web analytics
header

Hak Privasi Siswa Dikebiri demi Kewajiban Guru dalam Mendidik

Sumber: Tim Redaksi Eksepsi

Penulis: Naufal Athallah Jabal (Mahasiswa Fakultas Hukum Unhas)

Bertolak dari maraknya perdebatan mengenai kewenangan guru dalam memeriksa (membuka) gawai siswa/i dengan dalih tujuan mendidik, tulisan ini merupakan opini terkait peristiwa yang terjadi di dunia pendidikan, khususnya dalam konteks sekolah menengah ke atas. Terdapat dua unsur yang saling beririsan terkait peristiwa “pemeriksaan ponsel siswa oleh pihak sekolah,” sebagaimana judul yang penulis angkat, yaitu hak privasi siswa/i dan kewajiban guru dalam mendidik.

Berkaca pada pasal 30 UU ITE yang berbunyi:

  1. Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik milik Orang lain dengan cara apapun.
  2. Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik dengan cara apapun dengan tujuan untuk memperoleh Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik.
  3. Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik dengan cara apapun dengan melanggar, menerobos, melampaui, atau menjebol sistem pengamanan.

Unsur “dengan sengaja” merujuk pada pengetahuan dan keinginan untuk melakukan tindakan yang dilarang, atau menyadari serta menginginkan timbulnya akibat yang dilarang. Dalam konteks pasal ini, makna “sengaja” adalah menyadari dan menginginkan akses ke komputer atau sistem elektronik milik orang lain.

Unsur “tanpa hak” berarti tidak memiliki hak yang sah, baik berdasarkan peraturan perundang-undangan maupun alasan hukum lainnya, seperti perjanjian perusahaan atau perjanjian jual beli.

Adapun unsur “melawan hukum” dapat dikategorikan menjadi dua jenis: formil dan materil. Melawan hukum secara formil berarti melanggar ketentuan dalam peraturan perundang-undangan. Sementara itu, melawan hukum secara materil mencakup tidak hanya pelanggaran terhadap undang-undang, tetapi juga bertentangan dengan norma hukum yang tidak tertulis.

Unsur “mengakses” melibatkan interaksi dengan sistem elektronik, termasuk keberadaan (secara virtual) dalam sistem yang dimaksud. Dalam hal pelanggaran Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), seseorang dapat dijatuhi hukuman penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda maksimal Rp600 juta.

Bunyi pada pasal 30 Ayat 1 UU ITE sudah cukup jelas menerangkan mengenai bagaimana aturan hukum yang mengatur terkait barang siapa yang mencoba mengolah atau mengakses gawai orang lain tanpa izin merupakan tindakan melawan hukum yang dapat dipidana, lalu bagaimana dengan konteks guru yang memeriksa gawai siswanya dengan paksa untuk memperoleh informasi terkait pelanggaran sekolah yang dilanggar dengan dalih untuk mendidik?

Dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi, telah ditegaskan secara jelas bahwa pelindungan data pribadi merupakan salah satu hak asasi manusia, yang merupakan bagian dari pelindungan diri pribadi. Oleh karena itu, perlu diberikan landasan hukum untuk menjamin keamanan atas data pribadi, berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pada pasal 5 UU Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan data pribadi disebutkan:  “Subjek Data Pribadi berhak mendapatkan Informasi tentang kejelasan identitas, dasar kepentingan hukum, tujuan permintaan dan penggunaan Data Pribadi, dan akuntabilitas pihak yang meminta Data Pribadi

Apabila terjadi kesepakatan dua arah antara pihak sekolah dan pihak siswa/i, baik secara pribadi maupun melalui wali siswa (orang tua), untuk mengakses gawai—baik secara tertulis maupun tidak tertulis—dengan dasar kepentingan yang jelas (seperti mendidik), maka sepanjang perjanjian tersebut sesuai dengan koridor yang telah disepakati, berlaku asas hukum pacta sunt servanda, yang bermakna “agreements must be kept” (perjanjian harus ditepati). Asas inilah yang menjadi dasar (ratio legis) ketentuan Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), yang mengatur bahwa setiap perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi pihak-pihak yang membuatnya.

