Oleh: Afandi Haris Raharjo
P
|
endidikan merupakan salah satu prioritas utama yang penting untuk dipenuhi oleh setiap orang. Mulai dari pendidikan dasar, sampai dengan pendidikan perguruan tinggi. Jangka waktu pendidikan tersebut harus dapat dilalui guna menciptakan kader-kader yang bekualitas nantinya. Walaupun demikian, pendidikan dengan jangka waktu yang demikian bukan merupakan hal wajib yang ditetapkan oleh pihak pemerintah. Pemerintah hanya mewajibkan pendidikan selama sembilan tahun bagi masyarakatnya. Hal tersebut tentunya tidak lepas dari program pemerintah yang menghimbau seluruh warga negaranya untuk setidaknya mengikuti wajib belajar sembilan tahun. Program itu diterapkan tidak lain bertujuan untuk menghindarkan masyarakat Indonesia dari penyakit buta huruf.
Namun di tengah kegencaran pemerintah menyuarakan kampanye tentang pendidikan, ternyata masih banyak anak-anak yang tidak dapat mencicipi indahnya pendidikan karena terkendala masalah dana. Hal ini tentu saja menjadi masalah klasik yang tidak pernah teratasi sampai sekarang. Banyak anak-anak yang terpaksa putus sekolah karena tidak mampu membayar biaya sekolah yang tergolong mahal. Mereka terpaksa hanya dapat memandang dari sisi-sisi jendela untuk sepintas merasakan nikmatnya pendidikan. Hal yang tentu saja tidak boleh terjadi jika negara ini mempunyai banyak anggaran dana di bidang pendidikan.
Banyak seruan-seruan tentang pendidikan gratis yang menggema di telinga para anak-anak, namun entah mengapa mereka tidak jua dapat meraakan hal tersebut. Atau mungkin itu hanyalah sebatas kicauan para pejabat tinggi negara untuk mempercantik diri mereka di hadapan para publik? Sangat susah untuk sekadar hanya di terawang.
Selain masalah klasik tersebut, masalah sarana dan prasarana sekolah sering menjadi perbincangan hangat di masyarakat. Yang menjadi topik pembicaraanya yaitu tentang fasilitas sekolah yang dianggap belum memenuhi standar . Kejadian itu sering menimpa sekolah-sekolah yang berada di perkampungan jauh yang sulit tersentuh oleh tangan-tangan para pemerintah pusat. Sangat menyedihkan apabila kita melihat keadaan bangunan sekolah-sekolah tersebut. Mulai dari kondisi bangunan ruangan yang hampir rubuh sampai dengan perangkat-perangkat sekolah yang apa adanya. Misalnya salah satu sekolah yang berada di Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara. Sekolah ini bak sebuah bangunan yang tidak terlihat seperti sekolah pada umumnya. Keadaan ini tentu saja menyebakan kualitas pendidikan di Indonesia semakin menurun.
Namun dari sekian banyak problematika yang terjadi di belantika pendidikan Indonesia, para pelajar-pelajar yang menurut kami tangguh ini tidak menganggap masalah tersebut sebagai suatu kendala besar. Mereka tetap mempunyai semangat walaupun tidak di lengkapi dengan sarana yang baik. Terkadang mereka juga harus menempuh perjalanan yang lumayan jauh dengan jalan kaki untuk sampai ke sekolah. Namun, lagi-lagi hal tersebut tidak menjadi masalah bagi mereka. Walaupun tergolong susah , mereka tetap berjuang untuk mencapai cita-cita yang telah mereka ukir sewaktu kecil.
Menyimak sebagaimana yang tertulis dalam Pasal 28C Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, yang menyatakan bahwa “setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapatkan pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia,” maka sudah sepantasnya para masyarakat kurang mampu dapat merasakan pendidikan. Dimana sebenarnya pengaplikasian dari pasal tersebut? Menarik untuk dibuktikan.
Melihat realita pendidikan yang terjadi di negara Indonesia sampai sekarng, tentu saja membuat kita selalu saja berada di dalam rasa keprihatinan. Sudah lebih dari 67 tahun negara kita terlepas dari penguasaan para penjajah, namun keadaan pendidikan di bangsa ini masih saja memprihatinkan. Pendidikan standar hanya dapat disentuh oleh mereka yang mampu. Dan semakin menenggelamkan mereka yang tidak mampu. Tidak ada keseimbangan suapan antara si kaya dan si miskin. Yang kaya semakin terbit, dan yang miskin semakin terbenam. Hal inti tentu saja sangat memprihatinkan. Ini tidak boleh menjadi sebuah kebudayaan di Indonesia, yang sangat sulit diubah apabila terus berakar dan melekat pada lingkup pendidikan kita.
Dibalik itu semua, hal ini bukanlah semata-mata merupakan kesalahan dari pemerintah itu sendiri. Banyak sebenarnya faktor-faktor yang disebabkan oleh para masyarakatnya. Kemalasan dan sifat acuh tak acuh sering menyebabkan masyarakat kita tidak peduli akan pentingnya pendidikan. Mereka seolah menganggap bahwa pendidikan itu tidak penting, sehingga lebih senang melakukan pekerjaan lain yang menurut mereka lebih bermanfaat bagi diri sendiri. Bahkan juga sering menerapakan pola kesenangan jangka pendek dari pada memikirkan nasibnya untuk di masa yang akan datang.
Disini peran orang tua sangat diperlukan guna terus mendoktrin pemikiran sang anak agar anak-anaknya terus dan terus bersekolah. Bukan hanya sekolah sebagai formalitas, tetapi juga harus mendapatkan apa yang sebenarnya menjadi tujuan utama dari bersekolah itu sendiri. Selain itu, etika dan moral kita masih sangat jauh dari cita-cita bangsa. Banyak orang yang selalu mementingkan dirinya sendiri untuk mencapai kesuksesan sendiri yang sebenarnya hal tersebut sedikit melebar dari apa yang sebenarnya menjadi hakikat dari pendidikan. Selalu lebih mementingkan ego pribadi dari pada memikirkan apa yang menjadi kepentingan bersama. Tata karma yang menjadi salah satu prioritas utama dalam cita-cita pendidikan Indonesia, seakan terkubur dengan sifat egoisme yang selalu mencerminkan kelebihan dari pribadinya. Selalu merasa benar dan tidak mau kalah. Sungguh aneh, tapi ini menjadi sebuah kenyataan yang harus diterima.
Ceminan keadaan pendidikan sekarang seharusnya sudah mengantarkan kita pada sebuah tindakan pembaruan pengelolaan pendidikan. Hal ini harus segera dilakukan guna menghindarkan masyarakat negara dari seebuah keadaan yang lebih kelam ke depannya. Masyarakat dan pemerintah harus saling membantu dalam menyelesaikan permasalahan klasik yang selalu menjadi batu sandungan negara Indonesia. Anggaran-anggaran yang di prioritaskan untuk pendidikan harus selalu digunakan secara efisien dan merata agar tidak terjadi perbedaan pemberian asupan pendidikan antara si Kaya dan si Miskin. Moral dan etika juga harus ditanamkan sebaik mungkin agar tidak terjadi kekeliruan dalam mengaplikasikan apa yang telah mereka dapatkan . Serta harus selalu terjadi keselarasan tujuan antara mayarakat dan pemerintah guna menciptakan keadaan pendidikan yang harmonis demi menunjang tercapainya pendidikan yang berkualitas.