengan Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar (UUD) Tahun 1945 yang menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman adalah merdeka dan tidak boleh diintervensi oleh pihak mana pun. Hakim memiliki kedudukan khusus dalam menjalankan fungsi peradilan yang harus dihormati oleh semua pihak.
Selain itu, Pasal 3 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang mandiri, bebas dari campur tangan luar, termasuk dari masyarakat yang melakukan tindakan main hakim sendiri.
Namun, ketidakpuasan terhadap putusan hakim seringkali tidak dilanjutkan melalui jalur hukum yang sah. Padahal, dalam Undang-Undang (UU) No. 48 Tahun 2009, pihak yang tidak puas atas keputusan hakim memiliki hak untuk menempuh jalur hukum, seperti banding, kasasi, atau peninjauan kembali, sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Ini adalah mekanisme yang sah untuk memperjuangkan keadilan, bukan dengan tindakan kekerasan yang merusak ketertiban umum.
Sebagaimana tercantum dalam Pasal 351 KUHP, penganiayaan terhadap hakim atau siapa pun yang berhubungan dengan proses peradilan adalah tindakan pidana. Hal ini mempertegas bahwa setiap tindakan main hakim sendiri yang merugikan seorang hakim dapat dikenakan sanksi pidana. Selain itu, UU No. 23 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial memberikan solusi bagi masyarakat yang merasa hakim bertindak tidak etis atau tidak profesional. Pasal 20 dari undang-undang tersebut menyatakan bahwa masyarakat dapat melaporkan perilaku hakim yang melanggar kode etik kepada Komisi Yudisial (KY), yang memiliki kewenangan untuk menjaga dan menegakkan kehormatan dan martabat hakim. Ini merupakan jalur yang sah dan etis bagi masyarakat untuk memperjuangkan keadilan tanpa harus melakukan tindakan yang melanggar hukum.
Kesadaran hukum di masyarakat menjadi tantangan utama dalam pencegahan praktik PMKH. Tanpa adanya kesadaran hukum yang tinggi, tindakan main hakim sendiri akan terus berulang. Masyarakat perlu memahami bahwa dalam sistem hukum Indonesia telah tersedia jalur resmi dan konstitusional untuk memperjuangkan hak dan keadilan. Tidak ada alasan untuk mengambil jalan kekerasan yang justru akan mencederai keadilan itu sendiri.
Negara-negara dengan kesadaran hukum yang tinggi, seperti Jepang dan Jerman, telah menunjukkan bahwa sistem peradilan yang kuat dan masyarakat yang patuh hukum bisa saling melengkapi. Indonesia juga bisa menuju ke arah tersebut dengan memperkuat pendidikan hukum di kalangan masyarakat serta menjaga integritas dan transparansi di sistem peradilan.
Bisa saja kita menerapkan ide untuk sistem juri, di mana sekelompok juri dipilih untuk menilai bukti dan memutuskan apakah terdakwa bersalah atau tidak, hal ini tidak dapat diterapkan di Indonesia. Indonesia menganut sistem civil law yang berakar dari sistem hukum Belanda, di mana keputusan dalam kasus perdata dan pidana ditentukan oleh hakim profesional. Pasal 182 dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menjelaskan bahwa dalam persidangan pidana, hakim lah yang menentukan keputusan berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan. Sistem ini menekankan bahwa hanya hakim yang berwenang memutus perkara, dan tidak ada mekanisme untuk melibatkan juri dalam pengambilan keputusan.
Pada akhirnya, tantangan utama dalam menyelesaikan masalah PMKH adalah menumbuhkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem peradilan dan penegakan hukum. Dengan penegakan hukum yang tegas dan peningkatan pendidikan hukum, diharapkan tindakan main hakim sendiri dapat diminimalisir. Masyarakat harus menyadari bahwa proses hukum yang sah adalah satu-satunya cara untuk menjaga keadilan dan martabat bangsa.