Oleh: Hawainah
Sore ini hujan turun pelan,
menyentuh bumi dengan kelembutan yang tak tergesa.
Rintik-rintik.
Gadis yang rapuh dalam rasa ini menatapnya lama,
dan di antara suara rintiknya
terdengar kembali gema pagi yang belum sempat hilang.
Pagi tadi, dunia terasa berat.
Langit pucat, udara dingin,
dan mata ini rasanya enggan benar untuk terbuka.
Namun waktu tak mau tahu,
orang-orang bergegas,
menyusuri jalan dengan wajah yang memanggul lelah
sebelum matahari sempat tinggi.
Deru kendaraan tak berhenti.
Ada yang terburu,
ada yang diam tapi pasrah,
semua berpacu dengan sesuatu yang tak terlihat.
Mereka lewat satu-satu,
meninggalkan jejak debu dan kesibukan.
Lalu, sirine itu datang.
Satu,
menyayat udara yang dingin.
Lalu sirine kedua,
dan ketiga.
Tiga suara yang sama-sama menggigilkan dada.
Tak ada yang benar-benar berhenti.
Jalan tetap padat,
hidup tetap berjalan.
Tapi di antara deru mesin dan detak lampu merah,
aku merasa dunia menunduk sejenak,
entah karena iba,
atau sekadar lelah.
Sore harinya,
aku duduk memandangi hujan yang jatuh tanpa arah.
Hujan itu mungkin cara langit menenangkan hatinya yang sesak,
untuk pagi yang terlalu sibuk,
untuk hidup yang terlalu tergesa,
untuk kehilangan yang tak sempat ditangisi.
Sirine itu masih bergema di kepala,
bukan sekeras tadi,
tapi lebih dalam,
seperti doa yang tertahan di tenggorokan.
Semoga mereka sampai.
Semoga ada tangan yang menggenggam di ujung perjalanan.
Dan semoga,
di antara hujan sore ini,
ada sedikit tenang
bagi yang berlari,
bagi yang tertinggal,
bagi yang diam-diam sedang berjuang
untuk tetap hidup.


