Oleh: Muhammad Thariq Zakwan (Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin)
Saya ingin membuka tulisan ini dengan memaparkan sejumlah data mengenai kasus pelecehan seksual di Indonesia selama kuartal pertama tahun 2025. Berdasarkan laporan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), data dari Simfoni Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) menunjukkan terdapat 6.187 kasus kekerasan sejak Januari 2025, dengan 62 persen korbannya adalah anak di bawah umur. Dari jumlah tersebut, kekerasan seksual menjadi bentuk kekerasan terbanyak, yakni mencapai 2.598 kasus.
Jika menilik kasus yang tengah menjadi sorotan publik, salah satunya adalah pemerkosaan yang dilakukan oleh seorang dokter residen di RSHS Bandung terhadap keluarga pasien. Korban diperkosa saat tengah menunggu ayahnya yang sedang dirawat. Ironisnya, menurut pemberitaan Kompas, pelaku telah memperkosa tiga perempuan lain di tempat dan rentang waktu yang hampir sama—tiga hari berturut-turut.
Kasus lain yang lebih keji datang dari eks-Kapolres Ngada, AKBP Fajar Widyadharma, yang memperkosa tiga anak perempuan di bawah umur—masing-masing berusia 6, 13, dan 16 tahun—serta seorang perempuan dewasa berinisial SHDR (20). Lebih buruk lagi, pelaku merekam aksi bejatnya dan mengunggahnya ke situs pornografi yang berbasis di Australia.
Apa kesamaan dari kasus-kasus ini? Semuanya dilakukan oleh orang-orang yang berasal dari institusi dengan citra sebagai pelindung masyarakat. Sebuah ironi yang memilukan: predator berseragam.
Perlu saya tegaskan bahwa tulisan ini tidak bertujuan menyudutkan kelompok atau golongan tertentu. Namun, fakta yang kita lihat menunjukkan bahwa perilaku cabul dan bejat justru kian dinormalisasi—terutama di lingkungan yang mengaku “agamis”, bahkan kerap dibungkus dalam label “pengajian”. Ini tidak terbatas pada satu agama saja, melainkan fenomena yang merata di banyak ruang sosial.
Bergeser ke konteks yang lebih dekat dengan kalangan remaja, maraknya kasus serupa juga terjadi di komunitas pop kultur, seperti komunitas cosplay. Komunitas ini memiliki rentang usia penikmat yang sangat luas—mulai dari anak-anak berusia 8 tahun hingga dewasa di atas 30 tahun. Lonjakan kasus terjadi sejak awal tahun 2024.
Kasus-kasus pelecehan seksual ini tidak menunjukkan tanda-tanda mereda. Justru sebaliknya, jumlahnya terus meningkat secara drastis selama tiga bulan pertama 2025. Komnas Perempuan mencatat bahwa sepanjang tahun 2024, terdapat 3.166 kasus kekerasan seksual yang dilaporkan—naik lebih dari 50 persen dibanding tahun sebelumnya. Sementara itu, Polri menerima 37 laporan kasus serupa hanya dalam sepekan pertama Januari 2025. Artinya, rata-rata terjadi 5–6 kasus setiap hari, atau satu kasus setiap 4–5 jam.
Apa faktor utama di balik peningkatan masif ini? Salah satunya adalah internet. Di satu sisi, internet berperan dalam membuka tabir kelam kekerasan seksual dan memberi ruang bagi korban untuk bersuara. Namun di sisi lain, internet juga membuka akses luas terhadap pornografi dan konten vulgar, yang secara tidak langsung menjadi “pupuk” bagi tumbuh suburnya perilaku menyimpang di masa depan.
Yang lebih mengerikan adalah bahwa semua data yang saya paparkan ini hanyalah kasus-kasus yang berhasil terungkap. Kita tidak tahu berapa banyak kasus serupa—bahkan yang lebih mengerikan—yang tidak pernah dilaporkan atau tidak pernah terungkap.
Melihat kenyataan ini, saya tidak ragu mengatakan bahwa Indonesia sedang berada dalam kondisi darurat kekerasan seksual. Anehnya, tidak ada respons yang cukup serius dari institusi terkait. Tidak ada gerakan besar-besaran, tidak ada tekanan berarti dari penegak hukum, tidak ada suara lantang dari pejabat atau wakil rakyat. Bagaimana bisa ada kesadaran kolektif, jika salah satu wakil rakyat kita justru sibuk mengunggah cuitan vulgar di media sosial?
Sebagai penulis, saya merasa sangat kecewa atas sikap apatis terhadap persoalan ini. Ini bukan sekadar isu moral pribadi, melainkan urgensi nasional. Kita tidak sedang membicarakan skandal perselingkuhan artis atau pejabat yang mudah dilupakan publik dalam hitungan hari. Kita sedang membicarakan nasib perempuan Indonesia, yang perlahan-lahan diperlakukan layaknya objek. Pemikiran seksis dan stigma terhadap korban masih mengakar kuat, bahkan di lingkungan akademik, seperti yang baru-baru ini terjadi di kampus kita.
Akhir kata, saya berharap tulisan ini dapat menggugah siapa pun yang masih memilih diam: membuka mata yang tertutup, menyadarkan yang lalai, membangunkan yang terlelap, dan membuka mulut yang selama ini bungkam. Ini adalah seruan saya kepada kita semua—karena kita adalah mayoritas dalam persoalan ini—untuk berani bersuara dan melawan.
Dan jika kebetulan ada pelaku dari kasus-kasus yang saya sebutkan sedang membaca tulisan ini: saya mengutuk kalian secara pribadi.
“Tidak ada tempat di dunia ini bagi pelaku pelecehan seksual.” — Muhammad Thariq Zakwan.