Meskipun secara teoritis impeachment (pemakzulan) bisa terjadi,
namun kenyatannya hal tersebut memang sulit.
Akhir-akhir ini gagasan impeachment (pemakzulan) kepada wapres Budiono terus bergulir meramaikan berbagai media pemberitaan. Proses impeachment diusung sejumlah politisi dengan memulai dari Hak Menyatakan Pendapat (HMP) atas wapres Budiono terkait dugaan keterlibatannya dalam kasus skandal pengucuran dana talangan Bank Century yang mencapai 6,7 triliun rupiah.
Wacana impeachment ini kembali mencuat kepermukaan setelah Ketua KPK, Abraham Samad, menyatakan bahwa lembaga yang dipimpinnya tidak memiliki kewenangan menyelidiki mantan Gubernur Bank Indonesia (Budiono) dalam kasus bailout Bank Century. Bahkan parahnya lagi, saat ia menyebutkan Budiono sebagai warga negara “istimewa”.
Tak ayal, pernyataan ketua KPK ini pun mendapat berbagai tanggapan seketika. Salah satunya dari Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD, yang menanggapinya dengan skeptis, sebagaimana dikutip pada Detik News (Jumat, 23 November 2012). Mahfud menegaskan tidak ada yang “istimewa” di depan hukum dengan mendasarkannya pada asas equality before the law. Namun menurutnya, mustahil membawa Wapres Budiono ke proses impeachment. Impeachment atau pemakzulan terhadap Presiden dan/atau Wapres sulit dilakukan di Indonesia disebabkan dukungan parlemen terhadap pemerintah. Berdasarkan aturan, proses pemakzulan dimulai dengan rekomendasi politik parlemen kepada MK bahwa Presiden dan/atau Wapres telah melanggar konstitusi. Tapi karena dukungan parlemen terhadap pemerintah terlalu kuat, maka sulit untuk mengegolkan rekomendasi pemakzulan.
Mekanisme Impeachment
Mekanisme impeachment terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden diatur dalam Pasal 7B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945). Dalam pasal tersebut, menegaskan, bahwa mekanisme impeachment di Indonesia harus melalui tiga tahap pada tiga lembaga tinggi negara yang berbeda, yakni DPR, MK dan MPR.
Pasal 7B ayat (1)
Usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Mengacu pada alur impeachment yang diatur dalam UUD NRI 1945 sebagai hukum tertinggi (highest law) di atas, terlihat DPR menjadi “pemain utama” dalam drama impeachment di Indonesia. Sedangkan berdasarkan fungsi pengawasan yang diemban DPR, bilamana dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya tersebut, DPR menemukan bahwa Presiden dan/atau Wakill Presiden telah melakukan pelanggaran hukum dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden, maka diadakanlah Rapat Paripurna DPR. Rapat Paripurna harus dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 (dua per tiga) dari seluruh anggota. Dan jika 2/3 (dua per tiga) dari anggota yang hadir bersepakat untuk menyatakan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan tindakan yang tergolong dalam alasan-alasan impeachment (Pasal 7A UUD NRI 1945), maka putusan rapat tersebut selanjutnya dibawa ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Adapun kompetensi MK, ialah wajib memerikasa, megadili dan memberikan putusan atas pendapat DPR tersebut. MPR melalui Rapat Paripurna yang dihadiri sekurang-kurangnya 3/4 (tiga per empat) anggota dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 (dua per tiga) dari jumlah anggota yang hadir, mengambil keputusan. Ada tiga kemungkinan putusan yang dijatuhkan MK atas perkara ini. Kemungkinan pertama adalah amar putusan MK menyatakan permohonan ‘tidak dapat diterima’, kemungkinan kedua adalah permohonan ‘ditolak’ dan kemungkinan ketiga adalah amar putusan MK menyatakan ‘membenarkan pendapat DPR’. Apabila MK menjatuhkan putusan membenarkan pendapat DPR, maka DPR mengadakan Rapat Paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada MPR.
