Oleh: Najwa As Salsabila (Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin)
Kepercayaan masyarakat terhadap institusi kepolisian menjadi isu yang semakin marak dalam beberapa tahun terakhir. Berbagai kasus kekerasan yang melibatkan aparat, ditambah dengan penanganan hukum yang sewenang-wenang pun tidak adil, memperburuk citra kepolisian di mata publik. Bahkan, survei Ipsos Global Trustworthiness Index mencatat bahwa hingga Oktober 2024, tingkat kepercayaan masyarakat terhadap polisi hanya mencapai 28%. Angka tersebut memperlihatkan bahwa benar ada krisis kepercayaan yang terbangun terhadap aparat berseragam ini.
Salah satu indikator dari menurunnya kepercayaan publik adalah fenomena sosial yang berkembang, seperti munculnya tagar #1312 yang berarti All Cops Are Bastard (ACAB). Istilah ini semakin populer setelah pembredelan lagu dari band Sukatani, yang dianggap mengkritik kepolisian. Fenomena ini tidak muncul tanpa sebab; banyak masyarakat merasa bahwa polisi semakin jauh dari fungsi utamanya sebagai pelindung dan pengayom masyarakat.
Kasus kekerasan oleh aparat menjadi salah satu faktor di balik sentimen negatif ini. Dalam beberapa waktu terakhir, kasus penembakan warga sipil hingga penyiksaan terhadap remaja terus terjadi. Salah satu kasus yang mencuat adalah penganiayaan terhadap bocah 13 tahun yang dituduh terlibat tawuran. Padahal, dalam beberapa kasus lainnya, tuduhan serupa kerap kali tidak berdasar, bahkan bertentangan dengan kesaksian warga sekitar. Tak hanya itu, seorang siswa SMK berusia 17 tahun juga menjadi korban kekerasan polisi setelah ditembak di bagian pinggul hingga meninggal dunia. Peristiwa ini kembali diiringi dengan narasi yang sama—bahwa korban terlibat tawuran dan melawan ketika dilerai.
Pertanyaan yang muncul adalah, sampai kapan narasi “tawuran” akan terus menjadi dalih bagi aparat dalam menjustifikasi tindakan represif terhadap remaja? Mengapa setiap insiden kekerasan polisi selalu dikemas dengan dalih perlawanan dari korban? Apabila kemudian dugaan keterlibatan korban dalam aksi kriminalitas benar adanya, mengapa kepolisian tidak mengedepankan prosedur yang lebih profesional dan humanis sesuai dengan norma yang tertuang dalam KUHP?
Kasus-kasus ini bukan hanya mencoreng kepolisian sebagai sebuah institusi, tetapi juga memantik pertanyaan ihwal integritas dan akuntabilitas mereka. Toh, jika aparat yang seharusnya menegakkan hukum justru bertindak di luar batas hukum, bagaimana masyarakat bisa merasa aman? Ketika kritik terhadap kepolisian disikapi dengan pembungkaman, seperti pembredelan lagu yang mengkritik mereka, maka semakin jelas bahwa ada pola represif yang terus dipertahankan.
Sebagai kesimpulan, perbaikan citra kepolisian tidak bisa hanya bergantung pada jargon “oknum”. Reformasi menyeluruh perihal transparansi, akuntabilitas, maupun pendekatan terhadap masyarakat menjadi hal yang perlu untuk diwujudkan. Masyarakat tidak membutuhkan polisi yang sekadar berkuasa, tetapi polisi yang benar-benar menjalankan tugas sebagai pelindung dan pengayom, bukan ancaman bagi rakyatnya sendiri.