web analytics
header

Biru

Sumber: Pinterest

Oleh: Juwa (Pengurus LPMH-UH Periode 2024/2025)

Ia,

sesosok biru yang tergambar pilu

lewat sorot mata sayu yang ia miliki.

Hening dan tawa

adalah dua rupa yang selalu berlomba

menemaninya menghabiskan malam.

Namun, ia selalu menyimpan khawatir:

bagaimana jika seonggok biru yang ia bawa,

tumpah?

Menodai yang lainnya,

merusak yang sekitarnya,

bagaimana jika segalanya

luluh lantak karenanya?

Resah di penghujung pikirannya

tak henti-hentinya mengetuk.

Dan aku tak tahu

bagaimana cara membuatnya yakin—bahwa biru itu

tak akan pernah mengganggu siapa-siapa,

bahkan aku.

Sebab bilamana biru itu telah menyatu dengan jiwanya,

aku sudi.

Melihat tiap jenis biru

hingga tak lagi mengenal warna lain.

Aku sanggup membedakan semua biru

meski itu berarti

tak lagi bisa mengenali merah.

Namun,

ia terlalu sibuk merapikan diri yang berantakan,

hingga tak sanggup melihat

sosok “aku”

yang bersedia.

Ia sibuk memilih

antara hening atau tawa

untuk menemani tiap malamnya,

sembari menyembunyikan biru itu

dalam-dalam.

Entah lewat senyum

yang menyudut elok di wajahnya,

atau lewat sesapan tembakau

yang ia hirup

dengan diam.

Bila boleh aku menitip tanya—

masih mungkinkah engkau hadir

pada penghujung hisapan tembakau ke-20

menjelang fajar?

Akan kududuk manis,

mendengar tiap kisah persembunyianmu,

tiap lalu-lalang hidupmu

dalam masa pelarian.

Atau…

mungkin memang sudah waktunya beranjak?

Meski tak sanggup,

akan kubisikkan:

hati-hati di jalan,

meski angin pun

tak bisa mendengarnya.

Related posts:

Ia

Oleh: Nona Ia hanya teman lama datang tiba-tiba, tanpa aba-aba di saat hati masih belajar lupa tanpa banyak kata ia

Arshynta

Oleh: Muhammad Fauzan MB Ketika modernisme menulis tentang distopia dan postmodernisme membantainya dengan relativisme aku masih mencari kata yang pas

Suara Massa

Oleh: Muh Abi Dzarr Al Ghiffariy Dengarlah gema yang membelah keheningan zaman,  Gelegar yang sontak menyalakan nurani generasi.  Debar tekad