Namun, terdapat koridor etik yang perlu diperhatikan. Pemeriksaan gawai siswa/i memiliki peluang besar untuk menimbulkan pelanggaran etika, terutama karena aib dan data pribadi siswa/i sangat rawan tersebar. Lebih buruk lagi, tidak menutup kemungkinan bahwa data pribadi siswa/i yang menjadi sasaran pemeriksaan dapat disalahgunakan oleh pihak sekolah. Untuk memudahkan pembaca dalam memahami konteks ini, penulis akan memberikan contoh kasus.

“Di sebuah sekolah swasta Islam A, terjadi razia pengecekan ponsel oleh pihak sekolah. Seorang guru pria memeriksa gawai seorang siswi dan membuka galerinya. Guru tersebut menemukan foto siswi yang tidak mengenakan jilbab, lalu menyimpan foto tersebut dengan dalih sebagai bukti pelanggaran peraturan sekolah. Parahnya, guru itu kemudian memamerkan foto tersebut kepada orang lain, yang dalam hal ini tidak terlibat dalam proses pemeriksaan atau tidak memiliki hubungan dengan perjanjian awal.”

Selain berpotensi menimbulkan penyalahgunaan data pribadi, pemeriksaan ponsel yang dilakukan oleh guru terhadap para siswa/i dapat menjadi bentuk tekanan mental. Hal ini membuat siswa merasa privasi mereka kurang dihargai di lingkungan sekolah.

Penulis mencoba mewawancarai beberapa siswa/i yang mengeluhkan praktik seperti ini. Adapun pernyataan yang ditemukan oleh penulis adalah sebagai berikut:

Melon (bukan nama sebenarnya), salah satu siswa/i yang pernah mengalami pemeriksaan ponsel, mengungkapkan rasa ketidaknyamanannya.

Saya merasa lebih tertekan dengan sekolah, jadi kami lebih waspada dengan data dirinya kami di sekolah,” ujarnya kepada penulis.

Senada dengan Melon, Apel, siswa/i lainnya, menyatakan keberatannya terhadap kebijakan tersebut. Menurutnya, ponsel adalah ranah privasi yang seharusnya tidak diintervensi tanpa alasan yang jelas.

Kalau menurut saya keberatan dengan pemeriksaan ponsel ini karena saya merasa ponsel itu ranah privasinya kami,” tegas Apel.

Sementara itu, Semangka, siswa/i lain yang turut memberikan tanggapan, menyarankan agar sekolah mencari alternatif lain dalam menangani masalah yang melibatkan ponsel.

Baiknya mungkin sekolah bisa memberi alternatif lain ketimbang memeriksa rata semua ponsel kami sehingga yang tidak memiliki pelanggaran bersangkutan tidak perlu juga terlibat,” ucapnya.

Sehingga tujuan awal pemeriksaan ponsel oleh pihak sekolah dapat menjadi pedang bermata dua dengan tujuan untuk mendidik siswa/i. Perlu disadari bersama bahwa siswa yang masih mengenyam bangku sekolah juga berhak atas perlindungan diri pribadi yang diatur pada Pasal 28G ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, yang menyatakan bahwa “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda”.

Kesimpulan dari tulisan ini menegaskan bahwa siswa di sekolah juga merupakan subjek hukum yang perlu dihormati keberadaan haknya sebagai warga negara; sehingga, kebijakan yang diterapkan tidak boleh bersifat semena-mena dan harus berada dalam koridor hukum. Mendidik siswa/i perlu dilakukan dengan memperhatikan hak-hak siswa/i di sekolah, termasuk hak privasi mereka, demi terciptanya lingkungan pendidikan yang penuh rasa kepercayaan dan perasaan aman tanpa adanya pengurangan hak siswa/i di sekolah.

Menjaga data diri dan privasi bukan hanya bergantung pada diri seorang pribadi; tantangan ini juga sangat dipengaruhi oleh lingkungan sekitar. Sekolah, yang seyogianya merupakan lingkungan orang-orang berpendidikan, sudah seharusnya menjunjung tinggi kehormatan dan martabat orang lain serta tidak melakukan hal-hal di luar batas yang dapat mencederai hak orang lain.

Pendidikan adalah membentuk manusia baru melalui perantaraan karakter dan fitrah, serta dengan mencontoh peninggalan-peninggalan budaya lama masyarakat manusia” – John Dewey (1859-1952).

Related posts: