Oleh :
Nur Hikma Hs
(Redaktur Pelaksana LPMH – UH Periode 2019-2020)
Ditengah malam yang gelap gulita, aku bersama Ibu menikmati malam yang tenang dengan bintang-bintang dan bulan yang menghiasi langit malam yang berkerlap-kerlip. Malam kali ini terasa berbeda dari malam-malam sebelumnya. Berbeda karena aku menikmatinya bersama Ibu tercinta serta dengan suasana yang mendukung.
“Bud, Ibu pengen banget deh kamu itu bisa dapat rangking satu dikelas” Gumam Ibu padaku, tanpa menatap hanya terus memandang langit malam.
Aku mengernyit untuk sesaat. Lantas membalasnya dengan berkata,
“Gak biasanya Ibu merhatiin prestasi Budi. Memangnya Ibu pengen banget?”
Beliau mengangguk sambil tersenyum hangat padaku,
“Ibu minta itu, karena pengen banget bisa ambil raport kamu dan dengan bangga Ibu kasih tahu ke Orang tua yang lain” Ibu menatapku dengan mata sayunya. Dari sorot matanya itu, aku sudah tahu jika beliau menginginkan saat-saat seperti itu dengan sangat.
Ibu mungkin saja sangat menginginkan hal itu, karena aku memang tak pernah sekali waktupun meraih peringkat satu ataupun hanya sekedar ikut dalam deretan orang-orang pintar pada peringkat sepuluh besar. Tentu saja semua orang tua ingin jika anaknya mampu untuk membanggakan mereka melalui jalur prestasi. Sama halnya dengan Ibu yang juga menginginkan hal tersebut.
Setelah kepergian Ayah karena kecelakaan mobil, Ibu akhirnya mengambil alih seluruh pekerjaan dan akhirnya menjadi orang tua tunggal untukku. Kami hanya sebatang kara didunia ini, dan mau tak mau kami harus menjalani segala suratan hidup dengan usaha dan tenaga sekuat mungkin.
Baru kali ini Ibu meminta suatu hal padaku. Sebelumnya Ibu tak pernah banyak merepotkanku dengan segala rutinitas ataupun pekerjaannya. Namun aku dengan sikap sadar diri membantu Ibu yang setiap harinya banting tulang untuk menghidupi kami berdua serta untuk biaya sekolahku setiap harinya.
Saat aku memahami semuanya dengan sikap dewasa, aku menatap Ibu dengan senyum tipis,
“Aku janji Ibu, semester kali ini aku akan dapat peringkat pertama dikelas”
“Kamu serius Bud?” Aku mengangguk dengan cepat. “Kalau begitu, belajar yang giat” Wanita paruh baya itu mencoba untuk menyemangatiku.
Karena merasa terharu, Ibu menyalurkan rasa bahagianya dengan pelukan hangat dari seorang Ibu yang sangat aku sayangi. Aku membalasnya. Dan dalam diamku, aku terus menerus menanamkan tekad kuat bahwa aku akan memenuhi permintaannya dan dengan bangga aku akan mempersembahkan buku raportku.
Setelah janji yang aku berikan pada Ibu, selama waktu yang tersisa menuju penentuan semester dua. Aku terus belajar dengan giat dan tanpa henti. Setiap aku mempunyai kesempatan ataupun waktu luang. Aku selalu berusaha untuk belajar sebanyak mungkin, agar siap untuk mengikut ujian semester yang menjadi penentu atas segala usaha yang aku lakukan. Serta naik tidaknya aku ke kelas berikutnya.
Detik berganti menit, menit berganti jam, jam berganti hari, hari berganti minggu, dan minggu berganti bulan. Tak terasa semuanya berjalan dengan begitu cepatnya. Tiba saatnya hari yang menunggu untuk mempertanggung jawabkan segala sesuatu yang telah dilewati oleh pelajar. Kenaikan kelas sekaligus pengumuman terhadap hasil yang telah dikeluarkan dan dicapai, setelah mengikuti ujian semester yang berlangsung selama seminggu. Pengumuman hasil nilai sekaligus siapa yang berhasil mendapatkan peringkat siswa dengan nilai terbaik.
Aku duduk dengan keringat dingin yang tak henti-hentinya keluar. Perasaan takut dan gugup tak dapat aku hilangkan begitu saja dari dalam hatiku. Yang aku bisa yaitu hanya berusaha bersikap setenang mungkin dan membayangkan wajah bahagia Ibu tak kalah saat aku memberinya raportku. Sayangnya, Ibu tak dapat hadir untuk mengambil raportku karena beliau sedang sakit. Sehingga aku hanya harus mengambilnya sendiri dan berharap doaku dapat terkabul. Karena menurutku aku telah berjuang cukup keras untuk bisa sampai pada titik sekarang ini. Aku telah belajar mati-matian untuk bisa menepati janjiku pada Ibu.
