web analytics
header

Tak Ada yang Pernah Murni

WhatsApp Image 2021-03-19 at 4.56.08 PM

Oleh:

Nur Aflihyana Bugi

Pengurus LPMH – UH Periode 2020-2021

“ Reee, aku bisa menangis kan ?” tanya Matt dengan suara bergetar

“ Boleh, tapi dua jam lagi yaah” jawab Renny dengan mimik wajah yang berusaha dia atur

Mereka sedang berada di sebuah cafe yang tengah padat pengunjung karena sedang jam makan siang, tapi sebuah pemandangan lebih menaik perhatian mereka disela makannya dari pada derap langkah pramusaji yang sedari tadi memenuhi setiap sisi ruangan. Di sudut cafe lantai berlantai dua dengan tema outdoor itu menjadi pusat pandangan mereka, tepat dua bangku dari tempanya duduk saat ini. Wanita manis dengan bibir merah alami terus memasang senyum dengan sebuket bunga dan dua batang cokelat ditangannya, dia tampak memakai setelah baju yang bebeda dari biasanya, dialah Sherin. Sebut saja gadis itu adalah mantan kekasih Matt, karena setelah beranjak dari kursinya saat ini maka dia benar-benar sudah menjadi “eks” untuk pria itu.

Kedatangan Matt dan Renny ke cafe itu untuk menyelesaikan sebuah Laporan Pertanggungjawaban dari kepengurusannya di sebuah organisasi, bukan hal yang aneh karena mereka memang sahabat yang teramat dekat dan berkecimpung di organisasi yang sama. Kedekatan mereka lebih dari sekedar sahabat, jika ada yang tidak setuju maka orang itu belum mengenalnya. Permasalahan utama bukan pada persahabatan mereka saat ini, karena Sherin dan pria dihadapannya itulah yang harus menjelaskan masalahnya sekarang.

“ HP mana HP?” tanya Renny menadahkan tangannya pada Matt

“ Buat apa?” tanya Matt kembali

Mata Renny yang menajam dan menjadi sisnis pada Matt cukup membuatnya mengerti untuk tidak bertanya dan menyerahkan segalanya pada Renny, Renny adalah andalannya dalam segala hal.

Setelah merasa cukup dengan HP Matt, Renny mengembalikannya tanpa berkata dan segera menyelasaikan makan siangnya dan bergegas melangkah setelah membereskan barangnya. Ia menarik tangan Matt untuk ikut dengannya, ia keluar dari cafe itu menuju parkiran motor tempat motornya dan Matt berada, kembali ia menadahkan tangannya pada Matt yang sesaat kemudian kunci motor pria itu telah ia genggam dan mulai menyalakan motor itu. Sebelum ia benar-benar mengendarainya, ia menatap Mat yang masih diam sedari tadi.

“Hallo Matt,, mau ikut pulang dengan Renny?” tanya gadis itu dengan suara lembut yang dibuat-buat

“Motormu?” tanya Matt yang masih bingung

“Bensinnya habis” Jawab Renny dengan cuek.

“Oh iyya??” balas Matt yang tidak percaya dan mulai melangkah mendekati motor Renny

“Kalau bensinnya benar habis, kau harus mendorongnya pulang” teriak Renny untuk menghentikan langkah Matt

“Heleh” Pasrah Matt dan segera berbalik pada Renny

“Aku yang bawa” Sambung Matt saat telah berada di samping Renny

Renny segera turun dan mengambil posisi dibelang punggung Matt. Setelah cukup berdebat saat di motor tadi, mereka sekarang telah berada di rumah milik keluarga Renny. Di dalam gadis itu sedang meminta izin ayahnya untuk keluar menggunakan mobil, cukup sulit baginya karena dia belum semahir itu untuk membawa kendaraan roda empat itu, akhirnya setelah berbagai negosiasi dan menyatakan bahwa Matt yang akan mengendarainya Ayahnya memberi izin dengan berbagai peringatan.

