Arief Try Dharma Jaya (Anggota Magang LPMH-UH)
Seingatku, baru kemarin aku berada di kota ini, memulai karirku sebagai mahasiswa. Aku bertemu teman-teman baru, pengajar baru, dan ruangan baru. Tapi itu tidak menjadikanku lupa orang sekitarku dahulu, termasuk dia. Aku coba menanti sebuah janji. Janji yang tak pernah kami ucapkan. Bila pun itu teringkari, maka tak ada alasan menjadikannya sebuah penyesalan.
Kurang lebih 10 tahun aku mengenalnya, dan kini dia makin dewasa. Walau hanya tiga tahun melewati hari bersamanya di bangku sekolah, tapi itu sangat berarti bagiku. Semua kenangan bersamanya menjadikanku sosok yang tegar. Kuresapi indahnya kisah percintaan itu.
Waktu itu usiaku genap 16 tahun. Saat di mana aku mulai duduk di bangku kelas 1 SMA. Hari-hari kujalani sebagai anak sekolah pada umumnya. Sudah menjadi kesenangan tersendiri bagiku, bercanda dengan teman sekelas, saling berbagi cerita, bolos mata pelajaran, hingga dimarahi guru.
Hari itu sangat cerah, berhiaskan awan putih di langit biru. Nampak cahaya matahari membentang menyinari sekitarnya. Suasana itu serasa menemani setiap langkahku siang itu, menyusuri jalan setapak samping kelas. Tiba-tiba dari kejauhan, pandanganku tertuju pada satu sosok wanita berbalut hijab biru keabu-abuan. Dia sedang asyik berdiri di tepi pertigaan jalan, dekat gerbang sekolah.
Aku bertanya dalam hati, “Apa dia Raisa? Apa mungkin dia juga sekolah di sini? Ah…, mustahil. Kalau pun dia sekolah di sini, pasti aku sudah mengetahuinya dari kemarin-kemarin. Sejenak aku tidak memikirkannya dan terus saja berjalan. Tiba-tiba terdengar suara dari kejauhan yang terus memanggilku.
Suara itu tak asing bagiku. Perlahan aku menoleh mencari asal suara itu. Sentak aku terkejut ketika melihat sosok wanita yang berbalutkan hijab biru keabu-abuan itu melambaikan tangannya. Dia terus menerus menyebut namaku. Aku terdiam terpaku, tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Cuma bisa bertanya-tanya dalam hati, “Mungkinkah itu Raisa?”
Tanpa banyak pertimbangan, segera aku menghampirinya. Lantas benar adanya, dia Raisa. “Oh Tuhan, apakah ini mimpi?” kubertanya dalam hati. Aku kegirangan dan bahagia, tetapi tetap saja aku tak mampu berucap. Serasa bibir ini kaku setelah mengetahui bahwa dia benar-benar Raisa. “Tuhan, andai dia tahu aku bahagia melihatnya,” kata batinku sambil menatap wajahnya.
“Rips, kok kamu diam?” tanya Raisa dengan nada lembut.
“Nggak kok,” jawabku sambil tersenyum padanya. “Sa, kamu sekolah di sini juga ya?” lanjut aku bertanya padanya.
“Iya. Baru saja aku pindah dan ini hari pertamaku masuk sekolah,” jawab Raisa.
Aku terus saja melontarkan berbagai pertanyaan padanya serasa aku masih belum percaya, tapi itu benar adanya. Dia Raisa yang aku kenal 10 tahun lalu. “Wah, sekarang kita satu sekolahan. Pasti seru deh kalau kamu ada di sekolah ini,” ucapku sambil sesekali tertawa.
Raisa ikut tertawa sambil berkata, “Kamu ada-ada saja,” balasnya.
“Oh iya Sa, kamu mau nggak pulang bareng aku?” tawarku sambil berharap dalam hati.
“Maaf ya. Mungkin lain kali. Papa aku udah janji mau menjemputku usai pulang kantor,” jawab Raisa sambil memegang tanganku.
“Ok. Nggak apa kok. Kalau gitu aku pulang duluan ya. Sampai jumpa besok di sekolah barumu,” ucapku sambil bergegas beranjak pergi mengendarai motor.
Raisa langsung melambaikan tangannya dan mengatakan, “Hati-hati di jalan. Sampai jumpa besok”.
