Oleh : Mei Salwa Asahara
Ia lahir dari rahim sunyi, yang lelah melahirkan
kata “maaf” kepada dunia
untuk segala bentuk keberaniannya.
Dulu, Ia diajarkan bahwa anggun
adalah diam, tunduk, dan tersenyum meski diinjak
Sekarang ia belajar bahwa anggun
adalah berdiri tegak…..
Meski diseret keluar dari meja makan keluarga
karena bicara terlalu nyaring tentang keadilan.
Ia bukan gender,
bukan peran yang kau coretkan di papan tulis
dengan spidol biru dan merah muda.
Ia adalah pertanyaan yang tak mau dijawab dengan
statistik atau tradisi basi.
Mereka bilang,
“dunia sudah adil untukmu, lihat saja….. kau bisa bekerja, berbicara, bahkan memimpin.”
Ah, betapa cepat mereka lupa,
bahwa hak yang diperjuangkan
bukanlah hadiah dari kemurahan hati patriarki,
melainkan warisan dari luka yang dijahit dengan api
oleh perempuan-perempuan yang tak lagi takut terbakar.
Ia melawan bukan karena benci,
tapi karena cinta…..
pada dirinya sendiri, pada sesamanya,
pada generasi yang tak boleh lagi tumbuh
dengan pundak dibebani standar yang absurd.
Ia menyuarakan kesetaraan
dengan suara yang kau sebut kasar,
padahal hanya tidak melagukan kelembutan palsu
yang selama ini membuatmu nyaman.
Ia dipanggil “terlalu keras”
oleh mereka yang hanya bisa berbisik di balik layar. Dipanggil “terlalu bebas”
oleh mereka yang tak bisa hidup tanpa pagar.
Dipanggil “tidak tau tempatnya”
oleh mereka yang takut jika ia tahu
betapa kecil tempat itu sebenarnya.
Perempuan ini, ia tidak ingin jadi ratu
di papan catur yang hanya bisa
bergerak dalam aturan.
Ia ingin jadi tangan
yang membalikkan papan
saat permainan tak lagi adil.
Ia bukan pemberontak,
Ia hanya menolak untuk menjadi warisan.
Ia tak ingin dikenang sebagai yang diam demi damai,
tapi sebagai badai yang meneriakkan keadilan
di tengah doa-doa yang terlalu pelan.
Jadi jika kau melihatnya,
berjalan sendiri, berbicara lantang,
jangan tanya lagi kenapa ia begitu berani.
Tanyalah pada dunia,
kenapa ia harus berani?