Makassar, Eksepsi Online – Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin (FH-UH) kembali menggelar kuliah umum bertajuk “Studium Generale : Hubungan Jepang dan Indonesia” pada Jumat (13/3). Kuliah umum ini dibawakan langsung oleh Ketua Kantor Konsuler Jepang di Makassar, Miyakawa Katsukoshi.
Katsukoshi memaparkan mengenai kondisi dan potensi hubungan diplomatik Indonesia-Jepang dengan sorotan utama pada bidang ekonomi. Sebagai pembuka, ia mengemukakan bahwa kedamaian dan keamanan Negara Indonesia sangat penting dan berpengaruh bagi kedamaian dan kemanan kawasan Asia-Pasifik, termasuk Jepang. Oleh karena itu, sejak zaman proklamasi hingga saat ini Jepang banyak memberikan dukungan kepada Indonesia dalam berbagai bidang. Begitupun sebaliknya, ia mengatakan Indonesia merupakan negara yang paling “Pro-Jepang”. Hubungan diplomatik Indonesia-Jepang sendiri telah dimulai sejak Penandatangan Perjanjian Perdamaian kedua negara pada 1958.
Kemudian, Konsuler Jepang untuk Indonesia ini masuk kepada pokok pembahasan mengenai jalinan ekonomi kedua negara. “Perekonomian Indonesia, saat ini, sekitar 75% ditopang oleh private sector, diperkuat ekspor-impor. Sekitar 25% dari total ekspor Indonesia ditujukan ke Jepang,” jelasnya. Jadi, hubungan diplomatik dalam bidang ekonomi Indonesia-Jepang sangatlah erat. Namun, hubungan ekonomi kedua negara pada sektor investasi belakangan mengalami penurunan. Menurutnya, di Jepang sendiri, peringkat Indonesia sebagai negara potensial untuk investasi terus turun. “Pada 2013, Indonesia menduduki peringkat 1, kemudian pada 2016 turun menjadi peringkat 3 dan pada 2019 kembali menurun menjadi peringkat 5, ungkapnya. Penurunan ini disebabkan oleh beberapa permasalahan. Pertama, adanya persaingan dengan perusahaan lain, dengan kata lain daya saing Indonesia mengalami penurunan. Kedua, peningkatan upah tenaga kerja di Indonesia yang terus terjadi, yakni sekitar 8% setiap tahunnya. Ketiga, eksekusi sistem hukum yang tidak transparan. “Di Indonesia, pertahunnya, setiap kementrian mengeluarkan sekitar 2000 peraturan baru yang sering kali tumpang tindih. Ada juga penafsiran Undang-Undang yang tidak sinkron antara pemerintah pusat dan pemda,” jelas pria yang telah menjadi Konsuler Jepang di Makassar selama Dua Setengah tahun ini. Kekacauan sistem hukum ini menurutnya membuat banyak pihak terkait enggan melakukan usaha di Indonesia.
Katsukoshi juga menyoroti mengenai kegiatan kerja sama perekonomian Jepang-Indonesia yang cenderung terpusat di Pulau Jawa. Menurut pria yang pernah menempuh studi hukum ini, ketidakmerataan pembangunan di Indonesia menjadi salah satu penyebabnya. Saat ini misalnya, pelabuhan internasional Indonesia hanya terdapat pada 2 kota di Pulau Jawa yakni Surabaya dan Jakarta. Ia juga menyinggung mengenai pembangunan infrastruktur di luar Pulau Jawa yang belum merata. “Infrastruktur daerah-daerah di luar Pulau Jawa saat ini belum menunjang kegiatan ekonomi,” terangnya.
Sebagai penutup, Katsukoshi memberikan kilas balik catatan historis hubungan diplomatik Indonesia dan Jepang mulai dari peta pergerakan Orang Jepang ke Asia tenggara pada abad ke-17 hingga sejumlah kerja sama yang dijalin kedua negara dalam rangka mempererat hubungan diplomatic seperti kerja sama proyek budidaya ikan tuna, penjajakan kerja sama pengolahan sampah, hingga penjajakan kerja sama pembakit listrik di pulau-pulau. Di akhir, ia memberikan kesimpulan mengenai hubungan diplomatik Indonesia dan Jepang yang dapat digambarkan sebagai “Hubungan dari hati ke hati.” (bch)