A. Muh. Ikhsan WR (Wakil Koordinator Divisi Jaringan Kerja LPMH-UH periode 2016-2017)
Wanita dalam Islam
Dalam pandangan Islam wanita memiliki banyak sekali keistimewaan, saking banyaknya lebih dari empat puluh hadis yang mencatat dalam kumpulan riwayat Bukhari dan Muslim menuliskan tentang keistimewaan wanita. Bahkan dua surah dalam Al-quran menjelaskan panjang lebar tentang keutamaan wanita, yaitu Surah An-Nisa dan Surah Maryam. Keistimewaan wanita ini terlihat dari salah satu hadis Rasulullah Shalallaahu ‘alaihi wasallam yang menyuruh sahabatnya untuk mendahulukan ibunya tiga kali kemudian ayahnya. Hadis tersebut berbunyi: Dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu, beliau berkata, “Seseorang datang kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, kepada siapakah aku harus berbakti pertama kali?’ Nabi shalallaahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Ibumu!’ Dan orang tersebut kembali bertanya, ‘Kemudian siapa lagi?’ Nabi shalallaahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Ibumu!’ Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi?’ Beliau menjawab, ‘Ibumu.’ Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi,’ Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Kemudian ayahmu.’” (H.R. Bukhari no. 5971 dan Muslim no. 2548). Bahkan dalam satu hadisnya Rasulullah pernah menjelaskan bahwa wanita adalah tiang suatu negara. Jika kalian ingin melihat baik atau buruknya suatu negara itu maka lihatlah wanitanya, jika wanitanya baik maka baik pulalah negara itu dan jika tidak maka akan terjadi sebaliknya. Hal ini menujukkan bahwa wanita memilki peranan penting dalam pembentukan mental suatu negara atau wilayah. Hadis di atas adalah sedikit dari sekian banyak hadis yang memuliakan kedudukan wanita di atas kaum laki-laki.
Wanita dan Kepemimpinan
Dalam pandangan sekarang ini banyak orang, baik warga muslim maupun non-muslim yang beranggapan bahwa Islam melakukan diskriminasi terhadap wanita bila menyangkut kepemimpinan. Hal ini dilandasi oleh berbagai hadis yang melarang wanita untuk memegang kepemimpinan, diantaranya: Dari Utsman bin Haitsam dari Auf dari Hasan dari Abi Bakrah berkata: Allah memberikan manfaat kepadaku dengan sebuah kalimat yang aku dengar dari Rasulullah SAW pada hari Perang Jamal, setelah aku hampir membenarkan mereka (Ashabul Jamal) dan berperang bersama mereka, ketika sampai kabar kepada Rasulullah SAW bahwa bangsa Persia mengangkat Putri Kisra sebagai pemimpin, Beliau bersabda: Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan (pemerintahan) mereka kepada seorang wanita.
Dari Muhammad bin Mutsanna dari Khalid bin Harits dari Humaid dari Hasan dari Abi Bakrah berkata: Allah menjagaku dengan sesuatu yang kudengar dari Rasulullah SAW ketika kehancuran Kisra, beliau bersabda: Siapa yang menggantikannya? Mereka menjawab: Anak perempuannya. Nabi SAW bersabda: Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusannnya kepada seorang wanita.
Dua hadis di ataslah yang dijadikan rujukan untuk menyerang umat atas dasar hak asasi manusia. Sementara itu para ulama menjelaskan hal tersebut dalam tiga pandangan yaitu pendapat pertama melihat wanita tidak mempunyai hak sama sekali dalam berpolitik. Diantara dalil yang dipakai untuk menguatkan pendapat mereka adalah adanya ketentuan laki-laki adalah pemimpin (Surah Al-Nisa 32 dan 34, Surah Al-Baqarah ayat 228), larangan wanita untuk keluar rumah (Surah Al-Ahzab ayat 33 dan 53), Nash Hadis yang mengatakan wanita kurang akal dan agama (H.R. Bukhari Muslim), Hadis Abu Bakrah, ketika Rasulullah mengetahui kaum Persia dipimpin oleh seorang wanita, Rasulullah bersabda: “Tidak akan bahagia suatu kaum yang menyerahkan urusannya kepada wanita” (H.R Bukhari Muslim).
Pendapat kedua dari sebagian besar ulama klasik dan kontemporer memandang wanita memiliki hak berpolitik yang sama seperti laki-laki kecuali memegang pucuk pemerintahan (presiden), dengan alasan bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam Islam (Surah Al-Baqarah ayat 228, Surah Al-Hujurat ayat 13, Surah Al-Taubah ayat 71 dan Surah Al-Nur ayat 30-31). Alasan pendapat yang kedua bahwasanya wanita kapabel untuk berpartisipasi dalam wilayah politik, seperti bukti sejarah tentang suksesnya Ratu Bilqis yang memerintahkan Saba (Surah Al-Naml ayat 32-34). Rasulullah juga mengakui suaka politik dari kaum wanita, seperti Ummu Hani dalam peristiwa Fath Mekkah, Rasulullah juga menerima baiat kaum wanita. Juga penyebaran dakwah Islam dengan meriwayatkan hadis yang dilakukan juga oleh kaum muslimah seperti Aisyah radhiyallahu ‘anha.
Pendapat ketiga memandang wanita berhak berpolitik seperti laki-laki termasuk memegang pucuk pemerintahan. Kelompok yang sebagian besar ulama kontemporer ini menginterpretasikan hadis Abu Bakrah: “(Tidak akan bahagia suatu kaum yang menyerahkan urusannya kepada wanita)” khusus ditujukan untuk kaum Persia yang saat itu dipimpin oleh seorang wanita, bukan dipukul rata untuk semua kaum. Juga mengambil dalil dari kisah sukses Ratu Bilqis yang diceritakan dalam Al-Quran (Surah Al-Naml ayat 32-34), serta realita suksesnya pemimpin wanita seperti: Margareth Teacher, Indira Gandhi, Syajaratuddur yang menghalau tentara salib masuk Mesir, bahkan kerajaan Aceh pernah dipimpin oleh wanita. Mereka berpendapat juga bahwasanya “wilayatul ‘udhma” dulu bermakna pemimpin tertinggi dalam semua lini baik kenegaraan dan agama seperti menjadi imam salat dan khatib. Namun setelah tumbang Khilafah Utsmaniyyah, sistem kenegaraan mengalami pergeseran. Ada pembagian tugas yang membantu wali, seperti parlemen, menteri-menteri, sehingga wanita juga boleh menduduki posisi tertinggi karena tidak ada tuntutan untuk menjadi imam salat ataupun khatib.
Kepemimpinan dalam Islam
Pada masa kepemimpinan “khalifah” pemimpin bukan saja dia yang memegang pucuk pemerintahan akan tetapi mereka yang juga menjadi panglima tertinggi dalam sebuah peperangan. Jadi sangat tidak masuk akal apabila seorang wanita berada digaris terdepan untuk melindungi kaum laki-laki. Bukankah ini sudah menjadi fitrah bagi laki-laki dan wanita di mana Allah telah membagi sifat maskulin/keperkasaan kepada laki-laki dan sifat feminim/lemah lembut kepada perempuan. Itulah kenapa Rasulullah mengangkat laki-laki menjadi pemimpin dalam suatu negara atau pada saat berperang karena yang dibutuhkan memang ketegasan dan keperkasaan. Sementara wanita diangkat menjadi pemimpin atas rumah suaminya dan anak-anaknya. Hal ini dijelaskan dalam hadis yang berbunyi: Dari ‘Abdan dari Abdullah dari Musa bin ‘Uqbah dari Nafi’ dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma dari Nabi SAW bersabda: Setiap kamu adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas kepemimpinannya itu. Kepala negara adalah pemimpin, laki-laki adalah pemimpin atas anggota keluarganya, wanita adalah pemimpin atas rumah suaminya dan anak-anaknya, maka setiap kamu adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas kepemimpinanmu itu.
Memang dalam mengurus suami dan anak-anak dibutuhkan kelemahan, kelembutan dan kesabaran, karena itulah Allah memilih wanita untuk mengandung, bukan laki-laki. Dan bukankah adil itu adalah ketika seseorang menempatkan sesuatu pada tempatnya, ketika seseorang memberi hak sesuai kemampuan dan tenggungjawabnya. Sungguh maha adil Allah dengan segala ketetapannya.
Penutup
Jadi wanita itu dimuliakan melalui suami dan anak-anaknya. Sementara laki-laki dimuliakan atas sebagaimana dia bisa menafkahi dan melindungi keluarganya. Dan bukanlah bentuk diskriminasi jika wanita di tempatkan “di belakang” sementara laki-laki berada “di depan” karena haram tertumpah darah wanita sebelum darah laki-laki dalam lingkungan keluarga atau masyarakatnya lebih dulu tertumpah.