“Di manakah kehidupan yang damai itu? Dalam hitungan detik, kesenangan menjadi kesedihan. Aku tak pernah tahu kapan terakhir aku akan menghela nafas, tapi semua telah ditetapkan dalam tabir kehidupan Sang Maha Mutlak. Mungkin caranya saja yang berbeda. Bisa saja aku berpindah ke alam yang abadi dan meninggalkan mereka yang berduka ditinggalkan aku, ataukah sebab aku pergi menimbulkan dendam dalam hati mereka kepada orang yang membuatku tak lagi menghela nafas,” begitulah kata hatinya yang tersentuh oleh lakon biadab di layar televisi. Memperlihatkan seorang anak yang histeris dan tak henti meronta karena ditinggalkan sang ayah untuk selamanya. Semua karena seseorang tega mengendalikan jarinya, menarik pelatuk pistol yang mengarah ke jantung sang ayah.
“Akankah mereka yang ditinggalkan hidup dalam kedamaian, atau larut dalam kesedihan dan mendendam selamanya? Pembunuh memang bejat!” Tanya dalam hatinya, sambil menghela nafas.
“Intan, tontonannya dihentikan sebentar Nak, ayo makan dulu. Kita tidak akan makan kalau harus menunggu sampai ayahmu datang, sepertinya ia tidak pulang lagi malam ini,” sahut ibunya.
Ia langsung bangun dari pembaringan menuju meja makan. Namun seperti tak ada nafsu makannya, hanya melentingkan piring kosong dengan sendok. “Memangnya ayah mengabari ibu? Kok sudah lima hari dia tidak pulang?” balas dengan raut wajah yang kesal.
“Nda usah risaukan itu. Ayahmu juga begitu demi kau. Syukurilah bahwa kehidupan kita berkecukupan sekarang, bahkan kau bisa kuliah. Semua itu karena ayahmu seorang pekerja keras,” nasehat sang ibu.
***
Hari berganti, di sore hari sehabis kuliah, hendak kembali ke rumahnya. Hingga langkahnya tertahan ketika mengetahui manik-manik kunci kamarnya tak lagi bergemerencing di saku jaketnya. Meskipun dia seorang mahasiswa baru yang pendiam dan enggan menyapa duluan, seketika itu menjadi orang yang ramah. Menanyai orang yang dipapasnya tentang kuncinya, sampai matanya menyorot pengumuman di mading. Setelah membaca petunjuk tersebut, langkahnya berbalik menuju bilik kecil yang sebelumnya tak pernah ia lirik, sebuah sekeretariat organisasi kemahasiswaan
“Permisi,” sapa Intan dengan suara lembutnya.
Dalam beberapa detik, tersingkaplah pintu. “Kenapa Dek? Ada yang bisa aku bantu,” lelaki itu balik bertanya kepada Intan yang lugu dengan pakaian hitam-putihnya.
Intan tampak grogi, menyunggingkan senyumnya, membuat lesung pipinya timbul tenggelam. “Anu Kak Ali, kunciku tadi jatuh Kak, ada di sini kan?” balasnya sambil menggaruk rambulnya, meskipun ibunya mengatakan bahwa ia tidak kutuan.
“Oh, itu kuncimu yah?” Sambil mengutik saku belakang celananya. “ini kuncimu. Dijaga yah Dek, jangan sampai jatuh lagi,” menyerahkan kunci itu sembari menatap mata Intan yang sayup dengan lentik bulu matanya .
“Terima kasih banyak Kak,” dengan menundukkan wajahnya ia berlalu.
Ali merasa aneh dengan hari ini, mengantarkannya pada saat-saat yang dia tidak pernah duga. Memang, sudah sejak beberapa hari yang lalu ia gemar sekali duduk di depan sekretariat organisasinya, setia menanti waktu mengantarkan Intan berlalu begitu saja di depan matanya. Sekadar mengharapkan kesejukan sejenak senyuman dan tatapan lugunya. Ataupun memandangi ayunan rambutnya yang dikuncir kiri dan kanan. Tapi masalah kunci itu telah membuatnya terbenam dalam perasaan itu, dan terlalu sulit menepis kekagumannya. Kini ukiran wajah yang sempurna itu telah terekam jelas dalam memorinya, menghiasi hayalan dan mimpinya.
“Begitukah cara hingga ia merubah duniaku. Apakah tidak sebaiknya aku sadar ini hanya tipuan tampilan luar semata? Aku pernah bertekad membenci larut dalam perasaan seperti ini untuk selamanya. Sampai tiba saatnya, aku yakin itu bukan permainan perasaan semata, tapi cinta yang nyata mendampingi hari-hariku sepanjang hidup. Aku berharap waktu akan membuatku menghargainya dengan cinta, bukan karena kecantikannya semata,” dilema dalam perasaan Ali.