Setelah menerima usul DPR, MPR wajib menyelenggarakan sidang untuk memutus usulan DPR dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah MPR menerima usulan tersebut. Pengambilan putusan terhadap usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dilaksanakan melalui mekanisme pengambilan suara terbanyak. Persyaratan pengambilan suara terbanyak itu adalah diambil dalam rapat yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4 (tiga per empat) jumlah anggota Majelis (kuorum), dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir yang memenuhi kuorum.
Banyak yang memahami bahwa impeachmentmerupakan turunnya, berhentinya, atau dipecatnya Prsiden dan/atau Wakil Presiden dari jabatannya. Sesungguhnya arti impeachment sendiri merupakan tuduhan atau dakwaan sehingga impeachment lebih menitik beratkan kepada prosesnya, dan tidak mesti berakhir dengan berhentinya atau turunnya Prsiden dan/atau Wakil Presiden dari jabatannya. Ini seringkali kurang dipahami, sehingga seolah-olah lembaga ‘impeachment’ itu identik dengan ‘pemberhentian’. Padahal proses permintaan pertanggungjawaban disebut impeachment.
Memang jelas terlihat bahwa proses impeachmentini tidaklah sederhana. Sepanjang praktek ketatanegaraan degara-negara di dunia, proses impeachment yang berhasil dilakukan masih dapat dihitung dengan jari.
Di Indonesia sendiri memperlihatkan bahwa proses impeachment yang bermula dari pendapat DPR adalah lebih bernuansa politis. Sedangkan proses impeachmentdi MK adalah untuk melihat tuduhan impeachment kepada presiden dan atau wakil presiden dalam perspektif hukum. Di MPR, yang putusannya bersifat final dalam proses impeachment, juga lebih bernuansa politis.
Permasalahannya adalah pada pelaksanaan putusan MK. Ketika MK secara hukum telah memutuskan Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran, namun mayoritas suara di MPR tidak mendukung pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden sehingga suara di MPR kurang dari 2/3 dari jumlah anggota yang hadir. Maka putusan MK tidak bisa dijalankan oleh MPR. Implikasinya Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak dapat diberhentikan.
Keadaan demikian sangat dimungkinkan, mengingat ketentuan di atas dapat menjadi alasan MPR bahwa tindakan yang dilakukan adalah konstitusional, yaitu sesuai dengan apa yang diatur dalam Pasal 7B ayat (7) UUD NRI 1945, dan suara anggota MPR cenderung dipengaruhi oleh konfigurasi politik. Sehingga walaupun secara hukum Presiden dan atau Wakil Presiden dinyatakan melakukan pelanggaran, namun secara politik MPR tetap menghendaki Presiden dan/atau Wakil Presiden melaksanakan jabatannya.
Tidak dapat dipungkiri meskipun Indonesia mengaku negara hukum seperti yang tercantum dalam Pasal 1 ayat 3 UUD NRI 1945. Namun dalam praktik ketatanegaraan, yang terjadi justru keputusan politik menjadi pilihan utama dan terakhir dalam proses pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden. Konsep negara hukum di Indonesia berkaitan dalam pemakzulan masih lemah karena cenderung dipengaruhi oleh konfigurasi politik. Oleh karena itu, supremasi hukum harus senantiasa diperkuat, sehingga hukum dan konstitusi dapat ditegakkan tanpa intervensi politik.
Jadi, wajarlah sikap skeptis yang ditunjukkan oleh Mahfud MD, karena memang sulit membawa Boediono ke proses impeachment, baik ditinjau dari segi praktis maupun konstalasi politik kita saat ini. Namun terlepas dari itu, hukum harus tetap ditegakkan!
Referensi :
Winarno Yudho, dkk. 2005. Mekanisme Impeachment dan Hukum Acara Konstitusi: Seri Penelitian Mahkamah Konstitusi. Jakarta: Pusat Penelitian dan Penkajian Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.