Oleh : Hanifah Ahsan
(Pemimpin Redaksi LPMH – UH Periode 2019 – 2020)
Namaku Rania Nasution, jangan tanya nama panggilanku, karena setiap tingkatan pendidikan, aku selalu mengganti identitasku. Uti, Nia, dan saat ini Rani. Entah kenapa aku merasa, nama Nia tidak terlalu selaras dengan diri di dunia baruku, Dunia Perkuliahan. Kuulangi, namaku Rania Nasution dan teman kampusku menggunakan nama Rani jika memanggilku. Seorang mahasiswa biasa salah satu Perguruan Tinggi di Kota tempat tinggalku, kampus Merah. Kampusku ini dikenal sangat luar biasa. Selain karena merupakan salah satu Universitas Negeri besar di wilayah Indonesia Timur, juga prestasi-prestasi mahasiswanya yang luar biasa, meskipun secara internal, semua tak seindah itu.
“Alhamdulillah. Kamu orang pertama dari keluarga kita yang masuk Kampus Merah, Nak.” Satu kalimat pasti yang dilontarkan Ibuku saat kuberitahu kelulusanku dahulu.
Semenjak pengumuman kelulusan masuk perguruan tinggi, hidupku sedikit berubah. Ibu dan Ayah menjadi lebih sering menjadikanku bahan kebanggaan keluarga, juga sebagai bahan kesombongan yang sama sekali tak ingin kudengar.
“Nih, Anakku, Dia lulus jalur undangan untuk masuk di Perguruan Tinggi, Kampus Merah,pula.” Setidaknya kalimat ini akan selalu Ku dengar, dan akan selalu Ayah ucapkan pada setiap pertemuan keluarga, baik skala kecil, maupun besar sekalipun. Cukup membosankan.
Jujur saja, munafik jika Kukatakan tidak senang dengan kenyataan bahwa aku akan menjadi mahasiswa di salah satu Universitas Negeri dengan citra tinggi yang terbangun di masyarakat. Tapi, tetap saja, aku merasa ada beban berat yang mengiringi kenyataan hebat itu. Beban yang tak dapat kuyakini bisa ku emban.
Menyandang status “Mahasiswa” sepertinya tidak mudah, khususnya bagiku, yang semasa sekolah tidak memiliki pengalaman organisasi apapun. Mahasiswa adalah agent of change, pembawa perubahan, pemegang estafet kekuasaaan Negara kedepan setidaknya itulah tuntutan yang aku pahami jika menjadi seorang “Mahasiswa”. Jujur saja, aku merasa, aku akan tetap menjadi siswa biasa saja, dengan tambahan kata maha sebelumnya, selain itu tak ada perubahan.
Tahun pertamaku di Kampus, masih dengan kebanggaan-kebangaan yang masih saja mengikuti. Sedikit ego yang naik jika teman-temanku bertanya mengenai dimana aku melanjutkan pendidikan, atau dengan hal-hal kecil seperti dengan berbangga hati membuat postingan foto diriku menggunakan almamater kampusku.
“Kalian boleh berbangga hati teman-teman, tetapi, kebanggaan itu jangan terus-terusan kalian bawa, sebelum mengarah ke hal-hal tidak baik.” Kalimat bijak pertama yang kudapat di masa awal penerimaan mahasiswa baru. Kalimat ini diucapkan pihak birokrat, yang belakangan kutahu ia tak seramah itu.
Kembali seperti yang kuceritakan sebelumnya, tahun pertama, aku masih menjadi Mahasiswa yang biasa-biasa saja. Datang pagi, pulang siang. Kerja tugas di Perpustakaan, makanpun masakan rumahan. Bahkan, untuk lingkup pertemananpun aku memberikan batasan dalam pergaulan. Tenang, aku bukan seorang introvert aku hanya tidak bisa menyesuaikan keadaanku dengan teman-teman baruku, teman yang sedikit “gaul”.
“Ran, kenapa gak ikut UKM,sih?” pertanyaan yang selalu kudapat dari beberapa teman ditahun pertama. Bukan hal aneh, tahun pertama memang menjadi waktu yang tepat bagi mahasiswa awal sepertiku untuk mendaftar menjadi anggota di Organisasi-organisasi kampus atau fakultasku, yang aneh ialah aku. Aku masih saja tidak punya ketertarikan mengikuti kegiatan kampus yang pastinya membuatku lebih lama di fakultas.
Setahun berlalu, tahun kedua menyambut hari-hariku. Aku masih menjadi mahasiswa biasa.