Selepas kuliah, Ali menuju sepedanya untuk kembali mengayun pedal menuju rumahnya. Jaraknya memang tidak terlalu jauh, tak mungkin mengeramkan betisnya yang terbiasa melakukan itu. Baru beberapa meter roda berputar dari parkiran, terlihat gadis yang ia kagumi, memasuki mobil mewah, ditemani lelaki berkumis yang sepertinya ayahnya.
Masih seperti biasa, ia tetap berlalu tanpa peduli perhatian Ali. “Memang sepantasnya dia tidak menghiraukan aku. Dia pasti anak orang kaya, sedangkan aku…?” Kerendahan itu terbersit dalam hatinya.
Tidak terlalu lelah ia rasakan hingga sampai di rumahnya. Pemandangan berbeda ia temui, beberapa orang yang berpakaian rapi berdiri di depan rumahnya. Seperti robot yang tegap berdiri dan tak punya hati, tak juga mereka menenangkan ibunya yang terlihat menangis dan duduk melantai di tanah.
Ali bergegas menuju ibunya. “Ada apa Bu? Ada apa ini? Bertanya seperti marah sambil menopang ibunya untuk berdiri.
“Kalian harus pindah dari tempat ini dalam tiga bulan kedepan. Kalian tidak punya hak untuk mendirikan hunian di tanah perusahaan ini!” sambil menunjukkan surat bukti kepemilikan tanah perusahaan.
Waktu berlalu, membuat emosi Ali dan sang ibu terkendali, mencoba menerima kenyataan yang ada. Untuk sekarang, mereka hanya dapat saling menguatkan untuk menjalani hidup yang kejam.
“Apa benar tanah ini bukan milik Ibu?” sambil menepuk-nepuk debu di daster lusuh Ibunya.
“Dulunya, tanah ini milik ayahmu dari pemberian ayahnya. Dulu sebelum ayahmu meninggalkan kita begitu saja, kami berangan-angan untuk membentuk keluarga yang sejahtera dan bahagia di sini. Rumah kecil ini pun hanya hunian sementara sebelum membangun rumah yang lebih besar, seperti yang ayahmu janjikan kepadaku. Aku seharusnya dari dulu meninggalkan tempat ini, kutempati saja tanpa seizin orang yang tega melukai aku dan kamu. Tapi maafkan ibu, tak ada pilihan lain. Ibu tak punya apa-apa Nak,” jelas ibunya yang sesekali terisak.
***
Hanya menyisakan waktu satu bulan saja rumah Ali akan diratakan dengan tanah oleh buldoser. Sudah sejak beberapa hari yang lalu, para pengusaha yang berpakaian rapi itu datang melihat lokasi tersebut. Dan hari ini, seorang sosok lelaki paruh baya berkumis datang menyambangi tempat tersebut. Ia diapit oleh beberapa orang, menandakan bahwa ia adalah petinggi perusahaan diantara yang lain. Setelah bosan memandangi lahan tersebut, mereka akhirnya pergi. Ali sepertinya mengenal lelaki berkumis itu, orang yang sering mengantar dan menjemput Intan.
Di hari yang sama, dua bulan berlalu sejak peristiwa penyerahan kunci itu, peristiwa tak terduga kembali terulang. Dan itu masih tentang intan.
“Aku menyukai Kakak,” begitulah pesan singkat yang masuk ke ponsel Ali.
Masih kukuh dengan tekadnya sedari dulu, dan selamanya hari esok, ia tega menghindari seseorang yang sesungguhnya ia rindukan. Mencari kekurangan dan kehinaan pada diri yang dapat menjadi alasan membencinya. Begitulah pemikirannya, berusaha menghindari kebersamaan yang hanya membuahkan kesia-siaan. Terlebih ibunya menitahnya tentang bagaimana seharusnya bersikap menghargai seorang perempuan.
“Mencintai dengan pikiran akan mengantarkanmu mencintai kebenaran. Bila kau mencintai dengan hati saja akan membuatmu terbuai dalam kesia-siaan, kehinaaan, dan tak dapat melepaskan diri,” pesan ibunya.
***
Bumi tetap berputar mengitari sang surya, pagi sejuk pun tetap datang mendamaikan.
“Kenapa Kakak baru kelihatan lagi hari ini, menghindari aku yah? Tanya Intan saat hendak memarkir sepedanya.
Sapaan itu mengagetkan Ali yang juga sedang memarkir sepedanya. Seketika juga ia membalik badannya. “Aku tak pernah bermaksud begitu. Aku hanya merasa tidak baik jika aku menghabiskan waktuku dengan bersenang-senang. Aku hanya ingin fokus menuntut ilmu demi masa depanku. Hal itu tentu tidak berlaku bagimu. Masa depanmu sudah terjamin, kau dapat bersenang-senang dengan harta yang berlimpah. Aku yakin Kau dapat bersenang-senang, meski tanpa aku,” masih tetap menunduk, tak lagi kuasa menatap binar mata itu.
