Oleh:
Aulia Ayu Permatasari
Semburat jingga dan lilac bercampur samar di langit Kota Gudeg. Jogja, kota yang katanya akrab dengan ‘kenangan’. Mungkin iya. Di sini, entah kapan, aku akan mengukir kenangan bersejarah itu. Ada hal yang harus kuselesaikan di sini. Sebut saja “Misi di Kota Gudeg”. Hanya satu sebenarnya, tapi sepertinya membutuhkan waktu yang lama. Jika tahu apa misiku, orang akan berpikir jika itu adalah hal sepele yang mudah untuk dilakukan. Tidak. Ini sulit. Rumit lebih tepatnya.
Aku Ainsley Eilaria. Jogja bukan tanah kelahiranku, tapi di sini aku akan menetap untuk sekian purnama. Sudah hampir empat bulan aku menjadi orang asing yang tinggal di sini. Dan aku mempertahankan hidup dengan menjadi pengantar kue di Pandawa Bakery milik Nyonya Besar Ratih. Beliau yang banyak mengajariku tentang Kota Gudeg ini. Mulai dari tata krama atau unggah-ungguh, makanan khas, pernak-pernik, dan banyak lagi.
Kegiatanku selama ini hanya sibuk mengantar kue dan mengganggu nyonya besar. Ditambah juga sesekali, setiap weekend, aku menjual suaraku di Puncak Sosok bersama teman-teman akustik yang lain. Tapi, kegiatan utamaku adalah mencari seseorang yang menjadi objek utama misiku di Jogja. Selepasnya, aku harus kembali ke negara kelahiranku.
Sulit rasanya untuk melakukan misi ini sendirian. Petunjuk yang diberikan pun samar-samar. Hanya ada dua kata kunci yang menjadi petunjuk: Wajendra dan tompel di bawah telinga kiri. Yang mengganjal adalah, bagaimana aku bisa menemukan orang itu? Di kota yang cukup luas ini, aku harus menemukan orang itu. Aku hanya yakin, jika ia ada di bagian kotanya, bukan di kabupaten yang lain. Aku bukan detektif, tapi … Ah, sudahlah.
Aku kembali menyeruput es kopi yang sedari tadi menemaniku di atap gedung untuk menikmati duniaku. Aku kemudian berbaring tanpa alas di sana. Mataku memandang bebas hamparan langit. Ini duniaku. Dunia yang malah ku anggap nyata, karena di sana aku bebas menggambarkan mau bagaimana kehidupanku. Bukan berarti aku menyalahi aturan Tuhan. Gampangnya, sebut saja aku gadis imajinasi. Apa saja yang membuatku bahagia, akan kulukiskan di kanvas tak berujung di atas sana. Kutitipkan segalanya di langit lepas. Dan di waktu pergantian seperti saat inilah waktu terbaiknya.
Senja yang menjadi penanda bahwa waktu terang akan segera berakhir dan sebagai tanda selamat datang untuk waktu gelap. Antara terang dan gelap yang kusuka, netra ini menitipkan kehidupannya. Dan, saat waktu gelap menyapa, sudah saatnya netra ini pulang pada kehidupan yang sesungguhnya, serta menyadarkan jiwa raga yang sempat menari di cakrawala.
***
Gema adzan seakan mengetuk alam bawah sadar ku. Menarikku agar pulang dari pulau kapuk yang begitu memabukkan. Waktunya bangun dan bersujud pada Sang Illahi, menitipkan banyak doa dan harap untuk hari yang akan kulalui. Aku harus bergegas. Kata nyonya besar, “Bangun itu jangan siang-siang, Nduk. Tidak malu sama ayam? Nanti rezekinya dipatok ayam, lho,” dengan logat Jawanya yang kental, ia menasehatiku saat aku terlambat bekerja waktu itu. Tentu saja aku percaya. Pikirku, aku yang kerja keras, kok malah ayam yang menikmati rezeki ku. Tapi, setelah cukup lama di sini, aku paham, jika itu maksudnya hanya untuk memotivasi agar lebih rajin bangun pagi. Jika iya begitu, nyonya besar sekali lagi berjasa untukku. Mengajarkanku hal yang belum pernah ku ketahui.