“Ran, masih gak mau ikut UKM?” Seorang perempuan yang kembali mengulang pertanyaannya kepadaku, seorang teman yang masih sudi berteman dengan mahasiswa sepertiku, Lya.
“Gimana yah Ly, belum ada yang bikin tertarik.” Jawaban klasik yang mungkin Lyapun sudah hapal.
“Ini tahun kedua,loh. Waktu kita disini nanti ga akan terasa. Tau-tau udah mau lulus aja, gimana? mau gini-gini terus? Gak capek dijulukin anak-anak mahasiswa palsu?” deg. Lya memang tak pertama kali terang-terangan begini memarahiku, mungkin itu yang membuatku betah berteman dengannya.
Sekedar memberitahu, gelar mahasiswa palsu diberikan teman-teman angkatanku bagi orang-orang yang tidak punya ketertarikan mendalam pada dunia perkuliahan diluar kegiatan belajar mengajar. Dan aku, salah satu orang yang menerima julukan itu ditengah tahun pertamaku.
“Lah, harus bagaimana lagi? Memang pada dasarnya hidupku hanya sanggup kelas-kos, kelas-kos atau pulang kerumahku. Ga kayak kamu, Ly.” Pembelaan yang sangat tidak membela.
Lya menggeleng sebelum akhirnya memberikan satu ide.
“Gimana kalo masuk di UKM Ku, saja?”
Aku terdiam, perlahan menatap Lya, lalu menggeleng. Respon yang sama setiap dia mengajakku untuk masuk ke UKM yang sama dengannya.
“Kenapa gak mau,sih? Bukannya kamu juga suka nulis, yah biar sekalian gitu, masuk karena hobi, gak jadi beban.” Lya mulai membujuk.
“Karen hobi yang sudah tercampur dengan perintah dan suruhan, bukan lagi sesuatu yang menyenangkan, Ly. Nulis karena mau, bukan karena harus. Apalagi karena deadline.” Jawabanku berhasil membuat Lya terdiam.
“Terserah Kamu deh, Ran. Aku cuma pengen kamu rasakan, gimana seharusnya kamu menikmati masa kuliahku. Yaudah, ku kesekret dulu yah.” Lya bergegas untuk pergi. “Tapi, tawaranku itu tetap berlaku, paling gak, coba aja dulu, siapa tahu nyaman.” Lya pamit, aku tetap terdiam ditempatku.
Awalnya ucapan Lya tidak terlalu berdampak bagiku. Hingga akhirnya, tekanan menjadi Mahasiswa sempurna muncul dari keluargaku.
“Rani,nak. Bagaimana di Kampus? Ini sudah tahun kedua,kan? Usahakan bisa jadi Ketua BEM yah nak. Ayah dan Ibu tambah bangga sama kamu.” Setidaknya kalimat ancaman ini selalu muncul sebulan belakangan. Sebuah tanya yang akan selalu ku balas dengan tawa kikuk. Ketua BEM? Masuk UKM saja tidak. Siapa yang mau dipimpin sama Mahasiswa Palsu sepertiku.
Ayah dan Ibu tidak tahu, anaknya ini sangat jauh dari sebutan aktivis, bahkan organisatorispun terlalu sulit untuk digapai, bagaimana jika harus menjadi pimpinan di lembaga kemahasiswaan. Sebuah beban yang sulit dijelaskan. Terlalu sulit rupanya, lahir dari keluarga yang paham benar bagaimana menjadi “mahasiswa seutuhnya”. Bagi Ayah, mungkin kuliah tidak akan seru jika tidak pernah ikut Aksi, apalagi jika bukan pemimpin organisasi. Bagi Ibu, mungkin kuliah tidak akan berilmu jika tidak menghadiri majelis ilmu, kajian-kajian filsafat, dan ilmu-ilmu pengetahuan lainnya. Dan bagiku? Kuliahku tidak seru jika harus melewati kesemua hal itu.
“Ran!” Teriakan Lya berhasil menghancurkan lamunanku.
“Nih.” Lya menyodorkan selebaran tepat dimukaku.
“Ha?” respon cepat setelah membaca habis selebaran yang disodorkan padaku. Lya? Duduk tepat di depanku dengan raut wajah menunggu jawaban. Aku? Terdiam.
“Gimana? Ikut,yuk.” Antusiasnya sangat terdengar dari suara yang ia hasilkan.
“Gak deh,Ly.” Jawabku dibalas wajah kesal Lya.
