Penulis: Najwa As Salsabila, Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin
Bukanlah hal yang mengejutkan ketika pajak 12 persen kini dianggap sebagai ancaman bagi berbagai lapisan masyarakat, terutama kelas menengah ke bawah. Dalih pemerintah mengenai pajak 12 persen adalah untuk mendukung pembangunan dan meningkatkan pendapatan negara. Namun, pertanyaannya adalah apakah pajak ini benar-benar akan menjadi solusi yang efektif, atau justru menjadi beban baru bagi masyarakat?
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dapat menjadi pajak regresif karena membebani golongan berpenghasilan rendah secara relatif lebih besar dibandingkan golongan berpenghasilan tinggi. Hal ini menyebabkan kelompok berpendapatan rendah dan menengah lebih terbebani karena sebagian besar pendapatan mereka digunakan untuk konsumsi. Sebutan “zona tanggung” sangat tepat untuk menggambarkan posisi kelas menengah. Mereka tidak cukup kaya untuk bertahan dari beban pajak yang tinggi, namun juga tidak cukup miskin untuk mendapat bantuan langsung dari pemerintah. Kondisi ini menjepit kelas tersebut, dengan terbatasnya kemampuan untuk menabung, berinvestasi, dan bertahan di tengah ketidakpastian ekonomi. Jika tidak hati-hati, kondisi ini bisa memperburuk kesenjangan ekonomi, dan kelas menengah akan menjadi yang pertama merasakan dampak dari “jebakan ekonomi” ini.
Sebagai perbandingan, negara-negara dengan wilayah luas seperti Kanada, Australia, dan Amerika Serikat memiliki tarif PPN atau pajak penjualan yang relatif rendah, namun perlu diperhatikan bahwa perbandingan ini tidak bisa dilihat secara terpisah dari perspektif ekonomi dan sosial masing-masing negara, negara-negara ini memiliki pajak lebih rendah namun tetap mampu menyediakan fasilitas publik berkualitas. Kanada, misalnya, menerapkan Goods and Services Tax (GST) sebesar 5%, yang ditambah dengan pajak provinsi di beberapa wilayah. Australia memiliki GST sebesar 10%, sedangkan Amerika Serikat tidak memiliki PPN di tingkat federal, hanya menerapkan Sales Tax di tingkat negara bagian dengan rata-rata 4–7%. Meskipun tarif pajak relatif rendah, kenaikan pendapatan per kapita di negara-negara ini menjadi faktor yang juga perlu dilihat untuk meringankan beban pajak bagi masyarakat. Adanya kualitas fasilitas publik seperti sistem kesehatan universal, pendidikan yang baik, serta jaminan infrastruktur modern meningkatkan kepercayaan masyarakat untuk membayar pajak.
Indonesia dapat mempertimbangkan alternatif kebijakan untuk meningkatkan pendapatan negara tanpa membebani masyarakat dengan pajak yang tinggi. Salah satu opsi yang potensial adalah penguatan mekanisme perampasan aset hasil tindak pidana korupsi.
Menurut data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), nilai kerugian negara akibat korupsi mencapai ratusan triliun rupiah setiap tahunnya. Jika RUU Perampasan Aset disahkan dan diimplementasikan secara efektif, Indonesia memiliki peluang untuk memulihkan aset negara yang hilang.
Namun, efektivitas RUU ini bergantung pada implementasinya, termasuk penguatan kapasitas lembaga penegak hukum, independensi peradilan, dan mekanisme kerjasama internasional dalam pelacakan aset lintas negara. Perlu juga ada mekanisme yang transparan dan akuntabel dalam pengelolaan aset yang dirampas. Langkah ini tidak hanya akan memperkuat transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan negara, tetapi juga berpotensi mengurangi beban rakyat dengan menunda atau bahkan menghindari kenaikan PPN.
Kenaikan pajak ini berdampak besar sehingga sekiranya pemerintah dapat mempertimbangkan kebijakan lain untuk meningkatkan pendapatan negara tanpa harus menyiksa masyarakat kelas menengah maupun bawah dengan kenaikan pajak. Apakah ini yang dimaksud dengan keberlanjutan? Jangan sampai. Dengan adanya potensi penerimaan negara sebesar 300 triliun yang bisa didapatkan melalui kantong koruptor, justru rakyat yang harus menanggung beban yang lebih berat. Keberlanjutan harus mencakup kebijakan yang berpihak pada rakyat, bukan sebaliknya.
*Opini ini tidak mewakili pandangan redaksi Eksepsi