Dengan setelan overall dan sneakers, serta beanie yang melindungi rambut pirangku, aku berjalan riang menuju toko Pandawa Bakery, diiringi sinar mentari yang cukup hangat menembus kulitku. Antara tempat tinggalku dengan toko hanya berjarak sepuluh meter. Aku hanya menyewa kamar kecil dalam gang sempit di kota Jogja, tentu dengan biaya sewa yang sangat murah. Ini sangat menguntungkanku tentu saja.
Saat sudah sampai, ternyata nyonya besar sudah menyapu pelataran toko. “Selamat pagi, Nyonya Besar,” sapaku sambil membungkuk bak memberi hormat pada seorang ratu. Nyonya Besar Ratih malah memukul pelan pundakku. Bukannya membalas sapaanku, aku malah kena omel. Selalu begitu sejak pertama aku bertemu dengannya. Tapi, tetap dia orang yang paling ku sayang di sini.
Aku lalu masuk dan mulai menyantap sarapan dengan menu favoritku, gudeg. Rasanya sungguh cocok di lidahku yang tidak menyukai pedas. Tapi, aku juga tidak terlalu menyukai gudeg yang terlalu manis. Yang sedang saja. Sudah banyak warung gudeg yang aku coba. Ini salah satu yang paling enak, gudeg di ujung jalan sebelum menuju arah toko.
“Kamu hari ini anter tujuh pesanan ya, Nduk?”
Aku mengernyit heran, “Kok sedikit, Nyonya?”
“Iya, orang yang pesan memang sedikit, tapi pesanannya banyak. Tuh, pesanan pertama yang harus kamu anter,” jawab nyonya besar sambil menunjuk bagian meja yang dipenuhi kardus berisi kue-kue. Aku yang sedang sarapan dengan gudeg pun dibuat tersedak karena melihat banyaknya pesanan itu.
“Laris manis ya, Nyonya. Semua pesanan untuk hari ini, apa sebanyak itu?”
“Tidak sebanyak ini. Tapi, lebih dari biasanya. Tenang, nanti kamu dapat tip.”
Aku tak masalah sebenarnya dengan uang tambahan dari nyonya besar. Yang kukhawatirkan hanya bagaimana cara mengantar pesanan itu. Biasanya, aku hanya menggunakan motor matic, karena memang pesanannya mampu kubawa dengan motor. Tapi, untuk yang ini rasanya harus menggunakan mobil pick up. Entahlah, akan kupikir nanti. Santapan gudeg favoritku harus segera kumasukkan ke perut.
Setelah selesai, aku bergegas mengeluarkan semua pesanan yang akan kuantar ke teras toko. Sudah kuputuskan untuk mengantar sedikit demi sedikit. Toko ini hanya punya satu orang kurir. Sebelum aku kerja di sini, memang ada kurir pengantar kue, tapi orang itu sudah keluar karena satu dan lain hal.
“Eh-eh, kenapa pake motor?! Turunin dulu!” cegah nyonya besar saat melihatku sibuk menyusun kardus di motor agar tak jatuh. Aku menurut saja. Kuturunkan semua yang sudah ada di motor. “Lalu pakai apa, Nyonya?” tanyaku bingung sambil menggaruk pelipisku yang kebetulan gatal.
Aku berbalik saat nyonya besar menunjuk ke arah belakangku dan netraku menangkap mobil pick up yang baru saja datang. “Tapi, Lili tidak bisa menyetir, Nyonya.” Bagaimana bisa aku mengantar dengan mobil itu, sedangkan menyetir pun ku tak bisa. Hanya senyum nyonya besar yang terlempar sebagai respon.
“Assalamualaikum, Bude.”
“Waalaikumsalam.”
“Nah, Lili. Ini keponakan Bude. Dia yang akan temani kamu anter pesanan. Ayo kenalan,” titah nyonya besar padaku. Aku menatap lelaki jangkung berkulit sawo matang itu dengan tampang ramah. Aku mulai mengulurkan tanganku terlebih dahulu, karena sepertinya lelaki itu tipe orang pendiam yang tidak akan berinteraksi sebelum dipancing berbicara.
“Hai! Aku Ainsley Eilaria, tapi nyonya besar memanggilku Lili atau genduk. Namaku terlalu rumit katanya. Namamu?”
Lelaki itu membiarkan tanganku melayang di udara untuk beberapa detik. Hingga akhirnya dia tersenyum dan mulai membalas uluran perkenalan itu. Ah, manis sekali senyumnya.
“Aku Dipta.”
“Dipta saja?”
“Nalendra Dipta.”
