web analytics
header

Catatan Luka Ibu

Sumber: Ilustrasi Penulis

Oleh: Fadlin Yunus

Degup jantungku semakin cepat, berkejaran dengan suara langkah kaki ayah yang menelusuri setiap sudut rumah. Denting sepatu botnya di lantai semen seolah menghantam langsung dadaku. Nafasku tercekat, tubuhku kaku dalam kegelapan malam. Aku bersembunyi di balik lemari, memeluk lutut, menahan gemetar yang tak kunjung reda.

“Di mana kau, perempuan busuk?! Cepat keluar!” teriak ayah, suaranya memecah malam seperti petir di langit mendung. Aku tahu, yang ia cari adalah ibu.

Lalu terdengar suara tamparan. Jeritan. Rintihan. Suara tubuh yang membentur dinding. Ibu. Suara itu adalah milik ibu.

Aku tak berani bergerak. Bahkan untuk menangis pun aku takut. Tapi air mataku jatuh begitu saja, mengalir membasahi lutut yang kupeluk erat. Dari sela pintu lemari, samar kulihat ibu merangkak tertatih, tubuhnya penuh luka lebam, sundutan rokok membekas di kulitnya, seolah menjadi lukisan penderitaan yang tiada habisnya.

Dengan tubuh ringkihnya, ibu membuka pintu lemari tempatku bersembunyi dan langsung memelukku. Pelukan lemah, tapi hangat. Nafasnya berat, matanya berkaca-kaca. “Maafkan Ibu,” bisiknya malam itu. Aku hanya membalasnya dengan isak tangis kecil, memeluknya seerat yang bisa dilakukan tangan kecilku.

Aku tak pernah benar-benar memahami apa yang terjadi saat itu. Yang kutahu, hidup kami penuh luka dan ketakutan.

________________________________________

Dua puluh tahun telah berlalu.

Hari itu aku kembali ke rumah masa kecilku. Rumah yang lama tak berpenghuni, sepi dan dipenuhi debu. Setelah menikah, aku dan suamiku memutuskan untuk merenovasi rumah ini, menjadikannya tempat tinggal baru bersama anak kami yang masih balita.

Saat membersihkan lemari tua di kamar ibu, tanganku menyentuh sesuatu. Sebuah buku catatan, lusuh dan pudar, terjepit di antara tumpukan kain usang. Ada namanya di sampul depan: Milah. Ibu.

Aku duduk di lantai, membuka halaman demi halaman dengan tangan gemetar. Isinya bukan catatan belanja atau resep masakan seperti yang kupikirkan. Tapi curahan hati. Catatan rahasia. Luka yang selama ini ibu simpan rapat.

Dan di sanalah, kebenaran itu terbentang di hadapanku, menampar kesadaranku yang selama ini tak bertanya.

Ayah menyiksa ibu karena ibu pernah berselingkuh.

Tapi bukan itu yang membuatku terguncang.

“Aku tahu perbuatanku salah,” tulis ibu, “tapi di titik tergelap hidupku, hanya dia yang membuatku merasa dihargai sebagai manusia… Dan dari dosaku itu, lahirlah kamu, anakku.”

Tanganku gemetar memegang halaman itu. Air mata menetes tak tertahan, membasahi kata-kata yang tak akan pernah bisa kutanyakan lagi padanya. Aku adalah anak dari lelaki yang bukan suami ibuku. Anak hasil dari perselingkuhan.

Hidupku seakan terpecah dua. Bagaimana bisa aku menerima ini? Bagaimana bisa aku memaafkan sesuatu yang mengubah segalanya? Tapi lebih dari itu, bagaimana bisa aku membenci ibu—satu-satunya orang yang melindungiku dalam luka dan air mata?

________________________________________

Malamnya, aku duduk sendiri di kamar lama itu, di pojok tempat aku pernah bersembunyi, tempat ibu pernah memelukku.

“Apa pun yang terjadi, Ibu tetap ibu,” bisikku, menatap buku catatan di pangkuanku.

Aku tahu hidup ibu bukan hitam-putih. Aku tahu ia pun manusia yang rapuh. Tapi di balik semua luka itu, ia tetap memilih mencintaiku. Tetap memelukku. Tetap melindungiku, bahkan dengan nyawa.

Dan malam itu, untuk pertama kalinya sejak sekian lama… aku memaafkan. Bukan hanya ibu. Tapi juga diriku sendiri.

Related posts:

Balada Memori

Oleh: Sery Binar matanya yang kekal dalam ingatanku A twinkle in his eyes that remains in my memory Genggaman tangan

Ramalan Cuaca

Oleh: Najwa As Salsabila Tentangmu, seolah menyesaki tiap arah angin yang tak bisa lagi diartikan arahnya. Tak ada wujud yang