web analytics
header

Cerpen: Harapan di Ujung Malam 2

FOTOiui

Doakanlah aku para penikmat tulisan ini, jika kalian senang dengan tulisanku maka doakanlah aku juga untuk selamat bersamamu di hari kemudian, namun jika kau membenci tulisan ini tetaplah doakan aku meski sebagai orang yang mengajarkanmu tentang arti dari keburukan.

 

Sejak perdebatan dengan Win malam itu, tak banyak yang berubah dengan kisahku, malah yang ada dia makin cuek saja. Anehnya, sikap cueknya itulah yang makin membuat aku jatuh hati padanya. 

Kudengar kabar, ramadhan tahun ini ia akan kembali dari tempatnya melanjutkan pendidikan. Ingin rasanya aku berteriak mengabarkan kepada bumi senangku mendengar dia akan kembali ke kota ini, kota dimana aku dan dirinya pertama kali dipertemukan.

 

***

Dia tiba, agenda buka puasa  bersama teman-teman semasa sekolah dulu menjadi salah satu awal pertemuanku kembali dengannya, setelah sekian lama aku hanya menjumpainya melalui khayal dan angan yang kerap disapa imajinasi.

Tak ada yang spesial saat itu, senyum manis tipis yang mengembang di bibirnya menyambut tatapan mataku padanya. Rasanya kali ini rasa itu semakin menjadi-jadi. Detik itu, kupejamkan sejenak mata, lalu bermohon kepadaNya untuk kembali menghentikan waktu seperti Harapan di ujung Malam yang pertama, paling tidak dengan itu aku bisa menikmati senyumnya lebih lama. Harapan di ujung malam benar-benar telah kembali dan menjadi nyata di hadapanku.

“Hei, kau kenapa ?” Tanya Win menyadarkan aku dari lamunan

“Tak apa” sergahku

“Sudah sana, ajak dia bicara. Kau pasti masih pikir dia kan?”

“Biarlah dulu, mungkin dia masih mau ngumpul dengan yang lain”.

lebih kupilih damai dalam diam. Rasanya semua benar-benar nyata. Wajah, senyuman dan dirinya benar-benar terlihat lebih nyata dari segalanya. Kulihat dia tampil seperti biasanya, sederhana namun tetap anggun. Itulah kata yang selalu pas untuk menggambarkan dia.

 

Win mulai menampakkan kejengkelannya pada sikapku.

“Janganlah kau siksa dirimu bro, Tuhan tak suka”

“aku masih canggung, rasanya mati kutu berhadapan dengannya”

“Dia bukan anak-anak lagi. pasti ngerti”. Balas Win

Memang benar kata Win, dia sudah paham dan bukan anak-anak lagi. Lalu kenapa aku harus canggung, bukankah tugas kita hanyalah menjalankan takdir yang Ia berikan dengan senang hati?. Meski sulit rasanya menjadi senang sebab dari awal aku telah ditakdirkan untuk menderita dalam kisah ini.

 

“lupakan sajalah dia kawan”

“Siapa kau?”

“Buat apa kau terus memikirkannya, lihat dia, tak sekali pun melirik ke arahmu”

“Beraninya betul kau menyuruhku, aku bahkan tak tahu siapa kau ini”

“Kau tak malu berkali-kali dianggap tak pernah ada?“

“Tidak” Jawabku sengit.

“Dasar manusia keras kepala”

“Ini soal perasaan, tahu apa Kau tentang itu?”

“Inilah manusia, selalu merasa dialah yang paling hebat”

“Kau belum menjawab pertanyaanku, Siapa kau?”

“Percuma, meski kuberi tahu kau tetap saja tak mengenalku”

Malam itu hadir sosok aneh menghampiriku. Tak dapat kuperhatikan jelas rautnya. Rasanya dia berada di kejauhan sekaligus berdiri di sampingku, yang jelas aku merasa malam itu dia hadir untuk menjauhkanku dengannya. dengannya yang aku harapkan.

 

“Apakah kau kiriman Tuhan?”

“Semuanya dari Tuhan bukan?”

“Jika memang kau kiriman dariNya, tampaknya kali ini Ia salah kirim”

“Salah kirim?”

