Penulis: Jellian (Pengurus LPMH-UH Periode 2023/2024)
Remang lampu Kafe tidak lantas membuat perempuan muda itu mengantuk, tugas kuliah yang diberikan dosen minggu lalu harus selesai malam ini—ia terlalu berleha-leha selama tenggat waktu yang diberikan. Secangkir kopi yang menemani pun sebentar lagi tandas dengan ampas yang mengendap di dasar gelas.
“Seharusnya tugas ini sudah selesai kalo aku tidak bersantai saja seminggu ini,” keluhnya. Bunyi ketikan makin nyaring dengan laptop di hadapan yang malah dicaci-maki karena frustasi.
“Hai. Kau Riani, ya? Masih ingat aku?” celetuk seseorang, perempuan itu—Riani, menoleh.
Seperti dihantam ribuan pasukan tomat, wajah Riani seketika berubah merah padam. Pria yang baru saja menyapa tadi adalah temannya di bangku sekolah menengah dulu, seorang primadona yang membuatnya jatuh hati. Air muka perempuan itu berganti, segera dia merapikan penampilannya.
“H-hai, ten-tentu saja aku mengenalmu, Yohan!” balasnya dengan antusias walau sedikit terbata.
Pria tadi segera mengambil tempat di sampingnya—berbasa-basi, mengenang memori masa sekolah mereka dulu. Yohan adalah seorang yang begitu Riani kagumi, tiga tahun terasa tidak cukup baginya untuk menyiapkan hati dan mengutarakan hal yang sudah ia pendam selama ini. Karakter Yohan yang lemah lembut dan tutur katanya begitu sopan, seorang pemusik handal dengan isi kepala yang cukup memukau, serta tubuh atletis miliknya tentu saja membuat dia digilai para perempuan.
Entah apa yang membuat Yohan lebih nyaman duduk sebangku dengannya dibanding perempuan lain di kelas mereka. Menurut Riani, dirinya tidak semenarik atau sepintar itu, bahkan postur tubuhnya yang pendek sangat kontras dengan tinggi pria tersebut.
Wajahnya kembali merona merah. Terlebih lagi, jika diingat-ingat Yohan sering membelanya saat Richard—si anak berandalan itu datang mengganggunya.
Sembari berbincang, kepala Riani ikut mencari bagaimana caranya agar perasaan itu bisa sampai kepada Yohan. Ia tidak mau menyia-nyiakan momentum, pikirnya akan sulit mendapat kesempatan seperti ini lagi. Kapalnya yang sudah lama diombang-ambingkan ombak, harus segera berlabuh sekarang. Tak peduli akan tambat atau kandas.
Hal itu tidak mudah. Tangannya terkepal kuat, menenangkan debar jantung yang sudah tak karuan.
Ia membatin, “1…, 2…, 3…,-”
“Hei, Yohan. Sudah larut, Ayo!” seru seseorang. Yohan beralih pandang, mengangguk.
“Siapa laki-laki itu?” tanya Riani.
“Dia itu musuh bebuyutanmu dulu.”
“Richard?” Yohan kembali mengangguk, Riani kemudian melempar tatap pada pria itu, memasang raut wajah penasaran.
“Oh ya, dia pacarku.” Ujung bibir Yohan naik, kemudian dia pamit dan beranjak dari tempatnya duduk, berlari kecil menuju kekasihnya.
Riani bergeming. Kejadian tadi begitu sulit untuk dicerna. Ia bingung kesal itu mendarat ke mana, pada Yohan, pada Richard, pada tugas kuliah yang belum juga rampung, atau pada dirinya sendiri.
“Sial!” rutuknya.