Hubungan mereka berdua yang sangat dekat itu memang pernah ditentang oleh kedua orang tua Renny, tapi setelah satu peristiwa saat Renny mencoba mencari teman lain yang ternyata membawanya ke hal yang buruk dan itu terulang beberapa kali, persahabatan mereka hanya bisa dipantau oleh kedua orang tuanya. Renny tetaplah anak gadis dengan segala batasan dari orang tuanya, dan Matt adalah mata-mata yang akan melaporkan apa saja yang terjadi pada Renny saat ditanyai oleh keluarganya.

“Bawa mobilnya sampai keluar komplek” kata Renny membubarkan pikiran Matt yang saling beradu dengan melepar kunci mobil itu.

“Mau kabur lagi? Mau kemana sih? Kalau mau kabur dari rumah itu harus punya modal, biar tidak melarat” Cecar Matt sembari melangkah mengikuti Renny menuju garasi.

Matt telah mengambil posisinya didalam mobil sembari memanasi mesin mobil itu, sementara Renny sedang membuka pagar dengan terburu-buru, sesaat setelah mobil melewati pagar itu Renny menutupnya kembali. Namun, sebelum masuk kedalam mobil dia melangkah menuju ke Taman bunga di samping garasi dan bergegas saat menyadari Matt sudah membunyikan klaskon dengan tidak sabar.

“Ayoo” Ajaknya dengan santai, tidak peduli raut wajah Matt yang sudah bercampur kesedihan, amarah, penasaran dan penat.

“Aku yang bawa sampai tujuan” Tegas Matt.

“Maps” jawab Renny. Itu adalah pernyataan bahwa Matt harus memberikan Hpnya untuk menjadi petunjuk jalan

Renny punya Hp miliknya sendiri, tapi sangat sulit untuk terlihat, benda pipih itu sangat pribadi dan rahasia sehingga dia lebih sering memakai HP milik sahabatnya itu untuk hal apapun.

Matt menatap sekilas pada HP yang telah mengeluarkan suara untuk menuntunnya, ia tahu itu arah menuju dermaga, di kota kecil seperti ini buka hal yang penting menggunakan aplikasi itu. Mereka sudah tau setiap sisi kota ini, terlebih bagi Matt yang memang lahir dan tumbuh di kota ini. Aplikasi populer itu itu hanya akan mengisi kekosongan diantara mereka selama perjalanan, satu yang menjadi ciri dari Renny adalah ia akan menikmati setiap perjalanannya dengan menatap jalanan, tidak ada yang boleh menggangunya.

Mereka memarkirkan mobilnya didalam diparkiran Pelabuhan dan berjalan menuju sisi lain pelabuhan. Menatap menuju laut lepas di dermaga dengan beberapa perahu nelayan yang sedang diistirahatkan.

“Mau ada materi apa lagi?” tanya Matt langsung pada intinya, bermaksud menanyakan dua buah kaktus ditangan Renny yang tumbuh dalam pot platik berwarna putih

“Jadi begini yah Matthew, dua bunga ini sejenis, mereka sama, suka pada hal yang sama dan benci pada hal yang sama pula. Tapi mereka tidak hidup pada tempat yang sama” jelasnya

“Karena kamu memisahkannya pada pot yang berbeda” potong Matt

“Ya Ampun, dengar dulu makanya” Balas Renny yang merasa terganggu

Sesaat keheningan hadir diantara mereka, Matt mencoba memikirkan arah pembahasan Renny pada kedua kaktus itu. Sementara Renny mencoba menata kembali kalimat yang sudah ia susun namun dikacaukan oleh Matt.

“Jadi?” tanya Matt, menyerah pada pikirannya

“Gini,, mereka berpisah dan pisahkan bukan tanpa sebab Matt” Lanjut Renny

“Ibuku memisahkannya agar mereka bisa tumbuh lebih bebas tanpa saling menghalangi dan bebatuan ini, menjaga agar serangga-serangga tidak mengganngunya meskipun kaktus ini dapat melindungi dirinya sendiri, bebatuan ini pula yang menghalang agar tidak ada rumput yang tumbuh disekitarnya dan membuatnya tampak lebih indah dengan berbagai warna” Renny mencoba memahamkan Matt pada maksudnya

