web analytics
header

Fokus terhadap Orientasi Seksual Pelaku atau Keadilan terhadap Korban?

Sumber: Pinterest

Oleh: Najwa As Salsabila (Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin)

Kekerasan seksual adalah kejahatan yang merupakan sebuah pelanggaran terhadap hak dan martabat manusia, tanpa memandang siapa korban maupun pelakunya. Fokus utama dalam setiap kasus seharusnya adalah keadilan bagi korban serta langkah-langkah untuk memastikan kejadian serupa tidak terulang. Namun, dalam realitas hari ini, perhatian kita terhadap kasus kekerasan seksual banyak dipengaruhi oleh bias dan stigma.

Setiap kasus kekerasan seksual semestinya berperspektif korban dan upaya harus dibangun semaksimal mungkin untuk menegakkan keadilan. Namun, ketika pelakunya memiliki orientasi homoseksual. Perhatian publik justru malah bergeser ke pembahasan mengenai orientasi seksual sang pelaku. Bukannya membahas pelaku sebagai individu yang harus bertanggung jawab atas tindakannya, masyarakat malah membingkai kasus ini sebagai bukti ancaman dari minoritas seksual dan gender secara keseluruhan.

Fenomena tersebut sebenarnya merefleksikan bagaimana sebagian besar masyarakat masih konservatif dan reaksioner dalam memandang minoritas seksual dan gender. Sehingga, fokus diskusi bukan lagi tentang bagaimana korban bisa mendapatkan keadilan, tetapi tentang bagaimana kasus ini dianggap sebagai bukti “penyimpangan” yang mereka khawatirkan. Akibatnya, pelaku justru terlupakan, korban tidak mendapatkan dukungan yang seharusnya dan esensi dari kasus ini menjadi kabur.

Salah satu faktor yang mempengaruhi pergeseran perhatian tersebut kurang lebih dikarenakan ada “bias” dalam cara masyarakat memandang kekerasan seksual. Ketika kasus kekerasan seksual yang melibatkan satu orang dengan orientasi seksual tersebut terjadi, alih-alih melihatnya sebagai kejahatan, masyarakat lebih tertarik mencari hubungan antara kasus tersebut dengan keberadaan minoritas seksual & gender yang mereka anggap sebagai ancaman.

Media Pemberitaan juga turut berperan dalam membentuk “dosa” narasi tersebut. Ada kecenderungan untuk menyorot apakah pelaku termasuk dalam komunitas LGBT atau tidak. Sungguh disayangkan, bahwa pendekatan tersebut hanya akan menimbulkan konsekuensi berupa stigmatisasi dan mempersempit ruang diskusi tentang bagaimana korban seharusnya mendapatkan perlindungan hukum. Sehingga, kelompok minoritas seksual yang tidak terlibat dalam kejahatan tersebut, turut menjadi korban tambahan di mana mereka dicap sebagai ancaman.

Mau bagaimanapun, kekerasan seksual tetaplah kekerasan seksual, tidak peduli siapa pelaku atau siapa korbannya. Apabila kemudian perhatian terus teralihkan ke isu yang tidak relevan, korban tidak hanya kehilangan kesempatan untuk mendapatkan keadilan, tetapi juga harus menghadapi stigma yang tidak seharusnya mereka tanggung. Di sisi lain, ada kelompok yang juga menjadi korban dari stigmatisasi tersebut. Sudah saatnya kita berhenti menjadikan minoritas seksual dan gender sebagai kambing hitam dalam setiap kasus kekerasan seksual yang melibatkan 1 orang. Yang harus diberantas adalah kejahatannya, bukan malah memperdebatkan orientasi seksual pelakunya. Karena semua orang punya potensi untuk menjadi pelaku dan semua orang punya potensi untuk menjadi korban.

Related posts:

AI Membunuh Berpikir Kritis

Oleh: Muhammad Thariq Zakwan (Mahasiswa Fakultas Hukum Unhas) Belakangan ini, sedang hangat diperbincangkan di media sosial mengenai tren “Gambar Ghibli”,