Oleh: Amiruddin
M
|
endengar kata korupsi, tentunya sudah bukan hal yang baru lagi. Hampir tiap hari seluruh media menyajikan berita mengenai kasus korupsi yang terjadi di negeri ini. Perilaku korup yang terjadi tidak hanya dilakukan oleh pemegang tampuk kekuasaan yang ada di Jakarta sana, melainkan sudah sampai ke pelosok daerah sekalipun. Bagaikan penyakit kanker yang menjangkiti tubuh seseorang, korupsi pun berkembang dengan sendirinya. Dan tidak mengherankan jika saat ini Indonesia berada dalam posisi yang terbilang sangat tinggi dalam hal tindak pidana korupsinya. Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah, penegak hukum, dan penggiat anti korupsi untuk mencegah korupsi, namun upaya yang dilakukan masih terkesan jalan di tempat dan cenderung tebang pilih.
Kata korupsi yang kita sering dengar sekarang berasal dari kata latin corruptio yang berarti kerusakan atau kebobrokan atau perbuatan tidak jujur yang dikaitkan dengan keuangan. Sedangkan dalam Black’s Law Dictionary, korupsi adalah perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan suatu keuntungan yang tidak resmi dengan hak-hak dari pihak lain secara salah menggunakan jabatannya atau karakternya untuk mendapatkan suatu keuntungan untuk dirinya sendiri atau orang lain, berlawanan dengan kewajibannya dan hak-hak dari pihak lain. Melihat pengertian dari korupsi, sudah bukan hal yang mencengangkan lagi jika pemilik tampuk kekuasaan selalu menjadi aktor utama dalam tindak pidana korupsi. Bukan hanya dilakukan oleh penguasa yang ada di pusat, tetapi penguasa yang ada di daerah seperti gubernur dan bupati pun sudah seringkali menjadi pelaku tindak pidana korupsi.
Beberapa perkara korupsi yang melibatkan para penguasa di daerah diantaranya adalah kasus korupsi yang melibatkan Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam periode 2000-2005, Ir.H.Abdullah Puteh, M.Si. dala pengadaan helikopter untuk kegiatan operasional sang gubernur. Selain itu juga ada Bupati Kutai Kartanegara, Prof. Dr. Syaukani Hassan Rais, MM., yang terlibat dalam perkara korupsi APBD Kabupaten Kutai Kartanegara. Perkara korupsi yang dilakukan oleh gubernur dan bupati tersebut, sebenarnya hanya merupakan segelintir perkara dari sekian banyak perkara korupsi yang melibatkan pemimpin yang ada di negeri ini.
Sebagai suatu negara yang mengagungkan hukum dalam kehidupan bernegaranya, tentu sudah menjadi hal yang lumrah jika kita memiliki berbagai macam aturan dalam hal pemberantasan tindak pidana korupsi. Hal ini dapat kita lihat dengan adanya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang kemudian hadir Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Tidak berhenti sampai di situ saja, upaya yang dilakukan oleh pemerintah, penegak hukum, dan penggiat anti korupsi untuk mencegah semakin berkembangnya perilaku korup di kalangan masyarakat.
Pembentukan lembaga Ad Hoc yang bernama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kemudian menjadi harapan besar bangsa Indonesia dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Namun sayang, KPK yang notabene superbody belum mampu memberantas tindak pidana korupsi secara konsisten sesuai dengan apa yang menjadi tujuan awal dibentuknya lembaga ini.
Berbagai hal dituding menjadi faktor utama mandeknya pemberantasan tindak pidana korupsi oleh penegak hukum saat ini. Salah satunya adalah adanya praktik tebang pilih yang dilakukan oleh
institusi penegak hukum kita. Praktik tebang pilih yang dimaksud di sini adalah pemberantasan tindak pidana korupsi yang cenderung hanya untuk orang atau badan hukum tertentu yang dipilih oleh penegak hukum kita saja. Sedangkan orang atau badan hukum yang dekat dengan kekuasaan, hanya sedikit yang tersentuh hukum.
O.C. Kaligis menganalogikan praktik tebang pilih korupsi dengan pohon yang terserang hama. Demi mengatasi supaya hama itu tidak menyebar ke pohon lainnya, maka pohon tersebut harus ditebang. Karena apabila tidak ditebang, pohon yang terserang hama itu dapat menularkan hamanya
kepada pohon yang lain. Namun faktanya di negeri kita dalam memberantas tindak pidana korupsi, si penebang memilih pohon mana yang mau ditebang. Tidak semua pohon yang terkena hama itu ditebang. Itulah sebabnya sehingga penanganan korupsi di negeri kita terkesan tebang pilih, yang apabila terus dibiarkan, penanganan tindak pidana korupsi tu tak akan pernah tuntas.
Melihat realita yang terjadi hari ini, tentunya sebagai generasi muda yang diharapkan menjadi penerus tongkat estafet kepemimpinan negeri ini kita perlu menanamkan nilai-nilai moral sejak dini. Terkhusus kepada calon penegak hukum dan penegak hukum yang telah ada saat ini, perlu memagari diri dengan moral, etika, dan integritas yang tinggi dalam menegakkan keadilan utamanya dalam memberantas tindak pidana korupsi. Karena tanpa menanamkan nilai moral, etika, dan tak
berintegritas, tentunya cita-cita akan terwujudnya good government dan clean government hanya menjadi mimpi belaka.
Semoga saja generasi muda penegak hukum yang telah lahir maupun yang akan lahir dari Kampus Merah ini, dapat menjadi penegak hukum yang menerapkan konsep sapu bersih dalam penanganan tindak pidana korupsi, serta menghapus konsep penanganan korupsi secara tebang pilih. Semoga saja.