“Ia, Tuhan seharusnya mengirim makhluk yang mengerti perasaanku”

“Siapa bilang aku tak mengerti?”

“Jika kau mengerti, tentu kau tak menyuruhku menjauhinya bukan?”

“Inilah manusia, selalu saja merasa paling tahu segalanya”

Tak banyak ucapan yang keluar malam itu, meski ramai ditemani teman lama namun aku lebih memilih mendebat makhluk yang aku anggap kiriman Tuhan ini. Seenaknya betul dia menyuruhku menjauhi seorang yang telah lama aku perjuangkan. Aku tak akan pernah menerimanya. Apapun dia, jika mengusikku dengannya akan aku lawan.  

 

“Kenapa kau ikut campur dalam persoalanku?”

“Aku tak pernah minta itu, DIA hanya ingin aku mengunjungimu”

“Kembalilah, tak usah repot-repot, biar kunikmati takdirNYA dengan senang hati, lagi pula aku masih nyaman dengan kondisi ini”

“Siapa bilang ini takdirNYA?”

“Ciptaan siapa kau ini, bahkan takdir dariNYA pun tak kau percaya”

“Kau.., kau seenaknya saja menuduh. Tahu apa kau tentangNYA?”

“Memang Tuhan yang mengatur takdir kan?”

“Mana mungkin DIA menakdirkan rasa sayang kepada seseorang melebihi rasa sayang  terhadapNYA?”

Aku mencoba mencerna apa yang diucapkan makhluk ini barusan, tak ada yang salah dalam argumennya. Apakah aku salah menilai Tuhan pembuat skenario ini semua? Aku benar-benar bingung.

 

“Lalu siapa yang menghadirkan rasa ini?,” tanyaku

“Kau masih belum paham?”

“Aku ingin tahu, jika datang untukku tentu kau tahu jawabannya kan?” tantangku

“sesuatu yang ada di dunia ini diciptakan berpasang-pasangan. Begitu pula pertanyaan dan jawaban. Tetapi untuk menjadikannya sempurna biar waktu yang berbicara. Kau akan tahu,” Jawabnya

Malam itu aku kembali ke rumah dengan segala kegelisahan yang tak dapat kujawab, apakah rasaku pada Dibu hanya obsesiku semata yang telah melebihi kadar komposisi standar sampai-sampai aku memfitnah Tuhan dengan mengatakan ini adalah takdir dariNYA? Jika demikian, maka celakalah aku.

 

Kuambil pena dan kertas lalu kutuliskan kegelisahanku padaNYA, rasanya cara ini yang paling pas untuk meluapkan segala kegelisahanku. Jika tak ada jawaban setidaknya telah kuabadikan kegelisahanku lewat tulisan. Aku berharap, sekali ini saja DIA meluangkan waktuNYA untuk hadir menemuiku di persimpangan jalan kebingunganku.

“Tuhan, Izinkanlah aku mengeluh malam ini, setelah semua yang aku lalui, setelah semua yang kau berikan kepadaku, Terima kasih. Tetapi setelah aku mengatakan terima kasih bukan berarti aku tak jadi mengeluh kan? Tahukah Kau Tuhan, hampir setiap hari nama-MU terdengar dan diagung-agungkan di seluruh penjuru dunia, anehnya meski demikian tak pernah kutemui Kau di manapun meski sesaat. Apakah Kau mendengar kami Tuhan? Dimanakah diriMU sebanarnya berada. Apakah Kau benar-benar ada?

Tuhan setelah apa yang kulalui hingga malam ini, setelah Kau mempertemukanku dengan Dibu, belum selesai kisahku dengannya Kau kembali mempertemukan aku dengan sosok yang baru saja aku sapa dengan nada kirimanMU. Apa Kau menghindariku karena tak mampu memberi akhir yang bahagia di ujung harapanku sampai-sampai Kau harus mengirim sesosok makhluk aneh itu? Kau yang Maha Pencipta dan Kau yang Maha Besar. Apakah karena kebesaranMU sampai Kau sampai mengabaikan ciptaanMU yang kecil ini? Ibarat penulis novel yang menciptakan tokoh utama lalu mati. Seperti itukah Kau Tuhan? Setidak bertanggungjawab itukah DiriMU? Aku berusaha meyakinkan diri ini bahwa Kau tak begitu, tetapi aku juga tak tahu cara membuktikan bahwa itu salah. Biarkan aku mengeluh padamu hari ini Tuhan. Aku lelah. KirimanMU baru saja menyadarkanku bahwa Kaulah Maha Mengetahui itu meski kirimanMU belum bisa menyadarkan bahwa Kau adalah Tuhan yang benar-benar aku anggap Tuhan. Yang seharusnya bisa membantu hambanya keluar dari kegelisahan, bukan Tuhan yang malah meninggalkan hambanya di tengah jalan. Apakah aku salah memilihmu menjadi Tuhanku? Balaslah pesan ini Tuhan..

 

Kubenci apapun malam itu, termasuk diriku yang tak mampu menjawab perasaan apa sebenarnya yang aku pendam terhadap Dibu, dari Tuhankah atau hanya obsesiku yang belum terpenuhi sampai-sampai aku terus saja berjuang memperjuangkan hingga diri ini lupa rasanya lelah.

Kuperhatikan jam dinding dipojok kamar. Aku penasaran dengannya. Sering aku bertanya, tak pernahka dia merasa lelah memberitahukan waktu kepada semuanya sedang tak banyak yang memperhatikan dirinya?, lagipula waktu yang dia perlihatkan sama saja seperti kemarin kan? Mungkin dia lelah tetapi memililih untuk diam karena mungkin saja dia juga percaya bahwa ini adalah takdir Tuhan. Mungkin.

 

“23.15” katanya saat itu.

 

Menenangkan diri, selalu membuat siapapun berkeinginan menemui sang pencipta. Kubulatkan tekad bahwa aku harus menemuiNYA. Menemui DIA yang masih aku anggap sebagai Tuhan meski rasa ini mulai ragu. Mungkin saja dengan begitu, DIA tak akan menghindar lagi dariku. Aku berjanji, Saat aku menemukanNYA, akan kututup semua pintu-pintu singgasanaNYA agar Ia tak dapat lari lagi dariku. Akan aku sampaikan semua keluh kesahku sampai dia dapat menemukan solusi untukku.

Tuhan, benar kan rasa ini pemberianMU?, janganlah malu mengakuinya Tuhan, aku tak akan menyalahkanMU, Aku hanya ingin menjawab argumen sesosok mahkluk yang mengatasnamakan dirinya kirimanMU. Lagipula Rasanya aku sudah mencapai  titik jenuh. Semoga saja Kau hadir malam ini, menemuiku meski sekedar untuk menjawab pertanyaanku. Jika Kau terus saja mengindariku, maka maaf saja, mungkin saja suatu saat nanti Kau tak akan lagi melihatku sebagai hambaMU. Yah, mungkin aku akan meninggalkan-MU.

 

“Berani betul kau mengancam Tuhan”

“Bukankah DIA memang tak pernah hadir untukku? Aku hanya ingin kali ini DIA  membantuku”

“Siapa bilang DIA tidak pernah menghampirimu?”

“Jangan menghakimiku, kau hanya ciptaanNYA yang tak diberi kesempatan untuk memiliki perasaan bukan?”

“Lancang betul kau, sudah mengancam Tuhan sekarang kau menuduhku tak memiliki perasaan”

“Memang benar kan?,” tanyaku mengejek

“Rasa yang DIA berikan padaku sesungguhnya lebih besar wahai anak muda. DIA memberiku rasa cinta dan taat hanya kepadanya secara otomatis, Sedang kalian manusia, harus bersusah payah terlebih dahulu untuk bisa mencintai dan taat kepadaNYA sedang tujuan kita sama bukan? MencintaiNYA.”

“Siapa kau ini sebenarnya? Berhentilah menghakimiku, Aku hanya mau DIA hadir menjawab kegelisahanku”

“DIA telah hadir, bahkan lebih dekat dari urat Nadimu sendiri”

“Aku tak pernah merasakan hadirNYA”

“Bagaimana mungkin kau bisa mengatakan tak merasakanNYA sedang kau tak pernah benar-benar merasakanNYA?”