“Nama yang bagus,” pujiku. “Oke, Dipta. Ayo kita berangkat!” seruku sambil menepuk lengannya. Aku meninggalkannya untuk memindahkan pesanan ke mobil, dan tak lama kemudian Dipta menyusulku. Tujuan kali ini ada di daerah Kotabaru.
***
“Apa alasanmu datang ke Jogja?”
Pertanyaan itu akhirnya terlontar dari mulut Dipta. Kami saat ini duduk santai menikmati senja di atap gedung tua yang ada di pinggir kota. Tugas kami selesai tepat pukul lima sore, lalu aku menawarkannya untuk menyapa duniaku. Dia mau-mau saja.
“Hmm … Untuk melakukan satu misi. Kunamai, misi di Kota Gudeg,” jawabku sembari mencari posisi terbaik untuk berbaring dan bersiap melayang menuju duniaku. Sepertinya langit sedang malu menunjukkan keelokannya, karena senja terlihat samar di atas sana. Apa ia malu karena aku membawa orang asing untuk kutunjukkan duniaku? Atau semesta sedang tidak baik-baik saja? Kenapa samar sekali jingga itu?
Dipta menoleh dan menatapku bingung, “Misi apa?”
“Berbaringlah. Manjakan matamu,” ajakku agar ia ikut berbaring menatap cakrawala, dan ia menurut saja. “Kita orang asing, jadi akan kuceritakan misi ku padamu. Secara garis besar saja, aku terlalu malas menjelaskan.”
“Jika hanya orang asing, lalu kenapa kamu mau bercerita?” tanya Dipta heran.
“Karena mereka kadang lebih bisa dipercaya.”
Iya, menurutku begitu. Aku bukan asal berbicara, karena aku pernah mengalami itu. Bagaimana orang terdekat yang kukira mampu memberi semangat dan dorongan, ternyata malah menjadi patah hati terbesarku. Dan sebaliknya, orang asing yang kadang secara tidak sengaja kuceritakan masalahku, malah merekalah penyemangatku.
“Oke, Dipta. Jadi, misi yang kumaksud itu hanya satu saja. Sebelumnya aku ingin tanya, menurutmu cinta itu apa? Apa harus diungkapkan?” Aku melontarkan pertanyaan yang membuatnya terdiam agak lama.
“Hmm … cinta ya. Tiap orang memaknai kata cinta dengan sudut pandang yang berbeda. Menurutku, cinta itu bagaimana kita mampu dan ikhlas melihat orang yang kita sayang, bahagia dengan pilihannya. Sebab cinta itu tak harus memiliki, Ainsley. Cinta yang sebenarnya adalah disaat kita mampu melepaskan orang itu. Dan menurutku, cinta itu tak harus diungkapkan, kembali pada definisiku tentang cinta itu sendiri,” jawab Dipta yang masih asik bercengkerama dengan cakrawala melalui netra coklatnya.
Jawaban Dipta berhasil membuatku merenung sejenak. Cinta yang sebenarnya adalah disaat kita mampu melepaskan orang itu. Cinta tak harus diungkapkan. Kalimat itu bagaikan running text yang asik berputar di kepalaku.
“Mengapa harus melepasnya, jika kamu bisa memeluknya?”
Dipta menoleh dan menatapku, “Ainsley, bagaimana bisa kau memeluk mawar padahal kau bisa melepasnya? Itu hanya akan menyakiti dirimu sendiri. Tapi, memang terkadang kau harus merasa sakit untuk memahami apa itu cinta. Karena, dari rasa sakit itu yang akan berhasil menuntunmu untuk memaknai apa itu cinta yang sebenarnya.”
Kenapa cinta begitu membingungkan?
“Lalu, kalau hanya berakhir melepaskan, kenapa harus mencintai?”
“Kita terlahir di rahim yang berbeda dan tak bisa menentukan akan lahir di rahim yang mana, dengan keluarga seperti apa. Memilih saja tak bisa, begitupun dengan menentukan. Seperti itulah cinta bekerja. Kita tak bisa menentukan kemana hati ini akan berlabuh, Ainsley.” Jawaban Dipta membawaku hanyut dalam putaran kaset masa lalu. Apakah betul seperti itu yang dimaksud dengan bagaimana cinta itu bekerja?
“Lalu menurutmu, apa itu cinta?”
“Aku tak tahu,” jawabku spontan yang malah dihadiahi pelototan oleh Dipta. “Bagaimana bisa tidak tahu? Kau yang bertanya, tapi kau juga tak bisa menjawab?!” omel Dipta yang masih melototiku.
