Oleh: Muhammad Khulaivi
Mahasiswa Hukum yang Masih Percaya bahwa Mahasiswa adalah harapan masadepan suatu bangsa, Jilid 1.
Saat ini ada fenomena menarik yang terjadi di lingkungan kampus, sehingga muncul ide saya untuk mengkategorikan mahasiswa ke dalam beberapa kelompok berdasarkan orientasi dan prioritas mereka dalam menjalani studi. Ada tiga tipe yang paling cocok, yaitu kaum elitis, kaum konvensional, dan kaum aktivis, yang tentunya masing-masing memiliki karakteristik berbeda. Keberagaman tersebut sebenarnya mencerminkan dinamika kehidupan kampus yang kompleks.
Pertama, ada kaum elitis, mahasiswa yang hanya fokus pada pengembangan diri secara individual. Mereka hanya mengejar prestasi akademik, karier gemilang, atau status sosial tertentu. Mereka menganggap kampus adalah batu loncatan untuk mencapai kesuksesan pribadi, sehingga mereka cenderung menghindari hal-hal yang dianggap “mengganggu” tujuan tersebut, seperti organisasi atau kegiatan sosial. Mereka mungkin pandai secara akademis, tetapi kurang peduli dengan isu-isu di luar diri mereka.
Kedua, kaum konvensional, mahasiswa biasa yang tidak menonjol di bidang akademik maupun nonakademik. Mereka mungkin tidak terlalu ambisius dalam karier, tetapi juga tidak terlalu aktif dalam kegiatan sosial atau politik, baik internal maupun eksternal. Mereka hadir di kampus sebagai “pengikut arus”, menjalani rutinitas perkuliahan, mengerjakan tugas, dan lulus tepat waktu tanpa banyak meninggalkan jejak.
Ketiga, kaum aktivis adalah mereka yang selalu ingin terlibat dalam gerakan sosial, politik, atau organisasi kemahasiswaan. Bagi mereka, kampus bukan hanya tempat belajar, tetapi juga ruang perjuangan untuk menyuarakan perubahan. Mereka kerap mengkritik kebijakan kampus, turun ke jalan dalam demonstrasi, atau aktif dalam kegiatan pengabdian masyarakat. Meski kadang dianggap “ribut” atau “tidak fokus kuliah”, peran mereka penting sebagai penggerak kesadaran sosial di lingkungan kampus.
Lantas, mana yang terbaik? Sebenarnya, tidak ada jawaban mutlak. Setiap tipe memiliki kelebihan dan kekurangan. Namun, muncul pertanyaan, apasih esensi dari seorang mahasiswa yang seringkali disebut sebagai Agent of Change?
Di tengah kompleksitas masalah bangsa saat ini, mulai dari ketimpangan sosial, korupsi sistemik, hingga krisis lingkungan, seharusnya mahasiswa sebagai Agent of Change tidak boleh direduksi hanya pada sekadar pencapaian akademik atau kesuksesan individu. Esensi sejati seorang mahasiswa adalah kemampuannya untuk membaca zaman, merespons ketidakadilan, dan menjadi penggerak perubahan. Jika mahasiswa, sebagai kaum terpelajar, hanya fokus pada diri sendiri tanpa peduli pada kondisi masyarakat, lalu siapa lagi yang akan memperjuangkan masa depan bangsa?
Elitis: Sukses Individual Tanpa Dampak Sosial
Kaum elitis mungkin unggul secara akademis dan karier, tetapi jika kesuksesan mereka hanya dinikmati segelintir orang, apa artinya? Indonesia tidak kekurangan lulusan cum laude atau profesional dengan gaji fantastis, tetapi tetap saja negeri ini tertinggal karena minimnya pemimpin yang memiliki empati sosial. Jika mahasiswa hanya mengejar gelar dan jabatan tanpa pernah mempertanyakan ketimpangan di sekitarnya, maka mereka hanya menjadi bagian dari mesin kapitalisme yang mengabaikan keadilan.
Konvensional: Penonton yang Pasif dalam Pusaran Perubahan
Mahasiswa konvensional mungkin tidak bermasalah secara akademik, tetapi sikap netral mereka justru berbahaya. Dalam sejarah, perubahan besar selalu dimotori oleh mereka yang berani mengambil peran, bukan yang diam dan menunggu. Jika mayoritas mahasiswa hanya menjadi “penonton”, maka ruang gerak reformasi akan dikuasai oleh segelintir elit yang seringkali tidak berpihak pada rakyat. Ketika krisis terjadi, mahasiswa yang pasif tidak akan meninggalkan warisan apa pun bagi bangsanya.
Aktivis: Mahasiswa yang Teoritis dan Historis
Kaum aktivis, yang seringkali dicap “pemberontak” atau “tidak realistis”, bahkan “terlalu idealis dan teoritis”, sejatinya adalah kelompok yang paling sadar akan tanggung jawab intelektualnya. Mereka memahami bahwa ilmu tanpa aksi adalah kesia-siaan. Gerakan mahasiswa 1966, 1974, 1998, dan berbagai aksi protes terhadap kebijakan represif membuktikan bahwa perubahan tidak pernah lahir dari diam, tetapi dari keberanian menyuarakan kebenaran.