web analytics
header

Aku Butuh Kasih, Bukan Tahta!

Oleh : Ramli
(Divisi Litbang LPMH-UH Periode 2012-2013)

Terlalu dalam pengharapannya akan hidup yang selamanya seperti itu. Selalu senang bersama, bahkan saling merindukan meski berpisah sejenak saja. Tak ada kekhawatiran bahwa sang kekasih akan  berpaling darinya. Demi menjaga kesetiaan itu, dia tundukan pandangannya jika berpapasan dengan lawan jenisnya yang lain, ataupun mengecutkan senyuman manis selain kepada sang pujaan. Terlihat itu berjalan seperti yang diharapkan. Mereka begitu menikmati tentang dunianya saja. Tak ada kejenuhan dalam dunia buaian itu, hingga tak ada batas  antara terang dan gelap.
Segalanya berubah, kesetiaan sang kekasih luntur seketika, padahal mereka telah melangkah begitu jauh. Kini waktu adalah penyesalan, menyesalkan kesenangan semu yang tak pernah dipikirkan akhirnya. Hari demi hari, buah cinta yang tak pernah diharapkan kekasihnya tumbuh di balik daster lusuh. Menundukkan pandangan dan mengecutkan senyuman bukan lagi untuk kesetiaan, hanya untuk menghindari pertanyaan orang lain perihal busungnya itu. Waktunya kini untuk membenci cinta itu, menghina kesempurnaan itu, dan menggaringkan kata manis itu. 
“Akan tetap kujaga buah hatiku, meskipun harus kulalui sendiri,” tekad calon Ibu muda itu.
***
Dua puluh satu tahun berlalu saat ia meniggalkan kekasihnya demi menutup aib. Hanya demi menjaga nama baik keluarga dan demi menjaga kepercayaan ayahnya untuk memimpin perusahaan.
“Rahman, kau tahu sejak dulu perusahaan itu dikelola secara turun temurun. Ayah berpesan agar kau tidak merusak nasab keluarga kita. Itu merupakan hukum yang keluarga kita junjung sejak dulu. Itu demi kehormatan keluarga dan juga demi perusahaan,” pesan orang tuanya yang terbaring lemah di rumah sakit.
“Aku akan…,” belum selesai menyampaikan maksudnya, sang pewaris tahta telah kehilangan sang ayah untuk selamannya. Keraguan melanda dirinya, mampukah ia melaksanakan amanah sang ayah?
Seiring waktu berjalan, semakin berkembang perusahaan di bawah kendalinya. Tapi tidak juga ia tertarik untuk mendapatkan pasangan hidup, juga memperoleh keturunan yang akan menggantikan tahtanya kelak. Padahal kini ia telah berumur 45 tahun dan hidup dengan penyakit stroke. Tentu penghianatan terhadap pesan sang ayah jika suatu saat strokenya kambuh dan merenggut nyawanya, tapi belum ada keturunan yang akan menggantikan tahtanya.
***
Selepas kuliah, lelaki itu langsung berjalan kembali ke rumahnya yang sederhana untuk menjaga toko kecil milik sang Ibu. Kelelahan menelusuri jalan, ia pun berhenti di sebuah halte. Baru sejenak beristirahat, ia melihat sebuah map yang ternyata berisi berkas-berkas yang kelihatannya penting. Tidak adanya petunjuk tentang pemilik map tersebut, diakalinya dengan menulis pengumuman di selembar kertas. Kertas itu lalu ditempel di dinding halte. Pengumuman itu berisi permintaan agar sang pemilik mengambil mapnya di rumah sesuai alamat yang tertulis.
Sesampainya di rumah, masih hanya berdua dengan ibunya. Seperti itulah yang ia pahami sejak ia mulai berfikir tentang sosok ayah. Tak pernah ada keterangan tentang keberadaan ayahnya, kecuali ibunya mengatakan  bahwa sang ayah telah meninggalkan sang ibu, ketika ia masih dalam kandungan.
“Perempuan lebih paham arti mengasihi untuk memberikan kasih yang sesungguhnya. Harun, selama ibu masih ada, akan tetap mengasihimu. Untuk apa mencari orang yang belum tentu mencari dan mengasihimu?” tegas ibunya dengan nada tinggi, membuatnya enggan mempertanyakan tentang keberadaan ayahnya lagi.
Hari berganti, di sore hari, datanglah seseorang yang kelihatannya mapan. Nampak dari penampilannya, berjas, berdasi, berkacamata hitam, dan sepatu pantofelnya yang ia kenakan. Lelaki itu ternyata menghampiri toko Harun.
“Mau beli apa Pak?”  tanya Harun.
Dengan penuh heran, lelaki itu tertahan menjawab pertanyaan Harun. Kelopak mata yang menyempit terlihat jelas saat lelaki itu melepas kacamata hitamnya. Dia merasa mengenali garis wajah anak muda tersebut, sama dengan anak yang pernah dijumpainya 13 tahun yang lalu. Seorang anak yang bernama Ali Rahman.
“Tidak, aku tidak ingin beli apa-apa, cuma ingin mengambil map yang tercecer di halte kemarin. Map itu ada sama kamu kan, Nak? Jawabnya.
“Oh, iya, ini mapnya,” Sambil menyodorkan map berwarna hijau tersebut.
“Ambil ini untukmu Nak,” menawarkan beberapa lembar uang pecahan Rp. 100.000,- kepada Harun.
“Tidak usah, aku ikhlas menolong kok Pak,” tangkas Harun
Tawar-menawar berlangsung alot, hingga orang tua itu pun mengalah.“Terima kasih banyak kalau begitu. Aku pamit dulu, Nak,” lelaki itu sontak berbalik badan ketika ibu Harun menyingkap gorden pintu.
“Aku menyesal telah menggadaikan cintaku dangan harta dan tahta. Wanita yang dulu aku cintai sudikah menerima aku kembali? Semoga dia telah meredam perih, memudarkan kenangan masa lalu, bahkan tidak mengenal aku lagi. Aku tak ingin ia terluka karena mengungkap kenangan masa lalu itu. Aku lebih baik menghindar, karena kutahu benar dia mencintaiku tapi aku tega meninggalkannya. Semua itu karena egoku atas nama harta dan tahta,” renungnya dalam hati sambil menjauh dari toko Harun.
Dalam perjalanan pulang dengan mobil sedannya yang berwarna merah, dia tetap teringat dengan pesan sang ayah sebelum meninggal. Pesan itu agar ia menjaga baik nasab keluarga, demi kehormatan keluarga dan kelanjutan dari pengurusan perusahaan.
Sesampainya di rumah, stroke Rahman kembuh lagi. Seketika itu juga ia langsung dibawa ke rumah sakit.
“Kau adalah anak kami satu-satunya. Seharusnya sedari dulu kau mencari pasangan hidup untuk memberikan cucu kepada kami. Dan untuk memberikan kami seorang cucu yang amanah dan mampu memimpin perusahaan keluarga nantinya,” sesal sang ibu yang sudah tua renta.

