web analytics
header

Politik Ketenaran

Oleh: Rezky Pratiwi
Sepertinya baru beberapa bulan lalu seorang laki-laki setengah baya berwajah oriental merapal di tivi. Sesuatu tentang tahun ular air, yang digambarkan licik dan licin. Tahun 2013 segala sesuatu akan menjadi mungkin dan dipenuhi tipu muslihat. Entahlah, setidaknya begitulah prediksinya dalam acara talkshow pagi favoritku.
Kubalik lembar terakhir kalender yang sejak tadi membawaku pada momentum awal tahun, lukisan diriku memegang gitar memenuhi setengah halaman. Di sisi lainnya sebuah pesan berisi kekaguman dan rasa suka pembuatnya tertulis rapi dengan tangan. Kalender merah tua itu memang salah satu pemberian penggemarku, ia berikan saat aku berkunjung ke Malang tiga tahun lalu. Saat itu aku memang masih sering mendapat hadiah dari penggemar.
Nuansa kelabu tergambar dari jendela. Meski sudah tertutup rapat, hawa dingin hujan malam itu menembus jendela kamarku. Pikirku bukan lagi pada buku 436 halaman yang baru kubaca daftar isinya. Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia karangan Dr. Ni’Matul Huda itu masuk daftar antrean bacaanku minggu ini. Sebelumnya sudah kutamatkan Pengantar Politik Hukum Ketatanegaraan terbitan Pustaka Relfeksi yang kubeli bulan lalu. Aku memang pernah kuliah hukum, tapi membaca buku-buku seperti itu baru kulakukan tiga bulan lalu.
Mataku terus menerawang keluar jendela. Tertangkap pemandangan yang sama seperti hari-hari biasa; lalu lalang kendaraan ibukota, dan deretan alat peraga calon legislatif. Satu lagi wajah baru terpasang pada tiang listrik. Kali ini setelan biru, kader partai yang sama denganku. Pikirku lantas terbawa bersama derasnya hujan 30 Desember. Kembali menelusuri ingatanku di 2013, tahun demokrasi kebablasan juluk salah satu media.
***
“Apa tidak sebaiknya ditolak saja? Kamu dulu kuliah hukum saja gak betah. Ngapain ikut-ikutan yang lain. Kalo kepilih nanti mau apa?” lagi-lagi bapak menyela pembicaraanku dengan ibu tentang langkah menggaet pemilih yang akan kulakukan. Sejak awal kepulanganku untuk meminta restu keluarga di Sukabumi, ia memang meragukan keputusanku.
“Hush! Bapak ini, Laras sudah masuk daftar calon lho. Lagian sayang duitnya. Gak boleh tanggung-tanggung” Ibu lekas bereaksi. Agustus lalu Komisi Pemilihan Umum memang telah menetapkan namaku bersama enam ribuan calon lainnya. Kami akan memperebutkan 560 kursi anggota dewan yang terbagi di 77 daerah pemilihan. Aku sendiri mewakili salah satu daerah pemilihan di Banten.
“Laras sudah dikasi arahan sama teman-teman di partai. Nanti belajarnya ya sambil dijalani. Teman laras yang artis dulu juga begitu waktu masuk DPR” ungkapku jujur. Bosan sudah kuulangi deretan visi misiku pada bapak. Sebagai seorang yang terbiasa mengolah tutur dan mimik di layar kaca, semestinya meyakinkan bapak bukanlah perkara sulit.
Bapak hanya menggeleng setelah sebelumnya menunjukkan wajah khawatir. Ekspresi yang sama ketika aku minta berhenti kuliah hukum dan mulai menggeluti dunia tarik suara. Kekhawatiran bapak saat itu terbukti hanya sikap konservatif semata. Karirku sebagai penyanyi begitu cemerlang. Wajahku terus saja menghiasi layar kaca, mulai dari tawaran mengisi acara hingga menjadi bintang iklan. Hal sepele seperti kucing peliharaan, koleksi tas, hingga kemana aku berlibur ikut disorot media. Semua itu berlangsung cukup lama hingga wajah-wajah baru bermunculan bergantian memenuhi acara infotainmentdengan segala kontroversinya. Penghujung 2010, aku benar-benar terseger dari dunia hiburan.
***
Getar handphone membangunkanku. Kutatap layar kecilnya dengan mata setengah terbuka dan kerut di dahi. Alarm pukul enam pagi. Kembali kurapatkan kelopak mata sembari mengingat apa yang kurencanakan hingga memasang alarm sepagi ini. Hampir saja, aku harus menemui seseorang pagi ini. Pak Widodo kenalanku di partai menyebutnya sebagai konsultan politik. Dan ku iyakan saja begitu hari ini aku disuruh bertandang ke kediamannya di desa terpencil di kaki gunung bromo. Sepulang dari sana barulah aku akan mempersiapkan acara menyambut tahun baru. Bersama puluhan anak panti asuhan yang kukunjungi minggu lalu, dan tentunya, media.

Related posts:

Suara Hati Pusara

Oleh: Fadlin Yunus Halimah dengan muka menunduk, duduk di hamparan tanah seluas 800 meter persegi. Dengan mata sembab ia memegang

SIAL!

Penulis: Jellian (Pengurus LPMH-UH Periode 2023/2024) Remang lampu Kafe tidak lantas membuat perempuan muda itu mengantuk, tugas kuliah yang diberikan

Koridor Lima

Penulis: El “Dek…” Pria dengan jaket parasut hijau berlogo aplikasi transportasi online itu menggoyangkan pelan bahu perempuan di sampingnya, lebih