“Terus?” Matt masih belum paham hingga sekarang

“Aku tidak tau akan bagamanai kau dan Sherin setelah ini, dia melindungimu dari semua gadis-gadis genit disekitarmu, juga memberi banyak warna padamu. Dan kaktus ini akan terus hidup disampingnya, ada kaktus yang akan terus tumbuh  disampingmu sekalipun tidak akan bersama”

“Kan bisa grafting” jawab Matt asal

“Memang bisa, tapi jika ibuku tidak mau yah tidak akan terjadi, toh kaktus ini milik ibuku semua tergatung kehendaknya. Dan grafting itu membuat salah satu atau bahkan keduanya melepas beberapa bagian dan berpisah dari dirinya yang seutuhya.”

“Mungkin kamu yang tidak tahu caranya” Jawab Matt tak mau kalah

“Memang, tapi ayoo lah paham pada maksudku” Balas Renny, dia sudah mulai lelah menjelaskan maksudnya yang belum juga ditangkap oleh Matt

“Jadi?” Jawab Matt lagi, anggap saja dia senang dengan wajah putus asa Renny

“Tetaplah tumbuh seperti kaktus ini, ada tau tidaknya batu ini hanya jadi pelengkap, kau punya teman kaktus lain yang sama sepertimu” Tegas Renny padanya

“Ia, aku punya teman jomblo sepertimu. Ahhahahahah” ledek Matt

Mereka sudah menghabiskan satu jam sejak keluar dari cafe, maka Renny punya satu jam lagi sebelum mengizinkan Matt untuk menangis jika dia tidak, maka dia gagal. Dia melakukan banyak hal di dermaga itu, hal menyenangkan yang biasa mereka lakukan, dekat dengan Matt dalam kurun waktu yang tak singkat membuatnya paham apa saja yang dapat mengubah perasaan pria itu. Kini mereka kembali pada tempat makan sederhana disekitaran dermaga, makanan di Cafe benar-benar tidak membuatnya kenyang.

“3…2…1…” Renny membuka suara saat makanan sudah ada dimeja mereka.

“Kamu sudah bisa menangis sekarang, aku akan makan sambil menunggumu” Lanjut Renny, mulai menyendokkan makannya

“Apa kau gila?. Sekarang aku lapar dan ini sedang di tempat ramai” Protes Matt, dia bukan benar ingin menangis, hanya ingin melihat reaksi Renny

“Ya sudah, kalau kau tidak menagis sekarang, maka jangan pernah menangis didepanku ataupun di dalam rumahmu” Jawab Renny dengan perasaan sedikit bahagia targetnya tepat sasaran

“Kau menang Renn” pasrah Matt

“Bagus, berarti kau yang akau membayar makanan ini” Tawa Renny lepas saat itu juga. Bukan kah tidak ada yang lebih nikmat dari makanan gratis

Matt melewati semua harinya tanpa menangis, meski tanpa ia kontrol rasa sedih tetap hadir seketika tanpa izinnya saat melihat Sherin. Shrein tidak dapat mengelak dari semua, apa lagi berbohong saat fotonya yang diambil Renny waktu itu menjadi bukti kuat, dan Sherin tetap menetapkan hatinya pada pria yang dianggapnya lebih baik dan memberikan apa yang tidak dimikili Matt.

Dan disinilah Matt sekarang, menatap lurus laut yang bebas dari dermaga tempatnya bersama Renny dulu. Masih dengan perahu dihadapnnya, air laut yang saling mengadu birunya bersama langit yang tak mau kalah. Semiggu kemarin Renny pergi melanjutkan pendidikannya di pulau seberang, tempat impiannya sekaligus tempatnya melarikan diri dari sakit hati yang dia bawa pergi. Namun hingga kini belum ada kabar darinya, entah dia telah tiba di tempat harapannya itu atau mungkin gelombang air laut membawanya pada pelabuhan lain. Tiga hari setelah keberangkatannya dengan kapal laut itupun keluarganya pindah ditempat tugas baru ayahnya, dia yang memang bukan masyarakat asli kota itu pergi tanpa meninggalkan apapun di kota itu selain kenangan dan jejak langkah kaki, kepergian orang tua Renny terlalu cepat sebelum Matt sadar telah ditinggalkan satu orang penting dihidupnya dan sesaat sebelum sebuah berita tenggelamnya sebuah kapal dari kota itu.