                                                                     ***

Pagi-pagi sekali, sepucuk surat datang ke rumah Harun. Hal itu terasa aneh, nama pengirim yang tertera adalah Rahman, padahal Harun maupun Ibunya sama sekali tidak mengenal.
“Mungkin sudah terlambat untuk menyesali keegoisanku. Tapi ini bukan tentang kita. Setidaknya inilah caraku mengikis dosaku di masa lalu. Terutama dosaku kepada putra kita. Setidaknya, ini caraku menunjukkan kasih sayangku kepadanya. Aku tahu benar hari-hari lalu yang ia jalani penuh dengan perjuangan. Tapi kumohon, izinkanlah untuk masa depannya yang masih panjang, biarkan putra kita menikmati apa yang akan kutinggalkan untuknya, menjadi pemilik perusahaanku. Kutahu keputusanku meninggalkanmu dengan putra kita demi kehormatan keluargaku dan kemewahan, pantas dibalas dengan kebencian darimu dan darinya,” demikianlah pesan dalam selembar surat itu.
“Bagaimana tanggapanmu Nak,” tanya Ibu.
“Andai saja tawaran ini bukan sebab yang melukai aku dan Ibu, aku akan mengemban amanah itu,” jawab Harun.

Related posts:

Suara Hati Pusara

Oleh: Fadlin Yunus Halimah dengan muka menunduk, duduk di hamparan tanah seluas 800 meter persegi. Dengan mata sembab ia memegang

SIAL!

Penulis: Jellian (Pengurus LPMH-UH Periode 2023/2024) Remang lampu Kafe tidak lantas membuat perempuan muda itu mengantuk, tugas kuliah yang diberikan

Koridor Lima

Penulis: El “Dek…” Pria dengan jaket parasut hijau berlogo aplikasi transportasi online itu menggoyangkan pelan bahu perempuan di sampingnya, lebih