Oleh :
Varel Beatrix
(Mahasiswa Jurusan Bahasa dan Seni Universitas Pattimura Ambon)
Harus kuakui cuaca hari ini benar-benar di luar imajinasiku. Kuawali hariku dengan meneguk secangkir teh hangat sambil berusaha meniru gaya bapakku yang senang membaca koran sambil meminum teh. Tidak terlalu sulit. Kulihat trending topic pagi ini berbicara mengenai maraknya penggunaan narkoba di kalangan remaja. “Dwi Putra Santoso,” kutarik senyumanku saat menyebut nama itu, nama yang tertera di halaman koran sebagai salah satu contoh buruk remaja masa kini.
Bapak menengok sekilas sambil menggelengkan kepalanya saat melihatku yang sedang berlagak layaknya orang tua yang membutuhkan banyak asupan berita untuk menambah materi pembicaraan mereka dengan orang lain.
“Bukankah itu temanmu, Man?”
Aku menaikkan kedua alisku, kemudian menggeleng. “Memangnya aku ini siapa? Aku tidak kenal dengan dia, Pak,” ujarku
“Apa kau lupa dengan janji ‘Centong Nasi’ yang pernah kau ceritakan pada Bapak?”
Aku terdiam mencoba mengingat kembali maksud perkataan Bapak, juga mengingat kembali di mana dan kapan aku pernah menceritakan janji itu. Seingatku, aku tidak pernah mengadakan janji dengan siapapun. Tiba-tiba Bapak memanggil ibu, meminta ibu untuk membawakan sebuah centong nasi pada kami yang notabenenya sedang duduk di teras depan rumah. Tak lama setelah itu ibu datang sambil membawa sebuah centong nasi kayu serta memberikannya pada bapak.
“Baca tulisan ini,” bapak lalu menyodorkan centong nasi itu sambil menunjuk pada ukiran yang terdapat di situ.
“TCT? Seperti inisial sebuah bahan peledak. Aku tidak tahu, Pak.” Kukembalikan centong nasi tersebut pada bapak yang disambut dengan desahan napas panjang darinya.
“Kau benar-benar lupa dengan benda ini? Maman, kau baru satu tahun merantau di New York, lalu secepat itu kau lupa dengan semuanya?” Bapak berujar sambil menahan tawa.
“The Cicak Terbang….”
Seketika waktu berjalan mundur ke belakang, membawaku terbang bersama angin, lalu mendaratkanku tepat di sebuah tempat asal mula semua ini terjadi. Terminal B pasar Terong.
***
Di bawah terik matahari, dua orang lelaki muda sedang berunding. Mereka masih berpakaian SMA. Salah seorang dari mereka berbadan gembul sedangkan yang lainnya berbadan kurus. Pose mereka ketika bersatu layaknya angka 10 atau 01, tergantung dari mana kau melihatnya. Kedua lelaki itu tidak lain adalah aku dan Putra, dua orang sahabat karib yang kalau bertemu pasti saja beradu mulut karna pola pemikiran kami terpisah antara dua kutub. Kala itu kami masih remaja berusia 17 tahun yang sedang dimabuk cinta pada seorang gadis yang sama.
“Jadi begini, kau tahu kan aku sudah lama naksir dengan si Nilam itu?” Tanya Putra sambil menepuk pundakku.
“Lalu, apa hubungannya denganku?” Aku balik bertanya.
“Jangan berpura-pura Maman, aku tahu kau juga suka padanya,” ia tertawa sejenak, “kau pikir aku tidak tahu? Aku bisa membaca bukumu jauh sebelum kau menulisnya,” lanjutnya dengan bangga.
“Lalu, apa maumu? Kau ingin berkata bahwa aku tidak seharusnya suka pada Nilam?” Tanyaku sedikit ketus Putra sontak tertawa keras seraya memukul kepalaku. “Sebentar,” ia merogoh sesuatu di dalam saku celananya kemudian berjalan melewatiku dan berhenti tepat di depan seorang wanita paruh baya yang tengah menjaga jualannya sambil bernyanyi dengan lantang. Aku hanya mengamati pergerakannya dari jauh. Terlalu malas untuk menyusulnya ke sana, aku memilih untuk berubah menjadi patung hidup sambil mengamatinya yang sedang tawar-menawar dengan wanita paruh baya tersebut.
Beberapa menit kemudian setelah menemukan titik terang, ia akhirnya kembali sambil membawa dua centong nasi kayu berwarna cokelat. “Nah, satu untukmu. Dan ini punyaku.” Ucapnya sesaat setelah memberikan centong nasi tersebut padaku. Aku tertawa terbahak sambil memegang centong nasi tersebut.
“Kau ini sudah gila? Apa yang akan kita lakukan dengan benda ini?”
“Memukul kepalamu!” Tukasnya
Aku melongo menatapnya dan matahari semakin bersinar di atas kedua kepala plontos kami yang terpaksa harus digundulkan karna ulah kami yang tetap saja melawan tata tertib sekolah dengan menggondrongkan rambut.
“Kita telah berteman lama, Maman. Dan tidak lama lagi kita akan lulus dari SMA. Anggap saja ini adalah tanda mata dariku untukmu. Tapi lebih dari itu, ini adalah sebuah janji yang harus kita buat dan tepati di kemudian hari.”
Suasana seketika berubah menjadi sangat serius di tengah keramaian.
“Kau dan aku, kita sama-sama menyukai gadis yang sama sejak SMA. Kita juga adalah sahabat karib sejak lama. Aku mau kita membuat janji. Pertama, walaupun menyukai gadis yang sama, tapi kita akan bersaing secara sehat. Kedua, kita akan tetap berteman apapun yang terjadi. Ketiga, apabila salah satu di antara kita berhasil mendapatkan Nilam, maka yang lainnya harus bisa menerima kekalahan mereka. Keempat, salah satu di antara kita mendapatkan masalah, maka yang lainnya akan berusaha untuk membantu. Kelima, apabila kelak kita telah menjadi orang, jangan pernah lupakan orang-orang yang pernah ada di saat kau susah maupun senang. Terutama aku Dwi Putra Santoso, si gembul sahabatmu ini.”
“Aku janji. Tapi kau ini bicara apa gembul jelek? Seperti dunia akan berakhir saja kalau kita lulus SMA nanti!” Aku menanggapi dengan santai, namun akhirnya mendapat sebuah jitakan darinya.
“Rangka berjalan, kita perlu membahas ini. Kau tahu pada awalnya akan ada banyak orang yang tampil bersamamu. Namun setelah melewati berbagai rintangan, mereka akan berkurang satu persatu. Pesanku, kau jangan pernah lupakan aku sebagai sahabatmu. Dan simpan baik-baik centong nasi ini.” Ia menubrukan kedua centong nasi tersebut dan kembali berujar,
“Karna kita adalah The Cicak Terbang. Dua orang sahabat konyol yang bermimpi mendapatkan kehidupan yang layak. Dan ini adalah janji The Cicak Terbang!” Ia berujar dengan bangga.
Saat itu aku hampir saja protes. Nama yang diberikannya benar-benar jelek. Namun dia kembali bersuara seakan tahu apa yang ingin kukatakan.
“Jika di Bahasa Inggris kau dapat menemukan Dragon Fly, maka di pasar ini dan di manapun orang-orang dapat menemukan The Cicak Terbang! Artinya kita akan dikenal banyak orang.” Aku hanya tertawa mendengarnya tanpa berniat mengoceh lagi. Begitulah Putra. Si gembul yang punya segudang lelucon.
Pada akhirnya, aku hanya mengiyakan janji yang diucapkannya padaku. Dan begitulah kami. Kami adalah dua orang sahabat karib yang tak terpisahkan lagi, hingga akhirnya beberapa hari kemudian seluruh penghuni sekolah kami dibuat gempar karna Putra tertangkap menggunakan narkoba. Ia pun dikeluarkan secara tidak terhormat dari sekolah serta ditahan di penjara. Dan pada akhirnya kami memang dikenal banyak orang. Putra dikenal karna merusak nama baik sekolah dengan menggunakan narkoba, sedangkan aku dikenal karna bersahabat dengan seorang pemakai narkoba.
Sejak saat itu aku memutuskan untuk mengubur centong kayu tersebut di halaman rumahku. Bahkan, hingga saat keberangkatanku ke New York untuk mengikuti pertukaran pelajar, aku tak pernah berkomunikasi dengan si gembul itu.
“Dia hanya ditahan selama beberapa bulan. Setelah itu dia keluar. Dia tidak lagi melanjutkan sekolahnya, Man. Dia memilih untuk bekerja. Orang tuanya tidak mau lagi berusan dengannya. Jadi Bapak mengambil inisiatif untuk memanggilnya dan memberikannya modal untuk berusaha. Dan kau tahu apa yang ia katakan saat Bapak tanya usaha apa yang akan dia buat?” Aku terdiam.
Masih menatap Bapak yang berbicara dengan raut wajah serius. “Dia bilang dia ingin berjualan centong nasi. Awalnya Bapak bingung, hanya dengan berjualan benda itu, mana cukup? Tapi kemudian dia bilang ke Bapak, dengan usaha itu ia akan selalu ingat dengan sahabat karibnya, ‘Maman Kerangka Berjalan’ katanya. Sahabat karibnya yang telah hilang,” jelas Bapak.
Aku terdiam. Ada rasa pedih di dalam dada seperti kau telah menyadari bahwa kau telah melakukan suatu kesalahan fatal.
“Jika dia saja masih mengingat sahabatnya walau ia telah dilupakan oleh sahabatnya, lalu mengapa kau harus mengeraskan hatimu? Hanya karna satu kesalahan kau lupa pada beribu kebaikannya?” Aku kembali terdiam.
Lidahku tak mampu untuk mengeluarkan sepatah katapun. Rasanya aku sudah sangat berdosa membiarkannya berjuang seorang diri hanya karna perasaan malu yang memenuhi dadaku saat mendapat ejekan karna aku berteman dengan seorang pemakai. Tiba-tiba pagar rumahku terbuka dengan suara yang cukup berisik. Dan di sanalah kulihat sahabat lamaku berjalan sambil tersenyum melihatku.
Si gembul….