Sekali lagi sosok itu datang mendebatku dan lagi-lagi aku dibuat harus memutar otak oleh argumennya. Benarkah aku tak pernah benar-benar merasakanNYA? Tuhan, berilah aku petunjuk tentang kegelisahanku, bantulah aku.

 

Aku bingung kemudian linglung, tak mengerti kemana lagi aku harus mengadu sekarang karena DIA yang kuanggap Tuhan mungkin tak sedetik pun punya waktu untuk mengingatku. Kuhampiri cermin di dinding kamar, kutatapnya dalam-dalam, kucoba melangkah lebih jauh hingga terlihat sesosok makhluk tanpa raut bahagia sedikitpun. melangkah lebih dalam hingga kutemukan debu-debu jalanan bertebaran, lebih dalam lagi hingga aku merasa berada di tempat dengan pencahayaan yang redup, kering di sekelilingnya menandakan tak ada kehidupan di sini atau mungkin saja baru  terjadi bencana besar disini. Benar-benar tempat yang menyedihkan.  

 

“Celakalah aku!, Kau benar-benar ada disini, Kau benar-benar di sini Tuhan” Kataku panik

Tiba-tiba aku tersadar, tempat redup itu adalah bola mataku sendiri, tak kutemui Tuhan di sana. Jika tak berada disana berarti Tuhan benar-benar mendengarkan do’aku tadi dan dia keluar dari tempat itu untuk menghampiriku. Bukankah Ia tak bisa menghampiriku jika tetap di sana?

Tak kusia-siakan kesempatan itu, aku bergegas mempersiapkan segala sesuatu untuk aku menghadapNYA kali ini. Berharap mendapat jawaban tentang gelisahku, apakah ini takdirnya, apakah aku berhenti sampai di sini atau terus berjuang.  Tak kulewatkan kesempatan ini, maka segera ku tutup semua lubang yang ada di ruangan itu. Takkan kubiarkan Tuhan menghindar lagi dari keluhanku. Meski demikian, kali ini aku akan menghadapnya dengan sopan, layaknya seorang hamba kepada Tuhannya.

Ya Tuhan hamba mohon agar Kau memberi petunjuk mana yg baik menurut Engkau dan hamba memohon engkau memberi kepastian dengan ketentuanMu. Hamba memohon dengan kemurahanMu yang besar agung. Karena sesungguhnya Engkaulah yg berkuasa, sedang hamba tidak tahu dan Engkaulah yang amat mengetahui segala sesuatu yg masih tersembunyi. Ya Tuhan, jika persoalan ini baik bagi hamba, dalam agama dan penghidupan hamba dan baik pula akibatnya, maka berikanlah perkara ini kepada hamba, dan mudahkanlah ia bagi hamba, kemudian berilah keberkahan didalamnya. Sedang jika ini tidak baik bagi hamba, bagi agama  dan penghidupan hamba, dan tidak baik akibatnya bagi hamba, maka jauhkanlah hal ini dan jauhkanlah hamba dari padanya. Dan berilah kebaikan dimana saja hamba berada, kemudian jadikanlah hamba orang yg rela atas anugerah mu. Aamiin”

 

***

Lega rasanya mengetahui Tuhan menghampiriku malam itu meski harus dilalui dengan ancaman yang sebenarnya tak perlu aku sampaikan. Mungkin ancamanku malam itu berhasil mungkin juga Tuhan sudah kasihan melihatku merengek atau mungkin juga memang Tuhan sudah menakdirkan diriNYA menghampiriku malam itu. Sejak itu aku punya pekerjaan baru, menunggu Tuhan datang kembali menjawab kegelisahanku. Kali ini kupikir tak usah buru-buru, kubiarkan diriNYA memikirkan terlebih dahulu apa yang terbaik untukku.

 

“Bagaimana kabarmu  anak muda?”

“Hei kau, aku telah lama menunggumu”

“Ada apa?”

“Maafkan aku tak mendengarmu, kau memang benar-benar kirimanNYA”

“Bagaimana kau bisa sebegitu yakin?”

“Bukankah kau sengaja mengaduk-aduk pikiranku agar aku memasrahkan semua persoalanku hanya padaNya?”

“Apakah kau sudah mengutarakan semuanya?”