“Bukankah orang bertanya itu karena tidak tahu, ya?”
“Astaga, Ainsley! Ini berbeda konteks! Kukira kau bertanya padaku hanya untuk mengetes saja.” Dipta terlihat jengkel. Tapi, memang begitu adanya, aku tak bohong. By the way, Dipta ternyata tak sependiam kelihatannya. Tapi, tak apa. Ia bisa menjadi lawan berdialogku yang baru.
“Tapi, aku pernah membaca kalau, ‘Kesedihan yang paling utama adalah menjalani hidup tanpa mencintai. Tapi, hampir sama sedihnya, meninggalkan dunia ini tanpa mengatakan pada orang yang kau cintai, bahwa kau mencintai mereka.’ Dan karena itulah aku datang ke Jogja.”
“Aku merasa, bahwa apa yang dibilang buku itu benar adanya. Setiap orang dalam hidupnya pasti akan mencintai hingga membuat ia rela melakukan apa saja untuk hal itu. Dan menurutku, sedih memang, jika rasa cinta kita tak mampu terucap untuk apa yang kita cintai. Ini cukup menjadi dasar untukku memutuskan melakukan misi ini,” jelasku dengan netra yang mulai melayang menuju cakrawala. Halo, duniaku, batinku menyapa.
“Jadi, misimu itu mengungkapkan cinta?”
“Bingo! Terdengar mudah, bukan?”
“Tidak. Menurutku, berusaha untuk jujur mengatakan bahwa kita mencintai itu, bukanlah suatu hal yang mudah dan bisa disepelekan. Memangnya, siapa dia yang akan kau ungkapkan cintanya?” Pertanyaan lanjutan Dipta berhasil menarikku dari dunia ‘nyata’. Tujuh kata yang berhasil memutar memori masa lalu yang berhasil menorehkan luka tak berujung di relung hati ini.
“Ayah.”
***
“Mommy! Jangan seperti ini, aku mohon,” isak tangis seorang gadis kecil memenuhi ruang temaram di suatu rumah yang dekat dengan peternakan dan ladang. Ia mencoba menahan tangan ibunya yang akan meraih obat tidur di atas nakas.
“It’s okay, sweetheart. Mommy hanya ingin tidur. Mommy lelah setelah sehari penuh mengurus ladang dan sapi-sapi kita yang gemuk,” ucap wanita yang terduduk lemas di dekat tempat tidur. Matanya begitu sayu dan jika diselami lebih dalam, banyak luka dan beban bersarang di netra biru yang indah itu.
Gadis kecil berusia tujuh tahun hanya bisa menangis dan menatap sedih ibunya. Tertanam kuat dalam dirinya bahwa ia sangat membenci ayahnya yang membuat ibunya menjadi seperti ini. Dia memang masih kecil, tapi pikirannya lebih dewasa dari anak sebaya yang lain.
Elusan sayang terasa begitu lembut dirasakan di kepalanya. “My little princess, dengar Mommy. Jangan pernah sekalipun terbesit dipikiran dan hatimu, bahwa kau membenci ayahmu. Ini bukan salahnya, Ainsley. Dia memilih untuk mengejar cintanya dan berbahagia dengan pilihannya.”
“Dengan meninggalkan Mommy?! Dia orang jahat Mommy!!”
Wanita itu memeluk buah hatinya yang mulai memberontak dengan isak tangis yang terdengar begitu pilu. “Saat kau sudah dewasa nanti, kau akan tahu bagaimana cinta itu bekerja, Sayang. Dia tetap ayahmu, yang dulu mengajarimu berlari, mendidikmu menjadi gadis kecil yang tangguh dan ceria, dia berjasa untukmu.”
Gadis kecil itu hanya diam di pelukan hangat malaikat tanpa sayapnya. Ibunya begitu baik hingga rela melepaskan orang yang ia cintai demi kebahagiaan orang itu. Dengan erat, Ainsley mendekap sayang ibunya. Mencoba melebur semua rasa bencinya dan memilih berdamai dengan dirinya sendiri. Esok ia akan menghabiskan waktu dengan ibunya hingga larut malam, dan berulang hingga hari yang tak bisa ditentukan. Ia akan terus bersama ibunya.