“Ran. Kamu boleh nolak ajakanku untuk masuk UKM yang sama denganku, tapi untuk kali ini, jangan tolak ajakanku. Ini aksi besar-besaran, Ran. Kita harus turut andil dalam sejarah Negara kita. Kita akan tercatat dalam sejaraha perubahan besar jika kita berhasil dalam Aksi Besok. Jadi, Ku tunggu kamu besok di Fakultas, jangan lupa pake Almamater kebanggaan kita.” Lya menjelas dengan panjang, lalu pergi tanpa membiarkanku mengeluarkan kata penolakan lagi.
Haripun berganti, setelah semalaman berfikir tentang ajakan Lya untuk mengikuti seruan aksi hari ini, setelah berfikir cukup panjang dan mengumpulkan segala bentuk keberanian, akhirnya ajakan itu kuterima. “Aku sudah dekat, tunggu yah. Bawa sarapan juga nih.” Pesan teks baru masuk dengan Lya sebagai pengirimnya.
“Ran, nih. Makan dulu, Aksi dengan perut lapar lumayan menyakitkan.” Lya menjulurkan sebuah kantong berisi nasi bungkus.
“Ini pertama kalinya yah buatmu.” Lya memulai percakapan saat aku mulai mengisi perut. Ku balas dengan anggukan. Sangat pertama, batinku.
“Ran, nanti jangan jauh-jauh, dan jangan langsung panik, yah.” Nada Lya terasa cukup serius.
Perlahan pikiranku mencerna kata-kata Lya yang terasa cukup berhasil membawa suasana mencekam hadir diantara kami. “apa dampak terburuk dari Aksi hari ini?” tanyaku refleks.
“Hmmm” Lya berfikir ragu
“Oke, kuganti pertanyaanku, apa yang kemungkinan ku dapatkan hari ini?” langsung ku potong keraguan Lya.
“Hmmm. Gas Air mata, watercanon, sedikit pukulan mungkin, kalau sial, yah masuk dalam barracuda, kena pentungan, tendangan sepatu lars, hmm” Lya masih berfikir akan kata selanjutnya
“Ok, stop.” Kataku memutuskan ucapan Lya.
Kami berdua terdiam, segala hal yang Lya ucapkan cukup berhasil membuat nyaliku kembali ciut.
“Hey.. ga usah dipikirin, kita ga akan ketangkep kok. Anggap aja Aksi kali ini bentuk deklarasimu, sebagai mahasiswa seutuhnya. Rani to be activist. Sosok yang Ayahmu selalu idamkan. Bisa aja ini jadi permulaan langkahmu menghapus julukan mahasiswa palsu dari angkatan kita.” Lya memberi semangat, meski yang terdengar bagiku itu semua hanya kata-kata motivasi yang tidak memiliki arti sama sekali.
Sedikit berat sebenarnya, mengingat ini pengalaman pertama, selain karena aku tak tahu bagaimana fisikku, juga karena aku tak tahu, akan menjadi semerepotkan apakah aku bagi Lya nantinya. Tapi, melihat semangat Lya menolongku melepas julukan mahasiswa palsu, aku juga harus menghargai usahanya.
Aksi dimulai dengan long march dari kampus kami menuju gedung DPRD kota, sepanjang jalan cukup dimerahkan dengan Almamater kampus kami, untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku merasa terharu sebagai seorang mahasiswa. Kutatap wajah Lya yang setia mendampingiku, masih terlalu senang untuk orang yang mengantarkan nyawanya untuk Negara. Jalanan terhenti, tepat 15 meter dari pandanganku dan Lya adalah tujuan gedung kami, meski cukup dekat, langkah kami terlalu suit untuk dilanjutkan, pasukan berpakaian hitam lengkap dengan tameng ditangan kanannya sudah menghalangi jalan yang menjadi tujuan kami. Hanya ada dua pilihan, lawan atau pulang.
“Rin, ingat, jangan pernah jauh-jauh. Kalau kita kepisah, cari tempat aman.” Lya kembali mengingatkan.
“Oo…” kataku terputus sebelum peringatan Lya terjawab. Pasukan hitam tadi berhasil melemparkan gas air mata tepat ditengah antara aku dan Lya. Tepat dengan itu, rombongan kami berhasil diserang oleh pasukan yang berada tepat didepan kami. Tak bisa dielakkan, bentrok berhasil terjadi. Mataku masih cukup pedis untuk mencari Lya, dan seseorang berhasil menarikku dengan cukup kasar. Ku yakin itu bukan Lya.
