Oleh: Aunistri Rahima MR
(Pengurus LPMH Periode 2022-2023)
Mengapa perempuan selalu berlagak sebagai korban? Selalu menjadi pertanyaan yang tak jarang terlontar ketika perempuan mulai bersuara terkait kedudukannya dalam masyarakat dan posisinya sebagai manusia, yang selalu diposisikan sebagai manusia kelas kedua.
Budaya patriarki dan pandangan-pandangan tersebut menjadi akar munculnya perilaku mosigini, merasa memiliki kendali terhadap perempuan dan berbagai bentuk kekerasan seksual, hingga perilaku femisida yaitu pembunuhan dengan alasan rasa benci terhadap perempuan.
Kasus kekerasan hingga penghilangan nyawa terhadap perempuan di Indonesia bukan hal yang baru, namun masih menjadi perhatian yang minim. Tindak kekerasan yang jelas menyasar perempuan dan terjadi dengan alasan karena ia perempuan masih diartikan sebagai tindak kejahatan biasa. Dengan berpedoman pada KUHPidana yang mengatur tentang penghilangan nyawa dan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU KDRT). Namun motif, modus, dan kekerasan berbasis gender sebelum atau yang menyertainya tidak menjadi faktor pemberat hukuman.
Mari untuk tidak melupakan kasus percobaan pembunuhan berencana oleh MR dengan cara membakar mantan istrinya, hal ini didasari rasa cemburu terhadap istri yang dekat dengan pria lain yang tewas dalam insiden tersebut, pelaku akhirnya dikenakan pasal 340 KUHP.
Kasus Femisida lain, contohnya yang menimpa korban Elisa berumur 21 tahun yang dibunuh oleh mantan pacarnya Riko berumur 23 tahun, Elisa dibunuh secara sadis dengan cara dicekik dan dihantam memakai kloset hingga kehilangan nyawa, pelaku dijerat pasal 338 KUHP.
Tidak cukup sampai di situ, 4 Oktober 2023 kasus pembunuhan yang dapat digolongkan ke dalam kasus femisida yaitu penganiayaan yang menyebabkan korban meninggal dunia dilakukan oleh Gregorius Ronald Tannur anak seorang anggota DPR RI dari Nusa Tenggara Timur (NTT) kepada pacarnya DSA. Pelaku menendang dan memukul korban dengan botol miras, lalu menggilas dan menyeretnya sejauh lima meter dengan mobil. Pelaku hanya dijerat dengan pasal 351 ayat (3) dan 359 tentang penganiayaan dengan ancaman pidana 12 tahun penjara.
Dari kasus-kasus tersebut dapat dilihat walaupun sudah terdapat aturan yang memuat sanksi pidana kasus kriminal, namun hukum nasional masih belum sepenuhnya mengintegrasikan dengan baik definisi maupun sanksi pidana kasus-kasus femisida yang terjadi di Indonesia. Akibatnya, kasus-kasus pembunuhan yang seharusnya masuk ke ranah femisida, tumpang tindih dengan kejahatan-kejahatan lainnya. Dalam perundang-undangan nasional, femisida ditempatkan sebagai kriminalitas umum dan bukan kejahatan berbasis gender. Perlu adanya pembaruan hukum pidana yang mengatur femisida sebagai pembunuhan khusus terhadap perempuan atau menjadikannya sebagai alasan pemberat hukuman.
Dan dari hal tersebut, mari kita menjadikannya sebagai langkah lanjut atas semua upaya dalam menciptakan perasaan nyaman dan aman yang perlu kita berikan untuk seluruh masyarakat, seluruh gender, utamanya seluruh perempuan di negeri ini.
*Opini ini tidak mewakili pandangan redaksi Eksepsi