Namun, ia tak menyadari bahwa malam itu, malam terakhir dekapan hangat ibunya memeluk raga kecilnya yang rapuh. Malaikat tanpa sayapnya lebih memilih pulang pada pangkuan Sang Illahi, meninggalkan gadis kecil yang hanya mampu berdiri dengan tatapan kosongnya.
***
“Berarti, kau sekarang hanya hidup sendiri?”
“Tidak. Aku masih memiliki sapi-sapi gemuk dengan ladang yang cukup luas di sana. Oh! Ada Paman Jack dan Bibi Diana juga yang membantuku mengurus ternak dan ladang. Merekalah alasanku masih bertahan hingga saat ini.”
“Kau–”
“Yaa … Ibuku pasti kesulitan membesarkanku disaat keadaan hatinya pun butuh pelukan hangat. Tapi, dia terlihat menikmati semua itu.” Aku tersenyum getir saat mengingat semuanya. Netraku hanya menatap kosong pada lautan lepas di depan sana. Kami memang sedang ada di pantai daerah Gunung Kidul. Kami hanya berjalan menyusuri bibir pantai dan disapa oleh ombak kecil yang memanjakan langkah kecil kami.
“Sampai … dimana ibu memilih pulang karena cintanya sudah tak bekerja sebagaimana mestinya. Detik itu juga aku mulai membenci semesta ini. Tanpa izin mengambil ibuku, satu-satunya senyum yang memperkokoh pundak kecil seorang gadis bernama Ainsley. Siapa yang tidak marah jika ada di posisiku? Memiliki ayah yang seakan mati. Di hari meninggalnya ibu pun, dia tidak datang. Bajingan sekali.”
Rasanya, Dipta memang benar-benar orang asing bagiku. Aku berani menceritakan semuanya. Meluapkan apa yang ku pendam selama ini, yang membuat pundakku tak sekokoh dulu. Dan dia tak membuka mulut, tapi aku yakin telinganya terbuka lebar untuk menjadi penampung suara ini.
“Tapi, aku tak bisa mengingkari titah ibuku. Aku tumbuh mencoba damai dengan rasa benci yang membara. Sebagian dari diriku telah menjadi dewasa dalam perjalanan ini. Aku memperoleh pelajaran penting. Pelajaran yang tak mungkin diajarkan dengan kata-kata, pelajaran yang harus kulihat dengan mata kepalaku, dan dengan menjadi pemeran utama di sana.”
Kenapa rasanya sangat ringan pundak ini? Ada rasa yang tak mampu kujelaskan. Bertahun-tahun aku hidup dengan pundak yang terasa berat, karena masalah yang tertahan di ujung tenggorokan saat selalu gagal menyuarakannya.
“Aku merasa bangga dengan diriku sendiri, karena masih mampu dan mau untuk melanjutkan perjalanan ini. Saat keadaan sangat sulit, bahkan terbesit niat untuk mengakhiri hidup, aku bergantung pada memori kebahagiaan dengan orangtuaku, dan menggunakannya untuk mencari jalan pulang.”
Dipta masih diam, dan aku merasa lega dengan itu. Jika lelaki ini memberi tanggapan, aku tak tahu harus menjawab bagaimana. Karena memang yang kubutuhkan adalah telinga yang mendengar dan raga yang siap mendekapku, jika sewaktu-waktu aku kehilangan pijakanku di bumi ini.
“Ainsley, sepertinya aku tahu objek dari misimu ada di mana,” ucapan Dipta berhasil menarikku dari lamunan. Aku menatapnya dengan perasaan yang bercampur. Terkejut, bingung, senang, khawatir, semuanya bercampur di kepalaku.
“How?” tanyaku lirih seperti tak kuasa untuk mengeluarkan suara.
“Wajendra. Nama yang sangat familiar untukku. Ditambah tompel yang ada di bawah telinga kirinya, semakin membuatku yakin bahwa dia adalah kawan dekat ayahku. Namanya Yudhistira Wajendra, Ainsley. Dia ayahmu yang selama ini kau cari,” jelas Dipta yang berhasil membuat likuid bening berhasil lolos dari netra biruku. Ia memang sudah kuberi tahu perihal petunjuk misiku. Selama dua pekan kami menjadi orang asing bak kawan dekat, banyak hal yang sudah kuceritakan padanya. Dan ia menepati janjinya untuk membantuku mencari ayah.