Matt tidak tau pasti apakah kapal itu yang menjadi tumpangan Renny atau bukan, ia tidak melihat kebeangkatannya, selain karena tidak sanggup melepas kepergian sahabatnya, juga karena luka yang baru dia buat untuk sahabatnya itu.

Sehari sebelum keberangkatannya, Renny mengungkapkan hal yang tidak seharusnya pernah dia ucapakan. Perasaan bahwa ia berharap lebih dari sekedar sahabat dan meminta Matt menahannya tetap dikota itu jika saja Matt mau menerimanya, tapi bukan hal mudah bagi Matt memperlakukan Renny selain sebagai sahabat dan memberi hal yang tidak akan pernah dia nikmati.

“Peluk aku Matt,, untuk salam perpisahan dan sebagai balasan bahwa kau masih mengganggapku sebagai sahabatmu” Pinta Renny dengan menahan tetesan air matanya saat perasaannya sudah ditolak oleh Matt

“Pergilah Renn, aku tidak akan menahanmu. Aku juga tidak akan mengantarmu besok” Tolak Matt yang masih mencoba menelaah apa keinginan hatinya.

“Kau tidak akan melihat dan menemuiku setelah hari ini Matt” Renny masih terus mencoba

“Jika begitu, maka kaupun tidak akan melihatku” Tolak Matt yang masih membelakangi Renny

“Baiklah, kalau kau mau aku menyimpan satu kaktus disudut taman garasi rumah sebagai hadiah terakhir” Renny pasrah, perasaannya mungkin saja di tolak, itu sudah cukup perih, dia tidak mau melihat hadiah itupun ditolak di depannya, itu alasan mengapa ia berhaap Matt yang akan mengambilnya sendiri, jika pun Matt tidak mengambilnya, toh dia tidak melihatnya di tolak.

“Jangan menangis di rumahku dan dihadapanku, menangislah dua jam lagi dirumahmu sendiri” Matt mencoba menyadarkan Renny yang semakin terpuruk

Matt sadar sekarang bahwa kaktus itu lebih dari sekedar hiburan agar dia dapat teralihkan oleh sakit hatinya pada Sherin, tetapi lebih dalam sebagai ungkapan bahwa ada rasa dari Renny yang sudah dia sadari tidak akan dibalas. Renny lebih dari sekedar patah hatinya, tetapi kehilangannya yang terdalam, lebih lagi sebagai putus asa tercepatnya

Renny mengungkap semua dihari terakirnya, seperti yang benar terjadi bahwa dia akan pergi jika ditolak dan dia akan tinggal dengan bahagia di kota itu jika dia dapat bersatu dengan Matt. Tapi buka hati namanya jika saja dia dapat mengaturnya, dan bukan takdir namanya jika saja dia bisa menebaknya dan bukan cinta namanya jika dia dapat dilepaskan. Ragunya untuk mengatakan perasaannya sejak lama membuatnya tidak akan lagi menyatu pada makhluk tuhan idamannya itu. Bagaimanapun Renny mencoba memurnikan hatinya hanya untuk sekedar menjadi sahabat bagi Matt, namun tetap saja rasa itu bergejolak menodai kemurnian rasa persahabatan yang terus dijaganya.

Related posts:

Mati Rasa

Penulis: Sery (Pengurus LPMH-UH Periode 2023/2024) Hembusan angin yang menyapu helai per helai rambutnya Rayuan deru ombak yang mewarnai pendengarannya

UNTUK SIAPA, KAWAN?

Penulis: Alisa Fitri (Pengurus LPMH-UH Periode 2023/2024) Selamat datang, Tuan dan Puan sekalian!!!Selamat memasuki gedung ini dengan bergelar Maha, Mahasiswa!Bukan

MENYEDUH KOPI

Penulis: Jellian (Pengurus LPMH-UH Periode 2023-2024) Kopi yang baru kau seduh tadi melukis matanya, Begitu legam dan tajam Binar miliknya