web analytics
header

Hukum dan Politik: Hilangnya Satu Surat Suara, Ada Apa?

Oleh: Raniansyah (Mahasiswa Fakultas Hukum Unhas Angkatan 2013)

Mengapa judul itu?
Sederhana saja, hari itu aku meninggalkan kelas Hukum dan Politik hanya untuk menyaksikan cerita nyata “Hilangnya Satu Surat Suara di Pemilu Raya Keluarga Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin”. Ada apa?

***

“Jangan pernah mengkritik orang lain, jika kamu sendiri belum bisa mengkritik dirimu,” kata- kata Prof. La Ode M. Syarief kala membawakan materi Seminar Anti Korupsi di Aula Prof Amiruddin Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Jumat (4/3) lalu, sekiranya tepat untuk menjadi pengantar pada tulisan kali ini.

Ada apa?

Ada hal menarik dalam Pemilu Raya Keluarga Mahasiswa Fakultas Hukum (Kema FH-UH) tahun ini. Hingga hari ini, Sabtu (5/3), penghitungan suara belum juga rampung, padahal Pemilu Raya telah dilangsungkan sejak Kamis (3/3) lalu.

Ada apa? pertanyaan yang kerap masuk di beberapa akun sosial mediaku, sayangnya pertanyaan itu tidak dapat ku konfirmasi dengan jawaban yang seharusnya. Aku hanya berani menjawab “tidak tahu”, sebuah kotak suara terlihat diam terpenjara di dalam sebuah ruang yang nantinya diperuntukkan untuk koperasi. Ruang itu tertutup rapat lalu digembok, ada orang yang berjaga mengawasi kotak suara sejak kemarin malam hingga malam tadi. Ada apa? Sayangnya belum ada yang jawaban yang pasti.

Ada apa?

Hari itu, Kamis (3/3), sekitar pukul 09.00 Wita di FH-UH berlangsung pesta demokrasi. Pemilu Raya Kema FH-UH yang setiap tahun menarik perhatian hampir seluruh civitas akademika dan unsur yang ada di FH-UH.

Pemilu Raya kali ini, terdapat 14 calon anggota Anggota Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) dan tiga pasang calon Presiden dan Wakil Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) yang bertanding dalam pemilihan. Pemandangan di hari itu, terlihat orang-orang begitu antusias mengikuti pesta demokrasi tahunan tersebut, terlihat pula bapak-bapak berseragam hitam yang setahuku adalah Satuan Pengaman (Satpam) Unhas berjaga di sejumlah titik.

Mengapa agen perubahan dan pengontrol sosial yang diagung-agungkan dijaga ketat seperti preman yang hendak berbuat kericuhan? Entahlah! Pemandangan satpam berjaga-jaga bukanlah hal baru di Pemilu Raya Kema FH-UH, mungkin untuk menjaga kondusifitas suasana kalau sewaktu-waktu terjadi hal yang tidak diinginkan.

Proses pemungutan suara hari itu berlangsung hingga pukul 14.00 Wita. Ada sekitar sembilan ratus pemilih dari angkatan 2009 hingga 2015 atau sekitar 80-90% dari jumlah daftar pemilih tetap (DPT) yang ditetapkan Panitia Pemilihan Umum (PPU) berdasarkan data Kema Biasa yang berhak memilih.

Proses penghitungan suara berlangsung hingga larut malam. Penghitungan suara calon anggota DPM berjalan lancar dan selesai saat petang. Namun, penghitungan suara calon Presiden dan Wakil Presiden BEM tersendat saat menghitung suara angkatan 2014. Setelah berulang kali menghitung surat suara, selalu kurang dari jumlah yang seharusnya, maka diputuskan untuk melangkahi penghitungan suara angkatan 2014 dan dilanjutkan dengan menghitung suara angkatan 2015.Setelah selesai menghitung suara angkatan 2015, kembali dilakukan pengecekan untuk penghitungan surat suara angkatan 2014, namun nyatanya satu surat suara memang hilang, entah apa yang terjadi. Adakah kehilangan ini merupakan kelalaian PPU? Ataukah ada hal menarik tentang keadaan yang perlu dibaca di fakultas yang bersinggungan dengan seluruh disiplin ilmu ini?

Langkah yang kuambil hari itu untuk meninggalkan kuliah Hukum dan Politik demi menyaksikan segala proses yang terjadi di Pemilu Raya bagiku adalah langkah tepat. Ada praktik Hukum dan Politik hari itu di Fakultas Hukum. Praktik yang menurutku akan menambah khazanah pengetahuan. Proses ini adalah kelas yang memberikan pelajaran walau absensi kehadiran hari itu di ruang kelas formil harus ku ikhlaskan. 