Lututku terasa lemas, tak kuasa menopang tubuh ringkih ini. Perjalananku hampir sampai tujuan. Misiku sebentar lagi akan rampung. Aku berjongkok dan menyembunyikan muka ini ke dalam lipatan tanganku. Terasa lembut dan menenangkan elusan yang diberikan Dipta dipunggungku.
Aku mendongak menatapnya, “Allah telah memberi tahuku, bahwa kamu akan datang, Dipta. Terima kasih, karena telah membantuku untuk menyelesaikan misi ini, Dipta.”
Tangisanku kenapa tak bisa berhenti? Bagaimana caranya untuk berhenti menangis?
“Aku orang asing bagimu, Ainsley. Tapi bagiku, kau adalah seorang teman, yang membawa pelajaran penting untukku. Tentang bagaimana kita harus berani mengucap cinta untuk orang yang kita cintai. Terutama untuk orang tua, karena kita tak tahu, kapan mereka atau diri ini diminta pulang oleh Sang Illahi. Terima kasih untukmu yang tumbuh menjadi gadis kuat, yang selalu mencoba untuk berdamai dengan semesta.” Dipta berujar sambil memelukku. Terasa sangat nyaman, tapi masih kalah jauh dengan dekapan hangat milik ibu. Tapi, aku tetap merasa sangat bahagia.
Dulu, aku merasa banyak hal yang hilang dariku. Kehampaan gelap yang terus menggerogoti kebahagiaanku, membuat hati rapuh ini bagai rumah tak berpenghuni. Kini, aku merasakan warna baru dalam hatiku. Dari semuanya, aku belajar bahwa biarpun banyak perubahan yang tak diinginkan, tapi itu bisa menjadi hal yang baik untukku. Terbukti, dengan aku mencoba berdamai dengan semesta, kini aku menemukan kebahagiaanku yang sempat hilang.
Tunggu aku ayah.
***
Hari Sabtu yang cukup melelahkan. Di depan rumah minimalis, dengan bermandikan sinar matahari yang terasa menyengat di kulit, aku dan Dipta sedang mengantar kue pesanan Pakde Cahyadi. Setiap hari Sabtu akhir bulan, beliau selalu berbagi kue-kue kecil pada mereka yang berkebutuhan khusus. Selain berbagi kue, beliau juga menghabiskan waktunya untuk bermain dengan mereka.
Awalnya, beliau merasa sangat kehilangan istri tercintanya, tapi ia mencoba bangkit dengan berbagi kebahagiaan kepada mereka yang berhak atas kebahagiaan yang lebih. Sejak saat itu, Pakde Cahyadi berlangganan di toko milik nyonya besar. Selain karena harga yang terjangkau, keduanya merupakan teman sejak duduk di bangku SMA. Panjang umur persahabatan dan hal baik.
“Oke. Tujuan selanjutnya, Nona?” tanya Dipta yang sudah siap di bangku kemudi. Panggilannya padaku berubah sejak kemarin. Katanya, “Tak beralasan. Hanya terdengar cocok saja, apalagi dipadu dengan wajah bule-mu itu.” Dan aku hanya diam membiarkan saja apa maunya itu.
“Sekarang ke daerah Jagalan, Kotagede. Kotagede itu yang identik dengan gang sempit, kan Dipta?” tanyaku yang cukup antusias, karena aku belum pernah menapaki bumi Indonesia bagian Kotagede.
“Atas nama siapa, Ainsley?” Bukannya menjawab, Dipta malah balik bertanya. Dan, ada apa dengan raut wajahnya itu? Kenapa hanya menatap kosong ke arah stir kemudi?
“Atas nama Ibu Rumi Naeswari. Kenapa Dip–”
“Pesanannya?”
“Kue ulang tahun dan kue-kue tradisional. Ada apa sebenarnya, Dipta?”
“Dia istri Om Wajendra, Ainsley. Dan, hari ini adalah hari ulang tahun ayahmu.”
***
Seingatku, aku tak punya riwayat sakit jantung. Tapi, kenapa rasanya sangat sesak. Napasku tak berirama tenang. Bahkan tanganku terasa seperti menggenggam secuil es dari Kutub Selatan. Aku gugup sekali, hingga kakiku tak berhenti bergerak gelisah.
“Tenangkan dirimu, Ainsley. Jangan sampai untaian kata yang sudah kau susun apik di kepalamu, malah hanyut terbawa arus gelisahmu. Tenang saja, aku menunggu di mobil, ya?” ucap Dipta mencoba menenangkanku. Tapi, tanganku refleks menahannya yang hampir berdiri dan meninggalkanku.