Dan sekarang tiba saatnya saat aku dipanggil untuk menerima semua hasilnya. “Budi Setiawan” Aku merasa jika saat ini kakiku terasa seperti sebuah agar-agar, melangkah pasti meskipun rasa takut masih melingkupiku. Aku mengambil raport itu, lalu membawanya turun. Menarik nafas dan menghembuskannya dengan pelan, aku membuka laporan hasil belajarku selama mengikuti semester kali ini.
Yang tertera diatas kolom itu hanyalah tinta pulpen yang mencatat berbagai hasil kerjaku, dengan deretan angka-angka yang cukup memuaskan. Dan hasil dari semuanya itu hanyalah angka 3, yang menjadi angka apresiasi yang diberikan oleh guruku. Cukup kecewa tetapi cukup puas pula, menurutku ini lebih baik dari semester sebelumnya yang saat aku tidak mendapat sama sekali.
Aku akhirnya pulang dengan rona kebahagiaan yang terpancar. Dan saking senangnya aku sampai bersenandung-senandung kecil akibat terlalu banyaknya rasa bangga yang aku capai. Aku tak bisa membayangkan bagaimana ekspresi Ibu ketika aku memberitahunya. Meskipun dia mungkin merasa kurang puas karena aku tidak dapat mewujudkan janjiku pada Ibu.
Tanpa terasa langkah kakiku telah sampai mengantarkanku pada halaman rumah tempat aku dan Ibu tinggal. Tetapi aku merasakan kejanggalan dan keanehan yang melingkupi rumahku dengan aura dingin. Hingga aku sadari bahwa sekarang suasana dirumah sedang dalam keadaan ramai dan ada banyak orang. Merasa bahwa ada yang tidak beres dengan situasi ini aku segera berlari memasuki rumah.
Suara tangis pecah dan lantunan ayat-ayat suci memenuni telingaku. Ada apa dengan semua ini? Batinku berteriak meminta penjelasan. Dan saat diriku telah sadar sepenuhnya menerima segala kejanggalan tadi, seorang wanita paruh baya yang biasa aku panggil Bibi Hera berlari menghampiriku dan memelukku erat, berusaha menumpahkan seluruh tangisnya padaku, Aku semakin dibuat bingung dan menatap wajah Bibi Hera yang dipenuhi air mata mencoba meminta penjelasan.
“Yang sabar ya sayang, Ibu kamu udah dipanggil oleh Yang Maha Kuasa” Pernyataan kepedihan yang langsung menamparku, buku raport yang sedari tadi aku pengan erat-erat kini terjun dengan bejatnya kelantai rumah. Dengan segala kekuatan yang tersisa aku segera berlari menuju tubuh yang terbujur kaku milik Ibu. Mengguncang-guncangkan tubuh tanpa nyawa itu, berusaha untuk membangunkan Ibu. Tak terasa air mataku mengalir begitu saja.
Benarkah ini semua adalah kenyataan? Tolong siapa saja, tolong bangunkan aku dari mimpi buruk ini, mimpi yang sangat mengerikan ini. Kini Ibu telah meninggalkanku seorang diri. Ya Tuhan, Tidakkah engkau ini merasa kasihan padaku? Aku tidak memiliki siapa-siapa lagi. Yang ada hanya pil pahit yang dipenuhi racun, dan engkau sedang berusaha untuk memaksaku menelannya. Sosok yang paling aku cinta dan sayangi saat ini telah pergi meninggalkanku untuk selama-lamanya. Bahkan sebelum aku menepati janji dan memperlihatkan hasil kerja kerasku padanya.
Saat ini aku benar-benar berharap bahwa ini semua hanyalah mimpi. Mimpi yang sebenarnya masih menyertai tidur singkatku. Dan harapan terbesarku hanyalah bangun dari seluruh kenyataan menakutkan ini. Tetapi entah mengapa sekarang semuanya terasa begitu nyata dan meyakinkan.
Aku sekarang benar-benar dalam keadaan mati rasa. Semuanya terasa begitu dingin, gelap, mencekam, dan menyesakkan hati. Didepan mataku hanya terputar berbagai potongan-potongan klise kejadian sebelumnya yang aku lakukan bersama dengan Ibu. Segala kenanganku bersama dengannya juga ikut terpatri mengikuti gulungan-gulangan yang mirip dengan rol film. Dan entah bagaimana sekarang diriku melewati masa-masa sulitku tanpa kehadiran sosok malaikatku lagi.