Oleh: Tamara
Di tepian pagi, embun menetes pelan ke permukaan air, sementara laut menampakkan lukisan biru samar di ufuk. Gelombang merayu pasir, riak kecil memecah kesunyian, lalu surut, membawa serpihan kenangan. Angin laut menyusup dingin, mengusik jiwa, serupa ombak yang tak pernah lelah menghapus jejak kaki di pantai.
Di ujung cakrawala, cahaya matahari meretas kabut harapan. Laut memanggil, bukan dengan kata-kata, melainkan dengan getar yang tersembunyi di setiap deburan. Suaranya lirih, seolah berbisik, “Datanglah, lepaskan segala beban.” Panggilan itu hadir lemah, namun nyata, serupa anak panah yang meruncing di dada.
Langkah-langkah berat dituntun oleh rindu yang menempel di tumit, rindu pada yang telah pergi, yang entah kapan kembali. Laut berdiri sebagai saksi segala harap dan luapan hati. Kepedihan pun dilepaskan ke dalam samudra, agar ia mengikis bukan hanya pasir, melainkan juga luka.
Ketika matahari meninggi, kilau gelombang menukar sinarnya menjadi cermin. Dari percikan air asin dan cahaya emas, bayangan terlahir kembali. Di sanalah kepatahan lama menemukan wujudnya, rapuh, namun perlahan berani memeluk luasnya ketidakpastian.
Menjelang senja, warna langit merangkai jingga dan ungu, menari di atas perairan tenang. Laut menjadi guru kebebasan, bahwa merdeka bukan berarti terlepas dari keterikatan, melainkan keberanian untuk tetap mengayun di antara ombak, walau badai menghadang. Laut pun menerima, menenggelamkan, dan mengangkat dalam satu tarikan napas yang panjang.