“Tolong, tetap di sini. Aku tak bisa sendirian menghadapinya, pertahananku akan runtuh nanti,” ucapku sambil menatapnya memohon. Dan, untuk kesekian kalinya ia menuruti permintaanku.
Aku menatap kosong pada hamparan bunga yang tertanam rapi di halaman rumah bergaya Jawa. Benar saja, pesanan terakhir untuk hari ini memang dari istri ayahku. Dan sekarang, aku sedang menunggu ayahku yang katanya sebentar lagi sampai rumah. Ibu Rumi dengan berbaik hati menghubungi suaminya untuk segera pulang, dan Dipta pun sudah menceritakan semuanya pada istri dari kawan dekat ayahnya. Kukira beliau akan marah, tapi ternyata, Ibu Rumi malah merasa menyesal atas apa yang dilakukan ayahku dan juga merasa bersalah, sebab merenggut kebahagiaanku begitu saja.
Sambil menunggu ayahku datang, biar kuceritakan sedikit hubungan antara ayah, ibuku, dan Ibu Rumi. Awalnya memang ayah dan Ibu Rumi sudah memiliki hubungan, tapi belum dalam ikatan yang sah. Keduanya pun saling mencintai. Namun, ayah malah diminta untuk menikahi ibuku, karena permintaan dari orang tua mereka yang ternyata bersahabat. Pernikahan terjadi, dan aku pun lahir ke dunia. Enam tahun pertama, semua masih terlihat baik-baik saja. Namun, satu tahun setelahnya, semua berubah. Ayah tetap berusaha mengejar cintanya dan meninggalkan kami. Ia merawatku hingga umurku enam tahun, hanya agar aku bisa membantu ibuku. Jahat sekali orang itu, tapi anehnya aku tetap cinta.
“Assalamualaikum,” salam seorang pria dengan setelan yang cukup formal. Ibu Rumi keluar menyambut suaminya, terlihat sangat serasi.
“Waalaikumussalam.”
“Nak Dipta? Tumben main ke rumah, ada apa? Sampai-sampai tantemu ini telpon minta om pulang,” tanya ayah yang masih diam melihat keberadaanku. Entah dia tak acuh atau memang tak mengenali wajahku.
“Ada yang mau ketemu, Om,” ucap Dipta seraya memintaku berpindah tempat duduk agar lebih dekat dengan ayah.
“Ini siapa–”
“Saya Ainsley Eilaria.” Hanya itu yang mampu terucap. Aku menatapnya kacau. Rasanya ingin menangis, tapi aku mencoba sekuat hati menahannya. Yang bisa kulakukan hanya menggenggam tangan Dipta dengan erat, menyalurkan segala rasa yang menumpuk di pelupuk mataku.
Kulihat ayah mematung. Aku tak bisa membaca apa yang sedang dipikirkannya, apa yang sedang dirasakannya, aku tak tahu. Dan lebih baik memang ia tak usah bersuara terlebih dahulu.
“Saya tidak tahu apakah panggilan ‘Ayah’ masih pantas saya ucap. Tapi, biarkan saya untuk kali ini memanggil Anda dengan sebutan ‘Ayah’,” ucapku yang mencoba tenang untuk memulai dialog yang begitu sulit. Kurasakan Dipta mengelus pelan tanganku, mencoba untuk menyemangati ku.
“Ayah … Ainsley cinta Ayah. Ainsley hanya ingin Ayah tahu itu.”
Terucap sudah. Misiku kini sudah usai. Belasan tahun aku menahan kata itu terlontar dari mulutku. Dan, detik ini, hari terakhirku di Jogja, aku sampai di akhir perjalananku. Ucap syukur tak henti terucap dalam batinku untuk Sang Illahi.
Kulihat pelupuk mata ayah, dengan likuid bening menumpuk seakan mendobrak ingin unjuk diri. Ia menatapku sendu. Apakah hanya seperti ini reaksinya? Sejenak aku merasa menyesalkan reaksi ayah yang masih terdiam cukup lama. Hingga tiba-tiba dia menarikku dan memelukku dengan erat.
Ya Allah, beginikah rasa dekapan seorang ayah? Sama-sama hangat, namun terasa berbeda. Dekapan hangat ibu selalu bisa menenangkanku, tapi dekapan ini, seakan mengatakan padaku bahwa aku gadis yang kuat. Dekapan yang menguatkan, itu yang kurasakan.
