Oleh: Fadlin Yunus
Halimah dengan muka menunduk, duduk di hamparan tanah seluas 800 meter persegi. Dengan mata sembab ia memegang selembar Surat Yasin yang bersampulkan foto suaminya. Sesekali ia mengusap foto suaminya dengan lembut, saat ia mengantarkan doa untuk suaminya yang tak jelas di mana pusaranya.
Ekor matanya menyapu ke setiap sudut pemakaman massal yang ada di tengah-tengah kota itu. Jelas yang terlihat hanya batu-batu nisan besar yang bertumpukan. Namun, ia yakin di salah satu nisan itu ada suaminya yang sedang tersenyum menatapnya dari bawah.
Musibah besar itu telah memisahkan Halimah dengan suaminya. Minggu pagi itu suaminya berangkat ke pulau Sabang untuk mengikuti pelatihan dari Dinas Kesehatan Aceh dan hari itu menjadi hari terakhir Halimah melihatnya. Suaminya sempat menghubunginya saat ia sudah berada di pelabuhan Ulee Lhe Banda Aceh, namun tiba-tiba saja teleponnya terputus karena gempa yang begitu kuat.
Halimah menangis seorang diri. Buncahan Qalam Ilahi tak henti-hentinya keluar dari mulutnya. Ketakutan semakin bertambah menggelayuti hatinya saat gelombang besar menghancurkan rumah yang baru saja mereka tempati tiga bulan yang lalu.
Halimah terseret oleh gelombang sejauh 500 meter dari rumahnya. Nasib baik masih berpihak padanya, tali jemuran berhasil ia raih. Lalu Halimah ditarik oleh beberapa orang yang tidak ia kenal ke atas sebuah bangunan sehingga ia terselamatkan dari gelombang besar itu. Namun tidak dengan suaminya hingga sekarang Halimah tak tahu dimana keberadaannya.
Saat akan meninggalkan pemakaman massal itu tiba-tiba saja langkah Halimah tertahan oleh suara tangisan seorang wanita yang baru saja tiba. Wanita itu usianya lebih muda dari Halimah. Wanita itu menangis sesenggukan dan sesekali memeluk batu nisan yang ada di sampingnya.
Tak tega melihatnya, Halimah pun mendekati wanita itu.
“Mbak dari mana?” tanya Halimah lirih.
“Aku baru saja tiba dari Sabang dua jam yang lalu,” jawab wanita itu mengusap matanya dengan selembar tisu.
Mata wanita itu masih saja berbinar. Sudut netranya terus mengeluarkan cairan putih bening, meskipun sudah berkali-kali ia menyekanya dengan beberapa lembar tisu.
Pembicaraan Halimah dengan wanita itu terus berlangsung. Kemudian Halimah menyodorkan wanita itu sebuah Surat Yasin yang baru saja selesai ia baca.
“Jika mbak sayang dengan orang yang sedang mbak tangisi, bacakan ini untuknya, Insyaallah dia akan tersenyum di sana,” ucap lembut Halimah dengan sedikit sunggingan senyum di bibirnya.
Tanpa penolakan wanita itu mengambil Surat Yasin itu dari tangan Halimah, lalu dibacanya dengan suara terbata-bata karena masih menahan tangisan.
Melihat wanita itu mulai tenang, Halimah pun mencoba meninggalkan pemakaman itu. Namun baru saja tiga langkah ia berjalan membelakanginya, tiba-tiba saja wanita itu berhenti membaca Surat Yasin dan bertanya dengan nada tinggi, “Kenapa foto suamiku bisa ada di sini?” ucap wanita itu memelototi Halimah saat mengembalikan Surat Yassin.