Hilangnya satu surat suara menghentikan proses penghitungan suara. Tidak ada kesepakatan dari semua pihak hingga Ketua PPU memutuskan untuk mempertemukan para calon esoknya dan menghentikan proses penghitungan malam itu. Mungkin dari keadaan itu bisa dikatakan “Apalah arti sembilan ratus bagi satu”, karena satu surat suara yang hilang, akhirnya menghentikan apa yang seharusnya telah diketahui sekitar sembilan ratus pemilih malam itu yaitu siapa “Nahkodah baru BEM FH-UH”, wajar jika mereka bertanya “Ada apa?”.

Ada apa?

Satu surat suara bisa berdampak bagi sembilan ratus lebih yang lain. Adakah satu surat suara ini akan berdampak bagi hasil pemilu? Mungkin saja iya jika hasil penghitungan menunjukkan selisih satu suara antara calon yang satu dengan yang lain, hanya itu kemungkinannya, mungkinkah itu terjadi?

Maka apa yang dipraktikkan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam penyelesaian sengketa hasil pemilihan umum patut dilirik, mengapa? Mahasiswa Fakultas Hukum sering menyebut FH-UH adalah miniatur kecil negara, di sini ada lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif, di sini terdapat pula Konstitusi Kema yang menjadi aturan tertinggi. MK nyatanya dalam praktik bisa menolak gugatan pasangan calon karena selisih suara yang terlampau jauh, melebihi syarat yang ditentukan. Lalu ada apa dengan satu surat suara yang hilang di Pemilu Raya Kema FH-UH ini? Mengapa proses penghitungan suara dihentikan?  Apakah hilangnya satu surat suara memenuhi syarat untuk menghentikan penghitungan?

Jumat (4/3), para calon Presiden BEM FH-UH dipertemukan dan dimediasi langsung oleh Ketua PPU untuk mencari titik temu. Namun hingga Jumat (4/3) malam tadi pertemuan itu nyatanya tidak membuahkan hasil. Ada apa? Serumit itukah menyelesaikan permasalahan satu surat suara? Apakah ini cara memaknai demokrasi? Ataukah ini praktik aksioma politik “Tidak ada teman sejati dalam politik, yang ada adalah kepentingan” ? Entahlah! Kapan penghitungan suara dilanjutkan?  Kapan “kepastian” yang sering disebut  tujuan  itu ada? Akankah satu surat suara yang hilang bisa mengulang Pemilu Raya Kema FH-UH tahun ini? Tolong hentikan pertanyaan “Ada apa?”, pelajaran luar kelas ini sungguh berat!

Ada apa?

Hingga hari ini Sabtu (5/3), dua hari berlalu sejak Pemilu Raya Kema FH-UH. Namun hasil Pemiu Raya masih belum jelas. Ada kejanggalan yang terjadi di fakultas yang seharusnya paling mengerti hukum dan demokrasi, ada apa?

Berdemokrasi adalah hak, kebebasan adalah hak, bahkan ide dasar hukum adalah kebebasan, tetapi bukan berarti mengabaikan kebebasan orang lain. Boleh saja mempraktikkan demokrasi, politik, atau apapun di sini, tapi ingat ada etika, ada hukum, yang mengharuskan kita menggunakan mata tidak untuk diri sendiri, lihat orang lain!

Kita memang terlalu hebat mengkritik, bahkan kita yang paling hebat! Tapi kita sering lupa “menuntaskan” kritik pada diri sendiri. Nyatanya bukan idealisme yang hidup dan membara di dalam dada kita tetapi nafsu untuk berkuasa, kita begitu membenci kecurangan tapi kita menjilatnya sampai ujung kemaluan! Memalukan!

Cerita Prof. La Ode M. Syarief  Jumat (4/3) kemarin,  saat membawakan materi Seminar Anti Korupsi soal mahasiswa yang masih terbiasa menyontek adalah contoh kecil tidak sanggupnya kita mengkritik diri sendiri. Mungkin apa yang terjadi di Pemilu Raya Kema FH-UH juga menjadi contohnya! Kita sering menolak segala tindakan intimidatif dan intervensi, tetapi melihat apa yang terjadi di Pemilu Raya Kema FH-UH hingga kenyataan bahwa hari ini belum ada hasil, sudahkah kita bebas dari melakukan tindakan itu? Apa kabar demokrasi? Ada apa?

Makassar, 5 Maret 2016

Related posts: