web analytics
header

Tentang Achmad Ali

Oleh : M. N. Faisal R. Lahay
Hukum di Indonesia bagaikan jaring laba-laba. Hanya mampu menjerat serangga-serangga kecil, tapi tidak sanggup menangkap binatang-binatang besar.” Achmad Ali.
P
agi ini kuterima SMS dari seorang teman di Makassar. Kabar duka berselimut haru mengiringi pesan yang kubaca. Guru Besar Fakultas Hukum Unhas, Prof. Achmad Ali menutup usia di umurnya yang ke-59. Menjadi satu luka tersendiri bagi keluarga besar Fakultas Hukum Unhas, yang telah kehilangan satu sosok akademisi penting. Kesedihan juga menyelimuti dunia percaturan hukum nasional di Indonesia, karena salah satu pakar hukum di negeri ini harus berpulang kepada Sang Khalik. “Semoga kau tenang di sisi-Nya, Prof.”
Agustus 2010. Pertama kali aku menginjakkan kaki di kota Makassar. Beribu pertanyaan muncul dalam benakku. Apa yang harus aku lakukan untuk memulai semuanya. Gelar alumni dari salah satu Sekolah Menengah Atas terbaik di kampungku (Gorontalo, red) sepertinya tidak banyak membantu. Beasiswa yang telah aku dapatkan selama bertahun-tahun di bangku sekolah dulu, seakan masih belum bisa memperjelas arah pendidikan dan karirku ketika aku menerima pengumuman bahwa aku berhasil lulus SNMPTN di Fakultas Hukum Unhas.
Ya, aku benar-benar tidak memiliki rencana yang pasti saat itu. Cita-citaku semula yang berkeinginan masuk di jurusan komunikasi Undip menjadi sirna. Hanya berhasil lulus di pilihan kedua dalam lembar peserta SNMPTN yang ternyata sedikit memangkas semangat kuliahku. Namun keyakinan bahwa rencana Tuhan itu lebih baik kembali meneguhkanku. Dengan menguatkan tekad dalam hati, aku melanjutkan langkahku mengarungi kota Makassar.
Fakultas Hukum Unhas. Tempatku sekarang menimba ilmu. Tepatnya, menimba banyak ilmu. Aku kembali teringat saat kuliah perdanaku di ruang Aula Prof. Baharuddin Loppa. Mata kuliah yang pertama kupelajari adalah Pengantar Ilmu Hukum, dan dosen pengajarnya adalah Prof. Achmad Ali. Dosen pertamaku. Aku sering tersenyum sendiri saat tahu bahwa aku telah menjadi mahasiswa ketika itu. Terlebih lagi ketika aku sadar bahwa yang sedang mengajarkanku di depan kelas adalah salah satu pakar hukum terbaik di negeri ini.
Berbicara tentang beliau, kita tidak pernah terlepas dari sosok cerdas dan penuh kontroversial dari diri seorang Achmad Ali. Semangat idealismenya dalam memperjuangkan keindependensian dirinya sebagai akademisi hukum selalu dipegang teguh. Keberaniannya dalam menyampaikan kebenaran tentang hukum yang sering dibelokkan oleh para politikus terkadang dinilai terlalu frontal oleh khalayak. Namun itulah Achmad Ali. Tokoh panutan bagi semua mahasiswa Fakultas Hukum Unhas.
Aku kembali teringat pengalaman pribadiku tentang beliau kala pertama kali ia masuk memberikan materi. Di akhir perkuliahan, beliau menyuruh kami membeli buku karangannya sebagai salah satu buku wajib untuk mata kuliah Pengantar Ilmu Hukum. Judul bukunya adalah “Menguak Teori Hukum.” Buku yang berharga 150 ribu rupiah itu diwajibkan untuk dimiliki oleh seluruh mahasiswa. Tentu saja itu sangat memberatkan bagi para mahasiswa baru yang kurang mampu dalam segi ekonomi. Namun beliau tetap bersikeras agar semua mahasiswanya bisa memiliki buku tersebut tanpa meng-copy-nya.
Ya, kefanatikan beliau dalam membaca sebisa mungkin ia tularkan pada semua anak didiknya. Bahkan ada satu pernyataan kontroversial yang pernah ia ungkapkan. “Hanya orang bodoh yang mau meminjamkan buku kepada orang lain. Namun hanya orang gila yang mau mengembalikan buku pinjamannya kepada sang pemilik.” Hal tersebut tentu saja mengundang banyak penafsiran yang berbeda dari kami (mahasiswa, red) dalam memahami kepribadian dari dirinya.
Kefrontalan beliau dalam menyampaikan pengalamannya selama bergelut dalam dunia hukum bersama para pejabat tinggi nasional, selalu menjadi alasan penguat bagi kami untuk tetap duduk rapi dalam kelas. Perasaan kagum hingga gelak tawa menjadi reaksi kami setiap mendengar pengalaman dari beliau. Bahkan ia sering  menghabiskan dua jam waktu perkuliahan hanya untuk memotivasi kami dengan cerita-cerita dari pengalaman beliau tersebut, yang pada intinya hanya satu, rajinlah membaca.
Terlepas dari itu semua, sosok cerdas, berani, independen, dan humoris dari beliau ternyata kini menjadi alasan bagiku untuk tetap bertahan dan melanjutkan cita-citaku di Fakultas Hukum ini. Selamat jalan, Prof. Terima kasih untuk semuanya.

Related posts: