web analytics
header

Asa Belia

Sumber: Ilustrasi Penulis

Oleh: Fadlin Yunus

“Diam! Jangan banyak tanya! Kau itu anak kecil, baru kelas satu SMP! Kalau berani mengulang pertanyaan itu lagi, siap-siap! tiap hari kamu akan ibu hukum! Jangan pikir ibu akan kasihan!”

Aku langsung ngegas menutup tugas sekolah yang sedang aku kerjakan di rumah sahabatku saat kata-kata ibu melintas di pikiranku.

“Aku pulang dulu ya, Fli! ucapku mengutip buku yang berserakan di ruang tamu rumah Kifli.

“Aku takut kalau terlambat pulang, nanti aku dimarahi lagi sama ibuku,” sambungku melirik ke arah jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 10 malam. Aku menepuk bahu Kifli lalu berlalu meninggalkan rumahnya.

Aku menapaki jalan pulang yang hanya diterangi temaram cahaya bulan. Sepanjang jalan aku berulang kali memandang bulan yang menggantung di atas kepalaku. Tak henti-hentinya wajahku menelurkan senyuman. Bagiku hanya bulan yang bisa memberikan kedamaian di hati.

“Kalau besar nanti, aku ingin pergi ke bulan. Akan ku ambil sepotong cahayanya lalu aku bawa pulang dan kugantung di rumah, agar kedamaian bersemayam di hati ibuku,” gumamku dalam hati.

Di depan rumah, langkahku terhenti tepat di jantung pintu. Aku seperti mendengar suara dari dalam.

“Apakah itu degup suara ibu? Tapi mana mungkin jam segini ibu sudah pulang,” bisik batinku.

Dengan sedikit mengendap-ngendap aku melanjutkan langkah menuju pintu belakang. Tapi belum genap pintu rumah aku tutup, aku dikejutkan oleh cahaya lampu yang mendadak menyala di ruang tamu.

Sepasang mata di hadapanku seperti mengeluarkan asap. Siapa lagi yang menghadangku kalau bukan ibuku. Tanpa mukaddimah, rotan di tangannya berkelebat di tubuhku mulai dari kaki sampai ke punggung. Tak ada yang melerai kekejaman ibuku karena yang berada di rumah hanya aku dan ibuku saja.

“Anak sial! tiap malam kerjanya berkeliaran, rasakan ini!” caci ibu yang merotani tubuh kecilku.

Itu hadiah dari ibu tiap kali aku tidak berada di rumah, sekalipun aku pergi belajar ke rumah Kifli sahabatku. Aku tetap saja mendapatkan hukuman dari ibu.

Bahkan tiga bulan yang lalu aku hampir saja kehilangan nyawaku saat aku menanyakan siapa lelaki yang setiap malam bersamanya di Pasar Impres. Untung saja hari itu pak RT berhasil melerai amarah ibuku yang menggunung. Ia menarik tangan ibuku sekerasnya yang sedang mencekik leherku.

Semenjak hari itu aku tidak pernah lagi menanyakan tentang laki-laki itu. Namun batin kecilku terus berbisik.

“Tubuhku mungkin rapuh di bawah hantaman rotan, tapi hatiku tetap menggenggam kuat mimpiku. Suatu hari nanti, aku akan memetik sepotong cahaya bulan, menggantungnya di rumah ini, dan membiarkan kedamaian tumbuh di setiap sudutnya. Di bawah langit malam, di balik setiap luka yang kusembunyikan, aku terus menggantungkan asa—percaya bahwa suatu saat, semuanya akan berubah.”

Related posts:

MAAF, KAMI LUPA HARUS DIAM

Oleh : Mei Salwa Asahara Ia lahir dari rahim sunyi, yang lelah melahirkan kata “maaf” kepada dunia untuk segala bentuk

Tangan Besi Perengut Rezeki

Oleh: Muhammad Supardi Di balik meja kekuasaan kau duduk dengan angkuh,Dengan tangan-tangan besimu, tinta hitam kau gores mencoret harapan.Ketukan palumu