Oleh: Faiz Ahmad Fachri (Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin)
Setelah menelusuri berbagai postingan, meme satir, dan artikel, saya menemukan satu benda yang tampaknya kembali menjadi pusat perhatian. Sebuah tabung hijau yang akrab disebut gas melon, kini menjadi topik hangat di masyarakat. Kelangkaannya di berbagai wilayah membuat masyarakat rela mengantre panjang layaknya ular demi mendapatkannya.
Situasi ini menimbulkan banyak keluhan dan jeritan masyarakat sehingga kita turut merasakan kesulitan yang dihadapi. Padahal, kebanyakan teori mengenai perumusan kebijakan membahas mengenai pentingnya suara masyarakat dalam menentukan kebijakan. Muncul sebuah pertanyaan, mengapa gas ini tiba-tiba menjadi langka? Selain pertanyaan itu, di tengah keresahan ini, ada satu hal yang sering kita lupakan. Tulisan putih di bagian depan tabung tersebut. Walaupun ada banyak tabung dengan karatan yang menutupi tulisan ini, seharusnya pengingat sederhana ini menuntut kita untuk bertanya, apakah kita benar-benar berhak memilikinya?
Sebagai pengingat, Liquefied Petroleum Gas (LPG) pertama kali diperkenalkan dalam bentuk tabung berwarna biru berukuran 12 kg. Bahan bakar baru ini merupakan alternatif minyak tanah yang sebelumnya banyak digunakan masyarakat sebagai bahan bakar. Seiring waktu, versi lain muncul dengan berat 3 kg berwarna hijau yang kita kenal dengan gas melon. Namun, awalnya, kehadiran gas ini tidak langsung diterima karena beberapa kasus ledakan yang sempat menjadi catatan hitam dalam sejarah penggunaannya. Meski demikian, perbaikan terus dilakukan hingga akhirnya gas ini dapat digunakan secara luas oleh masyarakat.
Pasal 18 ayat 2 Peraturan Menteri ESDM Nomor 28 Tahun 2021 menyatakan bahwa gas melon diberikan kepada rumah tangga, usaha mikro, nelayan sasaran, dan petani sasaran. Namun, penggunaan gas melon telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat. Jumlah pengguna yang terus bertambah menandakan pentingnya peran gas melon ini, terutama ibu-ibu yang menggunakannya untuk memasak. Bagi penulis, gas inilah yang memungkinkan terciptanya berbagai hidangan lezat di dapur. Andai suatu hari benda ini lenyap begitu saja dari bumi pertiwi, gema suara rakyat yang menjerit akan menggaung di tiap sudut negeri.
Pemerintah baru-baru ini mengeluarkan kebijakan terbaru yang mulai berlaku pada 1 Februari 2025, yaitu pelarangan penjualan LPG atau gas melon melalui pengecer. Kebijakan ini bertujuan agar subsidi yang diberikan lebih tepat sasaran dan permainan harga di tingkat pengecer dapat dihilangkan.
Namun, kebijakan ini juga membawa dampak negatif bagi masyarakat. Banyak daerah yang mengalami kesulitan dalam memperoleh gas melon karena hanya tersedia di pangkalan resmi. Hal inilah yang menyebabkan adanya kelangkaan di masyarakat. Banyak pangkalan mengalami kehabisan stok karena adanya panic buying, yaitu pembelian dengan jumlah yang karena takut akan mengalami kesulitan memperoleh gas melon. Akhirnya, masyarakat mulai mengantre panjang di pangkalan.
Pangkalan gas 3 kg di Indonesia tidak akan sepi pengunjung untuk beberapa waktu ini. Mulai dari ibu, bapak, anak muda, anak yang disuruh ibunya, semua ada berbaris untuk mendapatkan gas melon yang begitu didambakan. Hal positifnya adalah tetangga yang jarang keluar mulai nimbrung untuk membahas apa yang terjadi saat ini, sedangkan hal negatifnya karena pembahasan mereka adalah mengenai sulitnya perjuangan untuk memperoleh satu gas melon. Bahkan, masyarakat mulai mengantre langsung dari truk yang membawa gas melon itu. Namun mirisnya, terdapat korban dengan usia lanjut meninggal dunia akibat kelelahan mengantre. Hal ini mengindikasikan catatan hitam baru dalam sejarah gas melon hijau ini.
Apakah ini keputusan yang buruk? Penulis menganggap kebijakan ini memiliki tujuan yang bagus, tetapi implementasi di lapangan membawa dampak buruk kepada masyarakat. Hm, bagaimana bilangnya supaya aman? Begini saja, ada dua kata, yakni “kurangnya persiapan”.
Keputusan yang terkesan tergesa-gesa ini sebenarnya dapat diantisipasi dengan persiapan yang lebih matang. Sosialisasi yang baik dan jumlah pangkalan untuk distribusi gas yang bisa diakses dengan mudah oleh masyarakat menjadi salah satu faktor krusial yang menyebabkan kebijakan ini belum sempurna. Pemerintah harus bisa bertindak cepat untuk mengatasi hal ini karena penderitaan rakyat akan terus menggema dan ini tidak seharusnya ada.
Jadi, bagaimana cara memenuhi kebutuhan masyarakat selama masa transisi ini? Masyarakat sebenarnya tidak diperbolehkan untuk menderita. Pemerintah perlu bergerak dengan sangat cepat dalam mendampingi masyarakat melalui strategi-strategi yang efektif, khususnya menyediakan pangkalan yang mudah diakses masyarakat, terutama di wilayah terpencil dan 3T (tertinggal, terdepan, terluar). Pembuatan subpangkalan merupakan ide yang sangat baik, tetapi ada beberapa aspek yang perlu diperhatikan, seperti memberikan sosialisasi kepada seluruh bagian masyarakat, menyelesaikan permasalahan akses digital bagi subpangkalan dan konsumen, serta pengawasan ketat dalam penyediaan dan penyaluran gas. Hal ini seharusnya dapat menjadi aspek penting agar kebijakan distribusi gas baru ini dapat berjalan secara efektif.
Oleh karena itu, kelangkaan gas ini merupakan masa transisi akibat pelarangan distribusi melalui pengecer. Jika setelah iklan Marjan tayang secara masif dan penjual takjil mulai berjejer di pinggir jalan kemudian kebijakan ini tetap menimbulkan masalah, hal itu menjadi pertanyaan besar bagi pemerintah. Sebagai masyarakat, kita harus terus memantau dan bersikap kritis terhadap perkembangan terbaru mengenai gas melon ini. Akhirnya, apakah gas tersebut benar-benar layak bagi kita adalah pertanyaan yang hanya bisa dijawab oleh diri kita masing-masing.