“Aku tak paham apa maksud Kakak. Mungkin untuk beberapa bulan yang lalu aku merasakan itu, terutama ketika ayahku masih menjadi pemimpin perusahaan. Tapi sekarang aku malu, ayahku adalah seorang pembunuh! Begitu dalam kesedihan aku dan keluargaku. Berapa banyak cacian dan berapa dalam dendam untuk keluarga kami?” lalu menunduk menyeka air matanya dengan tangan.
“Apa? Aku sulit mempercayai ini. Maafkan aku. Kamu yang sabar yah,” sambil menyodorkan selipatan tisu.
***
Tak ada lagi mobil mewah yang mengangantar Intan ke kempus, dan menjemputnya kembali ke rumah. Dia kini satu rasa dengan Ali, meski sampai kini belum ada jawaban pasti dari Ali atas pesan singkatnya. Tapi mereka tetap seiring bersepeda menuju kampus bahkan saat pulang menuju rumah. Sepertinya mereka semakin bahagia bersama, tanpa mengungkit masalah perasaan lagi.
“Selepas kuliah aku akan ke tempat ayahku. Kau mau ikut kan?” tawar Intan.
Mencoba berfikir untuk membuat keputusan secara cepat. “Mmm, baiklah.”
Waktunya tiba, jam satu siang, mereka menelusuri lorong sepanjang 20 meter, di samping kiri dan kanan beberapa orang beristirahat di balik jeruji. Sesampainya di sebuah ruangan , Intan segera menyalami lelaki yang berkumis itu. Ali hanya menatap mereka dengan biasa saja, meskipun lelaki berwajah garang itu menatapnya seperti penuh tanya.
“Namamu Ali Rahman kan?” sambil menunjuk Ali dengan gerakan kaku.
“Kok ayah mengenalinya?” Intan sontak bertanya.
“Kau berhak tetap menempati rumahmu itu.” Ayah Intan lalu berdiri dari tempat duduknya, mendekati dan menyalami Ali. “Maafkan aku Nak Ali. Entah bisakah kau maafkan jika sudah terlambat seperti ini. Akulah orang yang telah merenggut kebahagianmu, telah memaksamu pindah dari tanah yang sebenarnya milikmu. Aku tahu benar tentang Rahman, ayahmu. Dulu, dia adalah atasanku di perusahaannya. Dia memberikan kepercayaan besar kepadaku mengenai rahasia perusahaan, bahkan tentang rahasia masa lalunya, termasuk tentang kau dan ibumu,” aku lelaki itu.
“Aku tak mengerti apa maksud Bapak, dan aku tak peduli dengan lelaki bejat itu!” balasnya dengan nada tinggi.
“Aku dapat memahami bagaimana perasaanmu. Aku tak bermaksud mencampuri urusan keluargamu, ataupun memaksamu mempercayai apa yang saya katakan. Aku bukanlah sekadar pembohong, bahkan aku adalah pembunuh yang biadab. Tapi aku hanya ingin menyampaikan apa yang sebenarnya, bahwa kaulah yang berhak memimpin perusahaan yang membuat mata hatiku buta, lalu membunuh seseorang hanya karena takut ia menyampaikan kebenaran ini. Maafkan aku Nak,” sesal lelaki itu.
Ali menghela dan menghembuskan nafas dengan cepat, jantungnya berdeguk cepat. “Apakah aku dapat mempercayai kata-kata bapak?”
“Ini surat wasiat yang sedari dulu aku tutupi keberadaannya,” sambil menunjukkan beberapa lembar surat dalam map untuk membuktikan pernyataannya. “Embanlah amanah ini, ayahmu sangat mengharapkan itu sebelum ia meninggal. Demi ayahmu yang telah mendahului kita, aku mohon!”
Ali tercengang dengan semua kesaksian itu, matanya menatap tanpa makna, tanpa berkedip. Melangakah mundur, merendahkan tubuhnya, lalu duduk di sebuah kursi di sudut ruangan. “Entah bagaimana sikap yang harus kuambil? Ini adalah permohonan yang kesekian kalinya dari orang yang sulit untuk tidak kubenci. . Tapi haruskah aku begini selamanya? mungkin sebaiknya aku hidup dalam kedamaian, mencoba memaafkan, dan berbuat kebaikan dengan harta dan tahta yang akan kumiliki nantinya,” renungnya dalam hati, sambil menghela nafas lalu mengusap wajahnya dengan delapak tangan.