Sejak saat itu, hari-hariku di sekolah semakin indah dengan hadirnya Raisa di sampingku. Kami semakin dekat satu sama lain. Dia jadi penyemangatku menjalani setiap aktivitas. Bahkan tak jarang, kami menghabiskan waktu bersama, entah di sekolah atau di luar sekolah.
Tak terasa kini, kami telah beranjak ke kelas 3. Artinya, perpisahan itu tidak akan lama lagi. Begitu banyak kenangan yang telah kami ukir. Tiga tahun bersama, rasanya terlalu berat ketika harus mengucapkan kata perpisahan. “Sa, tak terasa ya kita sudah kelas 3,” ucapku sambil menatapnya.
“Aku takut,” balas Raisa dengan tutur aneh. “
“Kenapa harus takut? Bukannya senang, malah takut. Kan sebentar lagi kita akan mengakhiri masa SMA,” jawabku pada Raisa.
“Iya. Aku tahu. Namun ketika mengakhiri masa SMA, saat itulah aku takut. Aku takut berpisah sama kamu,” ucap Raisa sambil menundukan kepalanya.
“Memang siapa yang mau berpisah? Aku selalu ada buat kamu kok. Sudah, jangan dipikirkan lagi. Kita akan selalu bersama. Aku janji,” jawabku pada Raisa sambil memegang tangannya, bermaksud menenangkan dia saat itu.
Aku sadar perpisahan itu nyata adanya. Tapi aku harus terlihat tegar di mata Raisa. Kesedihan hanya akan membuatku merasa berat untuk meninggalkannya. Tentang semua yang telah kami lalui selama ini, tak mudah begitu saja melupakannya. Karenanyalah hidupku jauh lebih indah
Hari yang tidak dinanti-nanti akhirnya datang juga. Tepat pukul 12:00 siang, pihak sekolah membagikan surat yang di dalamnya tertuliskan kata lulus atau tidak. Tapi bukan surat itu yang aku harapkan. Yang kuharapkan hanya Raisa. Hari semakin siang, tapi Raisa tak kunjung datang. Aku terus saja menunggu dan menunggu. Selang beberapa menit kemudian, dari kejauhan aku melihat ayah Raisa berjalan menghampiriku.
“Nak, pembagian undangan kelulusan udah selesai ya?” tanya ayah Raisa sambil sesekali melirik ke ruang guru.
“Iya. Sudah. Dari tadi Om. Oh iya, hampir lupa. Ini surat lulusan Raisa, Om,” jawabku sambil memberikan suratnya.
“Oh ini yang saya cari. Terima kasih ya, sudah diambilin suratnya,” ucap ayah Raisa sambil menepuk pundakku.
“Iya Om. Kenapa bukan Raisa sendiri yang datang ambil suratnya? Memang Raisa di mana Om?” tanyaku pada ayah Raisa.
“Loh, memang Raisa nggak bilang sebelumnya kalau dia mau berangkat ke Jogja?” ayah Raisa bertanya balik.
“Nggak Om,” jawabku dengan nada sumbang.
“Ya. Sebenarnya Raisa ingin sekali kuliah bareng kamu. Tapi, saya bulan ini pindah tugas di jogja. Mau tidak mau, Raisa harus ikut ke jogja,” jelas ayah Raisa.
“Syukurlah Om. Salam ya buat Raisa kalau udah tiba di Jogja. Aku pulang duluan ya Om,” balasku.
Sesegera mungkin aku meninggalkan ruang guru saat itu. Aku tak tahu harus melangkah ke mana. Aku terus bertanya-tanya dalam hati, “Secepat itukah dia pergi, tanpa sepatah kata pun? Apa ada yang salah dengan diriku? Haruskah aku membencinya sekarang? Haruskah aku kecewa karena kepergiannya?” Tiba-tiba langkahku terhenti ketika aku melihat ke atas. Awan itu terlihat indah sama seperti awan di tiga tahun yang lalu, saat hari pertama aku bertemu Raisa.
Sekarang aku menyadari, inilah akhir cerita indah bersamanya. Kami benar-benar berpisah. Akhirnya aku di sini, menjalani hari sendiri tanpa dirinya di sampingku. Aku bertahan tanpa tingkahnya, tanpa kasih sayangnya, dan tanpa perhatiannya. Andai aku bisa memutar waktu, ada satu hal yang inginku kukatakan padanya, “Aku sayang kamu!”