Tidak dipungkiri lagi bahwa demokrasi menjadi salah satu metode penyelenggaraan pemerintahan negara yang paling dominan di dunia, termasuk dalam menentukan seorang pemimpin. Dalam kehidupan yang modern, tuntutan penghormatan terhadap kebebasan dan hak-hak individu sangat tinggi, berakhir pada pengukuhan liberalisme sebagai landasan kehidupan. Demokrasi merupakan jawaban atas tuntutan tersebut, memberikan hak kepada individu untuk turut mengambil sikap dalam segala aspek yang meyangkut kehidupannya. Konsep demokrasi yang berarti dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat, mamaknakan kedaulatan rakyat, yang berarti rakyat secara mandiri dan independen memiliki kekuasaan tertinggi dalam seluruh pengaturan aspek kehidupan yang terkait dengannya. Dewasa ini, banyak kalangan yang kembali mempertanyakan keampuhan metode demokrasi dalam mewujudkan keadilan dan kesejahteraan rakyat, bertolak dari realita bahwa negara yang menganut sistem demokrasi ternyata malah menciptakan memiskinkan dan menyengsarakan rakyat. Oleh karena itu, muncul pertanyaan, apakah demokrasi hanya kedok bagi orang yang menginginkan kebebasan sebebas-bebasnya tanpa batas, termasuk kebebasan dalam sektor ekonomi (kapitalisme)?
Permasalahan diatas merupakan pokok pembahasan organisasi Gema Pembebasan dalam acara diskusi rutin bulanan yang diistilahkan Dialogika.“Ilusi Negara Demokrasi “ merupakan tema acara yang berlangsung di peletaran Baruga A.P Pettarani, Kampus Unhas, tamalanrea, pada hari rabu (5/12). Acara yang berlangsung Pukul 16.20-17-50 WITA menghadirkan tiga orang pembicara, yakni Marwan dan Rizal Fauzi dari Fakultas Sosial Politik Unhas, dan Ahmad Basri dari Fakultas Teknik Unhas.
Pancasila sangat menjunjung nilai-nilai demokrasi sebagaimana tercantum dalam sila keempat pancasila. Marwan dalam pemaparannya menyatakan bahwa pancasila merupakan landasan yang ideal dalam membangun bangsa, namun realitanya pancasila tidak teraktualisasi dengan baik. Pancasila juga telah didistorsi oleh paham liberalisme Barat, termasuk dalam sistem politik. Bahkan dapat dinyatakan bahwa demokrasi yang ada sekarang bukan demokrasi pancasila, tetapi demokrasi liberal Barat. Ketidakmampuan demokrasi dalam dalam mewujudkan tujuan negara, tidak selayaknya dijadikan dasar untuk meyatakan bahwa demokrasi adalah “cacat”, karena demokrasi sendiri punya banyak sistem yang dianggap ideal dalam mencapai tujuan tertentu, misalnya demokrasi liberal, demokrasi sosialis, demokrasi islam, maupun demokrasi pancasila.
Sejalan dengan pandangan Marwan, Rizal Fauzi menegaskan bahwa demokrasi di negara ini harus diselenggarakan dengan sistem yang memungkinkan tercapainya keadilan dan kesejahteraan rakyat. Termasuk jika dasarnya adalah demokrasi islam berdasarkan musyawarah mufakat yang tidak bertentanan dengan nilai-nilai pancasila, namun faktor eksternal berupa hegemoni pemikiran demokrasi liberal dari dunia Barat di negera ini, dan faktor internal yaitu banyaknya perbedaan mazhab, paham, dan aliran dalam umat islam sendiri, sangat berpengaruh pada efektifitas penerapan demokrasi islam. Ahmad Basri juga menegaskan dukungan penerapan demokrasi islam, dia menegaskan bobroknya sistem demokrasi yang menjunjung kedaulatan rakyat, tidak sejalan dengan ajaran islam yang menetapkan kedaulatan hanya milik tuhan. Menurutnya, demokrasi merupakan rangkuman dari paham sekulerisme, liberalisme, dan kapitalisme. Manusia sebagai makhluk yang penuh keterbatasan megimplikasikan buruknya sistem yang bertolak dari manusia, terutama karena sarat dengan kepentingan, sehingga manusia seyogianya membentuk sistem kehidupan yang berlandaskan pada kedaulatan tuhan yang Maha Sempurna.
Mengingat perjalanan reformasi ternyata tidak memberikan perubahan yang berarti, menurut Ahmad Basri disebabkan karena runtuhnya orde baru dan dimulainya orde reformasi tahun 1998 hanyalah pergantian rezim, bukan pergantian sistem. Oleh karena itu, harus diadakan perubahan sistem, yaitu menegakkan demokrasi berdasarkan ajaran islam yang berdiri kokoh diatas tiga pilar, yaitu individu dan masyarakat ialam yang sudah terpenuhi, namun negara islam merupakan pilar terakhir dan terutama yang belum tercapai.
Menanggapi megenai kaitan demokrasi pancasila dengan demokrasi islam, kembali Rizal Fauzi menegaskan bahwa tidak ada pertentangan diantara keduanya. Meskipun demikian, mengokohkan negara berdasarkan demokrasi islam masih menghadapi tantanan besar, terutama tersekatnaya umuat islam dalam berbagai paham, aliran, dan organisasi yang megatasnamakan islam. Mewujudkan negara islam untuk menerapkan demokrasi islam juga berhadapan dengan pertanyaan, dimana ibukota negara islam tersebut? Siapa yang menjadi pemimpin? Mazhap apa yang digunkan?
Di waktu akhir diskusi tersebut, Rizal Fauzi kembali menegaskan bahwa demokrasi pancasila merupakan sistem yang ideal untuk mencapai tujuan negara. Dalam aspek pemerintahan misalnya, rakyat diberikan hak untuk turut dalam penyelenggaraan negara, termasuk memilih pemimpin yang dianggap amanah. Namun demikian, untuk menunjang hal tersebut, menurutnya, perlu diadakan pandidikan demokrasi pancasila yang memadai, yaitu memadukan antara kecerdasan dan nilai-nilai moral, sehingga rakyat dalam menyalurkan hak-hak demokrasinya, independen berlandaskan ideologi yang kokoh, tanpa terdistorsi paham-paham yang dapat menusak nilai demokrasi itu sendiri. (RTW)