Oleh: Moh. Nur Faisal R. Lahay
Pengorbanan. Itu yang dibahasakan olehku. Atas apa yang telah diberikan olehnya. Tak berbalas. Ketulusan hati mencintai darinya. Beruntung Aku memilikinya.
Ibu tiba-tiba hadir di depanku. Menaruh secangkir teh panas di depan mejaku. Memecah keheningan. Aku tersenyum hangat padanya. Dia membalasnya. Pagi itu aku baru selesai menyapu halaman. Menggunakan ratusan lidi yang kusatukan dengan sebuah kaleng bekas sarden berwarna merah. Rutinitas. Ya, pekerjaan rutinku pada akhir pekan, setidaknya.
Ibu memang bukanlah orang tua yang terlalu mendramatisir keadaan. Ia sosok yang realistis bagiku. Selalu melihat kehidupan dengan kacamata kenyataan. Jarang melebihkan. Memandang seadanya. Tak juga dikurang-kurangi.
Pernah waktu itu Aku menunjukkan hasil ujian sekolah padanya. Nilainya tidak terlalu memuaskan. Dia hanya mengerutkan dahinya sedikit. Lalu menanyakan mengapa tidak maksimal, sambil menggerutu kecil. Aku pun menjawab seadanya. Konversasi kami selesai kala itu.
Atau jika Aku meminta izin keluar rumah. Tak pelak Ibu selalu memberikanku izin. Khawatir mungkin ada dalam benaknya. Tapi kepercayaan yang besar membuatnya mudah mengeluarkan izin bagiku untuk melakukan berbagai hal. Sepanjang positif.
Terlepas dari itu, Ibu tetaplah seorang ibu. Orang tua yang senantiasa memberikan kehangatan dan kasih sayang kepada anak-anaknya. Klise memang. Tapi itu hakikatnya.
***
Aku coba mencicipi teh buatan Ibu tadi. Manis dan hangat. Semanis dan sehangat cintanya. Aku kembali teringat saat ulang tahunku yang kesembilan. Tepatnya sebelas tahun yang lalu. Ibu mengajakku untuk jalan berdua. Kami mampir di sebuah toko mainan. Kemudian Aku meminta Ibu untuk membelikan sebuah mainan kesukaanku.
Gambar: www.tekhnik-blog.blogspot.com |
Saat itu Ibu tidak menyadari berapa harga mainan tersebut. Ibu hanya langsung menanyakan apakah Aku benar-benar menyukainya atau tidak. Tanpa pikir panjang, Aku langsung mengangguk kegirangan, tanda mengiyakan pertanyaannya.
Sekilas ia melihat harganya. Ia bergumam, “Dua lima lima ribu.. Oh.” Ia berpikir bahwa harganya hanya sekitar 25 ribuan. Sialnya, ternyata harga asli dari mainan itu adalah 255 ribu rupiah. Harga yang cukup mahal untuk ukuran sebuah mainan kala itu. Bahkan sangat mahal. Ibu keliru melihat harga. Panik sesaat. Beruntung, ia membawa uang tunai yang cukup.
Di perjalanan pulang, Aku memandangi mainan termahalku. Lalu tiba-tiba Aku merasakan tangan Ibu membelai rambutku. Halus. Aku mengalihkan pandanganku padanya. Terlihat kerutan kecil di keningnya. Khawatir.
“Tidak usah bilang sama Ayah, kalau Ibu baru membelikanmu mainan ini ya, Nak,” tuturnya lembut.
Aku mengangguk polos.
***
Aku tertawa kecil. Kembali aku mencicipi teh buatan Ibu tadi untuk kedua kalinya. Aku ingat betul, keuangan Ayah saat itu memang sedang dalam keadaan sulit. Pantas Ibu begitu takut.
Aku juga ingat saat Aku masih di Taman Kanak-kanak dulu. Sempat Aku tertidur ketika mengumpulkan serpihan kertas warna yang kujatuhkan. Saking mengantuknya, Aku sampai tertidur di lantai kelas. Waktu Aku terbangun, Aku sudah di tengah jalan bersama Ibu yang menggendongku. Ya, Ibu menggendongku di belakang pungungnya sepanjang perjalanan pulang.
Ketika Ibu tersadar bahwa Aku sudah bangun, ia hanya berkata lembut, “Tidur lagi, Nak. Sebentar lagi sampai rumah.”
Aku kembali memejamkan mata.
***
“Nak, sudah dihabiskan belum tehnya?” Tanya Ibu dari dalam rumah.
“Belum Bu. Sedikit lagi,” jawabku sopan, sambil menoleh ke dalam rumah.
“Ini nasi gorengnya udah dimasak. Cepet makan mumpung masih panas. Nanti keburu dingin,” pintanya.
“Oh, iya Bu.”
Aku segera menghabiskan teh manisku yang mulai mendingin. Aku tahu, Ibu sepertinya ingin bergegas ke pasar. Belanja persediaan bahan makanan yang sudah mulai habis.
“Ibu mau Aku anter ke pasar?” Tanyaku.
“Tumben nawarin,” godanya sedikit. “Ya udah, boleh. Tapi habisin dulu nasi gorengnya sana.”
Aku tersenyum kecil. Aku bersegera memakan nasi goreng khusus untukku yang sudah disiapkan Ibu. Satu porsi sedang ukuran orang dewasa. Karena Ayah pasti belum bangun, Aku mengambil sedikit jatahnya yang juga sudah disiapkan oleh Ibu. Aku yakin Ayah akan mengikhlaskannya.
Sembari menikmati nasi goreng bikinan Ibu, Aku kembali berpikir. Betapa besar kasih sayangnya padaku. Tak terlalu besar mungkin bagi orang lain. Atau mungkin tulisan ini sebenarnya juga tak mampu menggambarkan besarnya kasih sayang Ibu padaku.
Aku memandanginya. Memandangi Ibu. Ia sedang bercermin. Merapikan jilbabnya. Jilbab warna hitam sederhana yang biasa ia kenakan ke pasar. Sosok wanita tegar yang terbalut dalam kehalusan dan keunikan tingkah lakunya.
Jika memang benar surga ada di bawah kedua telapak kaki ibu, maka Aku akan membiarkan kaki kanan Ibu melangkah duluan masuk ke dalam surganya, dan mengikhlaskan diriku hanya mendapat sisa surga dari bawah telapak kaki kirinya.*