“Iya, aku sudah mengutarakannya, sekarang aku hanya tinggal menunggu jawabanNYA. Apapun darinya itulah yang terbaik untukku”

“Rasanya kau sudah mengerti dan tugasku kali ini sudah usai”

“Baiklah, Terima kasih dan semoga kau tak melupakanku”

“Melupakanmu? Aku bahkan tak pernah pergi darimu”

Sudut sudut bibir ini menarik diri mendengar ucapannya. Dugaanku selama ini benar. Dia bukanlah benar-benar kirimanNYA. Aku sudah merasa aneh kenapa dia tak pernah menjawab pertanyaan saat aku bertanya tentang siapa dirinya? Bukankah kiriman Tuhan selalu mengakui kalo dia itu adalah kirimanNYA? Itu karena dia adalah aku, dia yang aku tuduh sebagai kirimanNYA sebenarnya adalah sesosok mahkluk yang kerap disapa ‘kata hati’. Ya, aku baru saja berdebat dengan diriku sendiri.  Terima kasih diriku.

 

“siapa yang kau maksud ini?”

 

Selasa, 00.51 Wita. HandPhoneku berbunyi menandakan ada pesan masuk. Ini pesan darinya. Padahal sejak dia kembali ke kota rantaunya untuk beberapa waktu sudah kupikirkan untuk memberinya kado ulang tahun yang tak akan dia lupa sepanjang hidupnya. Bahkan dalam anganku dia akan mengucapkan beribu-ribu terima kasih kepadaku karena hari itu kurancang tulisan ini untuk mengakhiri perjuanganku sesuai kemauannya yang kerap diucapkan padaku. Namun lagi-lagi Tuhan memberiku kejutan. Mungkin saja kau tak mengerti tetapi baru saja Tuhan menggerakkan jarimu mengirimkan pesan singkat kepadaku untuk menjawab pertanyaanku.

 

“Silahkan cek hpmu, mungkin pesan itu masih ada”

Pesan Tuhan darimu telah menjawab persoalanku. Terima kasih Tuhan telah menjawab pertanyaanku dan maaf untukmu belum bisa memberi kado terindah itu di hari bahagiamu. Selamat mengulang tahun kelahiran dan semoga diberi umur yang berkah.

 

“Satu hal yang menjadi pelajaran lagi kali ini adalah hidup bukan hanya soal memperjuangkan, tetapi juga tentang dihadapkan pada pilihan mempertahankan atau melepaskan. Saat kau merasa tak lagi paham pada pilihan itu, ceritakan semuanya kepada Tuhan-Mu. Jika kau tak sanggup memilih setidaknya kau punya yang Tuhan yang Maha Sanggup untuk menunjukkan jalan keluar di setiap masalahmu karena Dia yang dianggap Tuhan tak akan pernah jauh dari hambanya. Meski kita membicarakan Tuhan dalam persepsi yang berbeda-beda, yakin saja bahwa suatu saat kita hanya perlu memperbanyak rasa syukur. Berterima kasih atas apa yang telah  kita terima. Meski yang ditunggu tak juga hadir. Meski yang diperjuangkan tak pernah sadar. Tetapi percayalah inilah skenarionya. Mungkin suatu saat dia yang kita perjuangkan akan tahu betapa ‘indahnya’ perjuangan yang kita lalui. Jika sampai hari ini kita masih berjuang, jangan terlalu khawatir sebab tak ada yang salah dalam mengusahakan sesuatu yang kita anggap benar. Mari menikmati karena wahuwa aliimun bidzatihis shudur.

(Rst)

Related posts:

Pemangsa Peradaban

Penulis: Verlyn Thesman (Pengurus LPMH-UH Periode 2023/2024) Mau seperti apakah kaumku? Nyaman sudah tak pernah kami alami Tertutup tak tertutup

Temu

Penulis: Wriftsah Qalbiah (Pengurus LPMH-UH Periode 2023/2024) Semilir rindu menaungi langkahku, Membawaku pada ruang sepi yang menanti sebuah temu. Bayangmu

Menumpang Tanya

Oleh: Athifah Putri Fidar Di atas bus yang berguncang lembut,kita berdiri bersebelahan,namun dengan debaran jantung yang tak seiramseperti dua ritme