Runtuh sudah pertahananku. Saat ini, aku merasa seperti gadis kecil yang sedang mengadu pada ayahnya, bahwa semesta berlaku tak adil padanya. Dulu, aku merasa sangat marah sampai tak mampu untuk berbicara, dan aku sangat terluka hingga segalanya terasa sangat lambat. Tapi, detik ini semuanya sirna. Jiwa ini sudah kembali sehat.
Gumaman maaf tak berhenti terucap dari mulut ayahku. Ia kemudian menatapku, yang jika boleh kubaca, rasa bersalah menguasai netra coklatnya. Aku menatapnya rakus, seakan tak ada lagi hari esok yang akan mempertemukan kita.
“Tinggal dengan Ayah, ya?”
Aku bingung. Aku sudah tak berhak atas semuanya. Dan lagi, aku harus kembali ke kampung halamanku. Di sini bukan tempatku. Jogja hanya persinggahanku untuk mencetak kenangan baru, agar bisa kuputar setiap waktu, saat semesta sudah tak mengizinkaku berpijak di tanah ini.
Aku menarik napas pelan, kutatap bergantian ayah dan Ibu Rumi yang menatapku penuh harap. “Maafkan aku, Ayah. Tapi, tujuanku sudah terpenuhi. Ungkapan cinta, sudah kutitipkan padamu. Dan menetap di sini, bukanlah bagian dari perjalananku, Ayah.” Aku tak merasa menyesal telah menolak tawarannya. Bukan karena aku tak sayang padanya. Hei, bahkan aku sudah mengungkapkan cintaku, kawan! Aku hanya merasa sudah tak ada perlu di sini, ditambah tangisan bayi yang berasal dari dalam rumah, semakin menambah tekadku bahwa aku harus pulang.
Kurasakan tatapan memohon ayah menembus kepalaku, saat aku menoleh pada Dipta untuk mengajaknya pulang. Pundakku sudah baik-baik saja. Tak ada lagi hal yang mengganjal dalam hati dan pikiranku.
“Ayah, terimakasih karena sempat menjadi ayah yang merawat putri kecilnya dengan begitu apik. Kini, ada tangisan kecil yang harus ayah perjuangkan menjadi tawa ceria, menjadi anak yang tangguh. Kumohon, sayangilah ia hingga ia menemukan dunianya sendiri, jangan biarkan ia berkelana di dunia yang kejam ini sendirian. Aku percaya padamu, Ayah. Dan … mommy selalu mencintaimu. Ia tak pernah memaafkanmu, karena memang di matanya, kau tak pernah bersalah, Ayah,” ucapku yang membuat oksigen di paru-paruku menipis. Sulit sekali rasanya mengatakan untaian kata itu. Tapi, untuk kesekian kalinya aku bangga dengan diriku. Betapapun aku mengatakan bahwa aku tak sanggup, semua terasa berat dan sulit, tapi tubuh ini selalu berhasil menuntaskan semuanya.
Aku segera meraih tangannya untuk kucium. Cukup lama kucium tangannya, karena aku ingin menebus momen belasan tahun yang telah hilang. Kutitipkan rasa hormatku padanya dan batinku berdoa untuk kebahagiaan dan keselamatannya. Suara isak tangis menembus gendang telingaku, seakan menahanku untuk pergi.
“Selamat tinggal, Ayah. Assalamualaikum.”
Aku berjalan meninggalkannya begitu saja. Tak ingin aku membalikkan punggungku walau hanya untuk menatapnya sejenak. Perasaanku berkecamuk, tak bisa kugambarkan bagaimana perasaanku. Dipta mulai melajukan mobil, meninggalkan pekarangan yang cukup asri itu.
Semua sudah usai. Aku tak akan bertemu lagi dengan ayahku. Hidup kami sudah tak sama. Tapi, aku akan selalu mencintai ayahku, tentu saja dengan ibuku. Dan, Jogja, terimakasih kuucapkan untukmu. Di tanah ini, aku telah mengukir kenangan baru dengan orang yang aku cintai. Tak masalah walaupun hanya sesaat, tapi itu tetap kenangan yang indah untukku. Misi di Kota Gudeg telah usai, perjalananku telah menemukan tujuannya. Kini, aku harus memulai perjalanan baru, dengan jiwa dan raga yang telah membaik.
***