Pasukan hitam yang menarik tanganku tadi membawaku kepada salah satu mobil besar yang cukup tertutup.
“Rani.!” Kudengar suara teriakan kecil didalamnya, kupastikan itu Lya.
Pandangan tak biasa, yang hampir tak pernah ku lihat sebelumnya telah ku saksikan sepanjang mobil ini berjalan. Pukulan, sedikit tendangan, kalimat-kalimat kasar yang menekan, semua telah kusaksikan, pikirku kembali mengingat segala hal yang Lya ucapkan tadi pagi tentang hal sial apa saja yang kiranya kami dapatkan dari Aksi ini. Dan benar, kami sedang sial saja.
Pandanganku tak bisa lepas dari Lya, sedikit darah diujung bibirnya dan memar yang cukup jelas di tangannya cukup menggambarkan betapa sakit yang dia terima, tapi, ada yang tak hilang dari ujung bibir Lya, senyuman khasnya yang sedikit dibaluti darah. Jangan jauh-jauh, Lya berbisik sangat halus. Bahkan disaat seperti ini, ia masih memikirkan keamananku. Mobil perlahan berhenti melaju, aku,Lya dan beberapa orang yang juga bernasib sial dipaksa turun dan menuju ke salah satu ruangan asing, yang namanya saja aku tak tahu.
Satu demi satu diantara kami dibawa untuk dimintai keterangan, diselingi dengan sedikit demi sedikit bentakan, juga beberapa kali pukulan “halus”. Untuk pertama kali dalam dunia, aku bersyukur terlahir sebagai perempuan, setidaknya, luka yang aku dan Lya juga beberapa perempuan lainnya tidak separah –juga sesakit yang lain.
“Rani Nasution!” Ku dengar namaku diteriakkan cukup jelas, tapi bukan dari ruangan interogasi, karena saat ini Lya sedang introgasi. Suara itu muncul dari luar ruangan asing ini, pintu terbuka, sosok laki-laki berbadan besar menunggu, seorang perempuan paruh baya mengikuti dibelakangnya.
“Ayah, ibu.” Aku menghampiri dan langsung memeluk mereka.
“Ayo kita pulang.” Ayah merangkul dan membawaku keluar ruangan.
“tapi yah. Aku belum di Introgasi”
“sudah, ayo. Ayah dan Om mu sudah mengurus segalanya” tak ada bantahan lagi. Dipikiranku saat ini hanya Lya. Semoga ia bisa keluar secepatnya.
Hari ini cukup panjang dan melelahkan, Ayah menyuruhku pulang kerumah malam ini. Sepanjang jalan Ayah bercerita bagaiamana ia bisa menemukanku, dan akhirnya membantuku untuk lepas dari ruangan menakutkan itu.
“Itulah salah satu nikmatnya punya keluarga seorang aparat –dengan pangkat tinggi. Waktu jaman ayah dulu, mana bisa semudah ini dilepaskan.” Kesimpulan cerita ayah.
Pikiranku masih tertuju pada Lya, seketika kembali teringat bagaimana memar dan lebam, juga darah yang ada disudut bibirnya dan senyum yang masih begitu cerah, bahkan ketka sepatu lars dan pentungan terus berbunyi dan bergerak dimana-mana. Malam ini berakhir, tanpa kabar dari Lya.
Dunia berubah menjadi begitu jahat bagiku ketika kudengar kabar mengenai penahanan Lya. Sosok perempuan yang mengajak ku kemarin ditetapkan menjadi tersangka pengrusuhan dari Aksi kemarin. Kabar ini berhasil membuatku mengunjunginya.
“Bagaimana rasanya? Masih mau jadi aktivis?” tanya pertama Lya saat ku kunjungi dirinya, kubalas dengan senyum tipis.
“Itu bukan gayaku,Ly. Aku tak sepertimu. Dan tak akan pernah saama.”
Lya terdiam.
“Biarkanlah aku menjadi mahasiswa utuh, dengan caraku yang biasa saja.”
“Ran..”
“Aku sudah berusaha Ly, dunia memang berbeda. Tapi yang ku dapati dari hal ini cukup besar. Kita bisa menjadi seutuhnya, dengan cara masing-masing. Kau bisa jadi Aktivis juga organisatoris, tapi sepertinya tidak denganku. Aksi kemarin cukup membuatku utuh. Utuh terhadap tekadku tidak menjadi keduanya.”
Kami berdua diam, lalu tersenyum.