web analytics
header

Jangan Salahkan Sistem!

Oleh: Ramli
P
ermasalahan hukum saat ini menyita perhatian masyarakat Indonesia. Setiap hari selalu ada masalah sosial yang menunjukkan hukum masih kewalahan dalam menunaikan fungsinya sebagai instrumen pengendali sosial dan pondasi pembangunan bangsa. Tanpa penegakan hukum yang baik sebagai pengawal pembangunan bangsa, akan terjadi karut-marut di seluruh sektor pembangunan. Harapan yang besar ditumpukan kepada para penegak hukum demi tercapainya tujuan  hukum. Tujuan tersebut tentunya tercipta masyarakat yang adil dan makmur.
Kasus korupsi dan upaya penyelesaiannya melalui proses peradilan dapat menjadi rujukan untuk melihat bahwa hukum masih jinak dan gapah-gopoh. Di tengah ketimpangan ekonomi yang terjadi, emosi rakyat jelata terkuras habis dengan tindak korupsi yang merajalela. Harapan besar mereka tumpukan kepada aparat penegak hukum yang tidak jarang malah terlibat kasus korupsi. Namun tidak jarang terjadi, malah aparat penegak hukum terlibat kasus korupsi.
Kita tentu semakin dibuat miris dengan kejadian seperti di atas. Anehnya, lontaran kata-kata, baik dari para pelaku bahkan masyarakat umum seringkali bermakna pesimistis dengan mempersalahkan sistem yang dicap “rusak”. Pemakluman merupakan dasar dari anggapan demikian, hingga berujung pada sikap permisif.
Tentu menjadi kesepahaman bahwa pengertian dari sistem merupakan satu kesatuan dari beberapa unsur  yang saling berhubungan dan saling mempengaruhi. Jika membahas tentang sistem hukum, seperti yang dinyatakan oleh Lawrence M. Friedman, maka didalamnya terdiri dari struktur hukum, substansi hukum, dan budaya hukum. Jika yang dipersalahkan adalah sistem, dalam hal ini sistem hukum, maka termasuk juga para pelaku korupsi sebagai bagian struktur hukum.
Pembenahan hukum harus dilakukan secara meyeluruh dan berkelanjutan agar dapat mengiringi dinamika sosial. Sebagai suatu sistem, fokus pembenahan jangan hanya dilakukan pada substansi hukum (keseluruhan aturan hukum, norma hukum, dan asas hukum, baik tertulis maupun tidak tertulis), tetapi meliputi struktur hukum (institusi hukum dan aparatnya) dan budaya hukum (kepercayaan, kebiasaan, cara berfikir, dan sikap warga masyarakat terhadap hukum).
Perdebatan unsur yang paling berpengaruh dari ketiga unsur sistem hukum tersebut tidak akan berkesudahan. Orang dapat saja menyatakan budaya hukumlah yang menentukan tegaknya hukum, ataukah bekerjanya struktur hukum yang dapat menegakkan hukum, ataukah substansi hukum yang baiklah yang dapat membuat hukum tegak. Penulis sendiri lebih memandang struktur hukum sebagai dasar dari tegaknya hukum, mengingat substansi hukum merupakan bentukan atau ciptaan saja dari struktur hukum, sedangkan budaya hukum dapat berubah tergantung bagaimana strukrur hukum menciptakan dan menegakkan substansi hukum. Jadi, struktur hukum, dalam hal ini adalah penegak hukum adalah manusia-manusia yang mempunyai kehendak yang sangat menentukan terhadap tegaknya hukum. Sebagai pelaku aktif, mereka tidaklah benar jika mempersalahkan bentukan dan dampak dari perilaku mereka.
Secara sepintas, penulis melihat bahwa makna yang dimaksud oleh sebagian orang sebagai sistem buruk adalah budaya hukum yang banyak melenceng dan melanggar hukum. Maksudnya nilai, kepercayaan, dan sikap seseorang tidak lagi mendukung penegakan hukum. Kesadaran hukum seringkali tidak dibarengi dengan ketaatan hukum karena pelanggaran hukum dianggap kebiasaan. Hal tersebut berangkat dari anggapan yang salah bahwa perilaku “pelecehkan” hukum tidak mungkin diubah, sehingga seseorang yang dahulunya memiliki tekad untuk merubah keadaan mau tidak mau akhirnya mengikuti “arus”. Jika berangkat dari paradigma bahwa masyarakat merupakan kumpulan individu, maka sebagai individu yang merdeka kita merdeka dalam menentukan sikap, bahkan secara aktif dapat merubah perilaku orang lain terhadap hukum. Singkatnya, segalanya dapat dimulai dari diri sendiri.
Prof Taverne, pakar hukum Belanda pernah mengatakan; “beri aku hakim yang baik, jaksa yang baik serta polisi yang baik maka dengan hukum buruk sekalipun maka akan menghasilkan keadilan. Pernyatan tersebut tentunya menegaskan bagaimana peran penegak hukum dalam penegakan hukum. Berangkat dari dasar diatas, maka yang mampu merubah keadaan penegakan hukum di negara ini hanyalah para oknum-oknum penegak hukum. Seorang penegak hukum yang dibutuhkan sekarang bukan hanya ahli hukum yang tahu celah substansi hukum namun tidak punya upaya merubahnya, atau bahkan seorang penegak hukum yang tidak punya nilai dan sikap mulia terhadap hukum. Seperti yang dikatakan Mahfud MD dalam bukunya Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu (2010: 332), yang harus dilakukan, meletakkan para pejabat puncak pada tiap unit pemerintahan dari kalangan yang “bersih” dan “berani”. Bersih artinya bermoral, punya rekam jejak tak pernah korup, dan tak punya masalah dengan hukum. Berani berarti punya nyali untukbertindak terhadap siapa pun guna mendobrak kejumudan birokrasi.
Jika yang menjadi alasan tidak tegaknya penegakan hukum karena tidak adanya “celah masuk” bagi mereka yang berintegritas, haruskah kita selamanya dalam kepasrahan seperti ini? bukankah sebagai manusia, kita merdeka untuk merubah keadaan? Walaupun akhirnya kita harus terkalahkan sendiri. Lucius Piso Caesoninus pada 43 sebelum Masehi berkata; Fiat Justitia Ruat Caelum (tegakkan hukum walau langit akan runtuh).
(Pernah diterbitkan sebagai rubrik Opini di mading Pledoi LPMH-UH Edisi Agustus 2013)

Related posts: